Minggu, 27 November 2016


Guru besar merupakan pencapaian tertinggi di dunia pendidikan. Jabatan itu juga menjadi penghargaan atas apa yang dilakukan seseorang di bidang yang digelutinya. Toh, meski jabatan sebagai guru besar menjadi incaran, tidak halnya bagi guru besar pertama bidang Pendidikan Kedokteran UGM, Prof. dr. Ova Emilia. Mmed.Ed., Sp.OG(K) PhD. Bagi perempuan kelahiran Yogyakarta 19 Februari ini, yang ia kenal hanya belajar dan belajar.

Menjadi guru besar memang tidak pernah ada dalam benak Ova Emilia. Dulu, ia ingin kuliah di Fakultas Teknik, tapi malah akhirnya masuk ke Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta. Di tahun 1982 saat ia masuk, memang belum banyak orang yang tertarik pada jurusan itu, hingga dirinya lulus di tahun 1990. Saat menjadi mahasiswa, Ova juga sempat menjadi asisten dosen. Lalu seorang dosen memintanya mendalami Pendidikan Kedokteran. Pasalnya, mendidik seorang dokter itu perlu teknik dan strategi tersendiri. Ova pun melanjutkan S-2 dan S-3. Ia mengambil S-2 Master in Medical Education di University of Dundee, UK. Sepulang dari sana, ia menggulirkan berbagai inovasi yang berkaitan dengan peningkatkan perbaikan proses pembelajaran di bidang Pendidikan Kedokteran. Kebetulan, sejak junior, Ova sudah ikut memberikan usulan bagi tim inovasi untuk pengembangan kurikulum. Itu yang membuatnya paham perkembangan FK UGM dari tahun 1990 sampai sekarang.

Saat ini, UGM dianggap sebagai pionir dalam bidang Pendidikan Kedokteran. Karena pionir, Ova jadi sering berkeliling ke FK universitas lain untuk menularkan ilmu itu. Sebelum ia menjadi guru besar, Dikti belum memperhatikan apa yang ia lakukan, sehingga banyak yang belum yakin pada bidang ini. Baru pada tahun 2000, Dikti mulai melirik program Pendidikan Kedokteran. Di tahun yang sama Ova mengambil S-3 di Faculty of Medicine University of New South Wales, Sydney, Australia. Tak seperti kebanyakan orang, bagi Ova menekuni bidang ini sangat istimewa. Apalagi bidang ini bukan bidang basah yang semua orang suka. Malahan, banyak yang cenderung menghindari sebab tidak ada kelanjutan kariernya. Anggapan itu terbukti salah setelah Dikti mulai memberikan banyak hibah. Orang pun mulai tergerak dan berpikir menggeluti bidang ini. Momentumnya menjadi guru besar juga menjadi angin segar bagi akademisi yang berkecimpung di bidang Pendidikan Kedokteran, karena berkarier di bidang ini bisa mencapai guru besar.


Keberhasilan Ova menjadi guru besar memang menjadi harapan teman-temannya di seluruh Indonesia. Ini terlihat saat Ova dikukuhkan, 21 April 2016 lalu. Tanggal 21 April ia pilih karena bertepatan dengan Hari Kartini dan merupakan permintaan khusus ke UGM dan Dikti. Baginya, pengukuhan ini merupakan titik terang bagi ilmu Pendidikan Kedokteran. Proses menjadi guru besar memang cukup lama. Ova mulai mengurusnya sejak tahun 2011, sementara SK baru keluar tahun 2015. Cukup lama, karena bidang Pendidikan Kedokteran tidak dikenal di Dikti sehingga Dikti tidak bisa mengeluarkan SK guru besar. Padahal, sejak lama Ova dan teman-temannya sudah menggulirkan pandangan bahwa Pendidikan Kedokteran penting demi mencetak lulusan yang baik dan menjawab tantangan masa depan. Ova merasa, saat itu Dikti mungkin menganggap bidang Pendidikan Kedokteran sama dengan bidang pendidikan di IKIP, karena ada kata "pendidikan". Namun mereka lupa bahwa Pendidikan Kedokteran memiliki syarat khusus, antara lain untuk bersekolah di Pendidikan Kedokteran harus seorang dokter. Tidak bisa S-1nya IKIP lalu S2nya Pendidikan Kedokteran, misalnya.

Ova mengajukan diri menjadi guru besar bisang Pendidikan Kedokteran UGM karena dorongan dari teman-teman dan juga mentornya. Mereka meminta hasil penelitian dan karya-karya tulisan yang Eva buat untuk dikumpulkan. Dari jenjang karier, Ova memang lama tidak naik pangkat. Mentornya pun kaget saat melihat berbagai penghargaan yang pernah Ova terima, publikasi jurnal, buku, riwayat pekerjaan, dan pendidikannya yang melebihi ekpetasi. Bahkan, saat itu juga Ova langsung diminta mendaftarkan diri menjadi guru besar. Dukungan pun terus bergulir, karena ternyata dengan menjadi guru besar bisa bermanfaat bagi kampusnya. Ova mulai paham bahwa Pendidikan Kedokteran tak hanya untuk UGM tapi juga seluruh Indonesia. Ia mendalami Pendidikan Kedokteran karena memang suka, tanpa pamrih apa pun.

Setelah dukungan terus datang, akhirnya Ova resmi mengajukan usulan tahun 2011, dan baru tahun 2015 diterima Dikti. Penantian yang lama itu sempat membuatnya sangat frustasi, sempat tidak berharap, dan berambisi. Selama penantian, Ova pun tetap mengajar dan menulis lebih banyak. Baginya, ia tidak akan mati karena tidak mendapat jabatan itu. Ia lebih memilih terus berkarya, karena jika hanya menunggu kesempatan datang tanpa pernah berkarya, maka akan sia-sialah hidupnya.


Bagi Ova, menjadi guru besar adalah sebuah amanah yang luar biasa. Pengakuan ini membuatnya ke depan harus menjadi role model di bidang Pendidikan Kedokteran. Ova mengaku sering sedih mendapati anak didik sekarang yang jarang memiliki ketulusan, baik saat mengerjakan tugas ataupun bekerja. Anak zaman sekarang yang lugas dan cenderung dekat dengan hal-hal yang bersifat transaksional membuat Ova selalu perlu memberikan nilai (value) dalam setiap pelajaran. Sebab, menjadi dokter itu harus siap secara profesional. Ova merasa, saat ini orang melihat dokter itu berhasil karena punya materi banyak seperti mobil, rumah mewah, dan lain-lain. Parameter seperti itulah yang membuat orang berlomba-lomba ke sana. Ketika proses ini terjadi, maka dokter sudah menjadi profesi yang transaksional. Di mana ada uang, di situ ada barang. Tapi, justru karena ditarik menjadi model yang transaksional, semua ketulusan dan kemuliaan menjadi hilang.

Sekarang, orang banyak curiga pada dokter karena hilangnya ketulusan itu. Ke depan, Ova melihat tantangan generasi dokter mendatang lebih berat. Salah satu gardanya adalah pendidikan dokternya. Dalam pendidikan kedokteran, anak didik diajarkan bagaimana menjadi dokter yang profesional, melek hukum, dan melek etik. Sebelumnya, pelajaran ini tidak ada. Terutama etik. Pada masa Ova sekolah, hanya satu SKS tanpa pernah ada diskusi. Jika bisa ia gambarkan, dokter yang baik dulu adalah take it for granted (terima saja). Namun zaman sekarang didesain, diatur, diajari, bahkan cara bicara dengan pasien seperti apa pun diajarkan.

Calon dokter atau mahasiswa yang Ova ajarkan memang belum menjalani profesi dokter. Jadi, setiap kali ia mengajar di depan mahasiswa, selalu ia tanamkan untuk menjadikan dokter sebagai profesi yang profesional. Trust atau kepercayaan itu sangat penting, semisal dokter tidak bisa hanya pakai sandal atau jeans. Menjalin hubungan saling percaya dengan pasien sangat perlu. Hal kecil itulah yang Ova ajarkan sejak awal masuk fakultas kedokteran. Sebagai dokter, Ova membatasi diri tidak langsung mengambil uang dari pasien. Selama praktik, ia tidak pernah mengurusi uang. Ia mengaku tidak pernah nyaman dengan hal itu, sebab bisa menjadikannya transaksional. Bisa dibilang sistemnya sudah berjalan untuk meminta berapa biaya berobat. Jika ada pasien yang tidak mampu membayar, Ova biasa memberikan catatan gratis. Bukan ia yang membayar, tapi memang ada sistem seperti itu di rumah sakit tempat ia praktik.


Ova juga tidak mau mendapat uang karena punya koneksi dengan pihak farmasi. Ia tidak mau ikut seminar dibiayai perusahaan obat. Karena bagaimana pun itu akan mempengaruhi saat meresepkan obat ke pasien dan akan membebani dokter dalam memberikan keputusan yang baik. Dokter kebidanan dan kandungan sepertinya juga punya tantangan tersendiri terutama saat mendapat permintaan untuk melakukan aborsi. Sikap Ova tegas, menolak ! Sebab, sekali saja ia membolehkan aborsi, masyarakat akan tahu dan permintaan akan terus datang. Kasus etik lainnya berkaitan dengan hubungan suami istri. Dikatakannya, dulu banyak sekali kasus dominasi suami terhadap istri. Maka dokter harus sensistif terhadap hal seperti itu.

Dukungan keluarga, terutama suami, sangat Ova rasakan. Ia diperbolehkan kuliah ke luar negeri dan meninggalkan anak-anak bersama suami. Saat ini, bahkan lebih sering Ova yang bepergian dibandingkan suaminya. Selain itu, orangtuanya juga punya andil besar. Ova mendapat didikan dari orangtua yang tidak konservatif, bahkan cenderung moderat. Mereka membolehkan Ova memilih profesi apa pun yang dinilai dapat memberikan manfaat bagi sesama. Itu sesuai dengan prinsip hidup Ova. Ayahnya yang seorang dosen agama di UIN selalu memberikan pengajaran bahwa agama tidak sulit, justru memudahkan. Yang membuat sulit itu adalah manusia yang menerjemahkannya tidak benar. Pesan sang ayah sederhana saja, jangan lupa sholat, karena sholat itu adalah tiang dari semua yang Ova lakukan.

Kalau dilihat dari garis keluarga, memang tidak ada keluarganya yang berlatar belakang kedokteran. Satu-satunya dokter yang Ova ketahui sewaktu SD adalah orangtua salah satu sahabatnya. Ova melihat, saat itu menjadi dokter sepertinya menyenangkan. Bisa mengobati dan orangnya sangat ramah pada anak-anak. Ova sangat terkesan. Namun, perjuangannya untuk menjadi dokter sangat panjang, karena harus berpindah-pindah kota mengikuti orangtua. Baru sejak kelas 3 SMP Ova kembali ke Yogya. Kini, selain mengajar, kegiatannya yang lain adalah memberikan ceramah tentang kanker serviks atau melakukan pemasangan KB gratis. Ke depan, Ova berniat menulis buku tentang kehidupan seorang residen. Buku ini ia buat karena ia sangat dekat dengan dunia residen dan pendidikan residen.


Ova menceritakan, bahwa pendidikan residen ini sangat berat dan bahkan membuatnya kapok. Tak hanya berat secara fisik, namun juga psikis. Bayangkan, sewaktu mengikuti residen, Ova harus seminggu jaga di rumah sakit selama 7x24 jam penuh. Saat kembali ke RS Sardjito pun, ia juga harus jaga. Bisa dibilang 76 jam. Itu tentu sangat melelahkan. Hidup lebih banyak di rumah sakit daripada di rumah. Melalui buku itulah, Ova ingin berbagi kisah bagaimana konflik-konfilk yang dihadapi residen agar menjadi refleksi dosen dan institusi pendidikan bahwa ada yang perlu diubah. Residen adalah garda depan. Residenlah yang berjaga selama 24 jam di rumah sakit, sementara dokter spesialisnya tidak. Jika mahasiswa residen capek dan tak bisa bekerja optimal, yang dirugikan adalah masyarakat dan pasien.





0 komentar:

Posting Komentar