Rabu, 26 Oktober 2016


Sedikit yang tahu jika di balik kesuksesan film Negeri Van Oranje dan dua bagian film Comic 8: Casino King, ada seorang produser yang secara tenang dan bertangan dingin mengatur segala kelancaran produksi film-film keluaran rumah produksi Falcon Pictures. Produser film-film tersebut adalah Frederica atau yang lebih dikenal dengan panggilan Erica Falcon. Umurnya memang boleh muda, namun jangan ditanya kiprahnya yang sudah malang melintang di dunia produksi hiburan. Mulai dari produksi iklan, program televisi, acara off-air, hingga film pernah ia jabani.

Erica memulai karier di usia yang sangat muda, 19 tahun, dan ia memulainya benar-benar dari bawah. Waktu itu, sambil kuliah di jurusan Public Relation, berbagai jenis pekerjaan pernah ia coba, mulai dari menjadi SPG, menawarkan kartu kredit di mal-mal, sampai karyawan di toko kain. Dan bosnya di toko kain itulah, yang membantu biaya kuliahnya dengan memotong dari gaji setiap bulan. Lulus kuliah, Erica bergabung di sebuah agen iklan sebagai account executive. Ia mengaku, pada saat itu sangat bangga karena bisa bekerja di salah satu gedung mewah, yang ada di Jalan Jendral Sudirman, Jakarta, walau pulang pergi masih tetap naik bus. Di perusahaan itu, lama-lama posisinya naik sampai akhirnya menjadi produser iklan televisi.


Setelah cukup lama menjalani pekerjaan sebagai produser iklan televisi yang durasinya hanya 30 detik, Erica merasa tertantang untuk mencoba pekerjaan yang lebih lagi. Beruntung, ia memiliki bos yang mau menyalurkan rasa tidak puasnya. Ia pun lantas dipercaya menggarap sebuah serial televisi. Dari sinilah pelajaran penting sebagai produser didapat Erica. Saat mengerjakan serial itu, perusahaannya banyak membeli lisensi berbagai program variasi dari 21st Century Fox. Berbagai program yang pernah Erika besut antara lain Joe Millionaire Indonesia, Fear Factor, 30 Second To Fame, dan Deal or No Deal

Erika bersyukur mendapat kesempatan bekerja dengan orang-orang yang kompeten. Jadi, ia bisa mengetahui setiap tahap produksi. Ia juga jadi memahami pola pikir pekerja industri televisi. Bagaimana caranya mengefisiensikan produksi, bagaimana mengatur dana produksi, bagaimana membangun sebuah brand, dan mempelajari juga struktur dan sistem kerjanya. Di situlah, Erika mengaku belajar banyak. Ia baru tahu jika ingin memproduksi sebuah acara televisi yang besar, tidak memerlukan karyawan yang banyak. Cukup diutus satu produser untuk mengatur dan semuanya bisa berjalan. Proses itulah yang Erika anggap menarik.


Sukses menggarap serial Fear Factor di Indonesia, Erica kemudian dipercaya memproduseri Fear Factor di tiga negara, termasuk Malaysia. Sampai-sampai, ia rela tinggal di Malaysia selama tiga bulan. Selama mengerjakan program realitas ini, tidak jarang ia menemukan masalah. Pengalaman yang tak bakal ia lupakan adalah saat menggarap Joe Millionaire, yang banyak memunculkan kontroversi karena dianggap memperjualbelikan wanita. Pernah juga Erica mengalami penipuan. Uangnya dibawa lari oleh line producer-nya sehingga ia harus memprosesnya sampai memanggil pengacara.

Meski kelihatannya lancar-lancar saja, karier Erica bukannya tanpa gejolak. Pernah suatu ketika ia mengerjakan event off air. Ia mendapati suasana yang chaos. Tak terhitung berapa kali ia menangis. Bahkan ia juga beberapa kali berniat resign dari pekerjaannya. Tetapi entah kenapa, Erica selalu diberkati dengan solusi yang selalu muncul. Dan itulah yang membuatnya bersyukur selalu berada di lingkungan yang berjalan lurus. Ia dikenalkan dengan orang-orang yang benar sepanjang kariernya. Ia beruntung memiliki atasan yang mempercayainya untuk mencoba tantangan baru. Jadi, setiap gejolak dalam hidupnya terasa ada manfaatnya. Karena menurut Erica, segala seuatu yang terjadi pasti ada alasannya.


Selama tiga tahun Erica menggarap berbagai program televisi. Setelah itu, Erica mencoba mencari tantangan lain. Kali ini ia memilih dunia film. Sebenarnya, menurut Erica, merambah ke dunia film juga secara tidak sengaja. Waktu itu tahun 2010, atasannya kebetulan dekat sekali dengan H Rhoma Irama. Waktu itu, Rhoma Irama ingin membuat film bersama sebuah investor. Tapi ternyata investornya mundur di tengah jalan. Lalu, Rhoma Irama meminta bantuan pada atasan Erica untuk menjalankan produksinya. Tapi yang menjalankan produksi itu bukan perusahaan, melainkan dibentuk sister company. Dari situ, atasannya menerapkan, jika kita ingin terjun ke satu bidang, jangan tanggung-tanggung. Komitmennya harus berusaha menjadi yang terbaik. Dalam sebuah tim, semuanya harus mendukung komitmen itu. Dan akhirnya, Erica pun mulai turun tangan sebagai produser film. Erica pertama kali menjadi produser film tahun 2011 di film Milli & Nathan.

Waktu pertama kali mengerjakan film, Erica mengaku sempat dikerjai habis-habisan. Dan selama menjadi produser di beberapa film, Erica mengaku setiap film punya drama yang berbeda-beda di balik pembuatannya. Terkadang, lanjut Erica, drama di balik layar itu justru lebih menarik dari cerita film itu sendiri. Contohnya ketika syuting film Negeri Van Oranje. Karena syuting di luar negeri, semuanya serba terbatas. Tim terbatas, lokasi juga tidak bisa diblok. Berbeda dengan kalau syuting di negeri sendiri. Mau syuting di mana pun, lokasinya bisa diurus, sehingga bisa ditutup untuk keperluan syuting. Belum lagi waktu itu, yang di luar dugaan, ternyata cuacanya lebih dingin. Jadi mau tidak mau, Erica dan seluruh tim produksi harus membeli baju dingin lagi untuk para pemeran.


Yang juga tak terlupakan adalah saat pembuatan film Comic 8. Tiba-tiba, salah satu pemeran, Nikita Mirzani, terjerat sebuah kasus dan harus masuk penjara. Tim produksi pun harus bekerja keras mengubah konsep cerita agar produksi terus berjalan. Namun, kerja kerasnya di film Comic 8: Casino Kings Part 2, terbayar sudah. Dalam satu minggu jumlah penontonnya memecahkan rekor film Indonesia, tembus angka 1 juta. Bahkan di beberapa bioskop yang memiliki 4 layar, rela memberikan seluruh layarnya untuk film Comic 8: Casino Kings Part 2. Dan ternyata, menurut Erica. membuat film tidak hanya syuting lalu pekerjaan selesai. Tapi juga harus dipikirkan promosinya, distribusinya, dan strategi di balik film itu. Premisnya harus kuat atau tidak. Dengan begitu banyaknya film yang beredar, pertanyaannya adalah, apakah film kita bisa menjadi spotlight atau tidak ? Yang pasti, ditambahkan Erica, menggarap film itu jauh lebih kompleks karena ada unsur idealismenya juga.









0 komentar:

Posting Komentar