Kamis, 27 Oktober 2016


Lahir dan besar di Jakarta lalu melanjutkan pendidikan hingga S2 di Amerika, tidak membuat Azalea Ayunigtyas lupa pada Tanah Air. Bahkan, pekerjaan bergaji besar dan bergengsi di negara maju ia tinggal demi membantu ibu hamil di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kesehatan ibu hamil, terutama di Flores, NTT, memang menjadi fokus Ayu, demikian ia biasa disapa, sejak 2013. Dari data yang ia pegang, beberapa ibu hamil di kawasan NTT menderita Kekurangan Energi Kronis (KEK), yang mengakibatkan seringnya terjadi keguguran, kematian ibu, atau kematian bayi. Kenapa bisa terjadi KEK? Salah satunya, karena makanannya kurang bergizi. Banyak yang hanya makan nasi tanpa lauk dan harus bekerja di ladang di atas bukit. Itu pun masih dilakukan saat mereka hamil. Padahal asupan gizinya kurang. Inilah yang ingin Ayu atasi.

Bersama teman-temannya, Ayu menggagas sebuah gerakan untuk membantu mengatasi masalah itu. Hingga kemudian lahirlah Du'Anyam, sebuah kewirausahaan sosial yang memberi kesempatan ibu hamil di NTT mendapat penghasilan tambahan, sehingga mereka dapat mengakses fasilitas kesehatan dan mendapat nutrisi yang cukup. Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Unicef, dan WHO, di NTT dan beberapa daerah di Indonesia masih ditemui masalah kesehatan ibu dan anak. Sebelum membuat Du'Anyam, Ayu dan teman-temannya juga datang sendiri untuk survei di lapangan. Mereka bicara dengan masyarakat di sana, bidan, dan Dinas Kesehatan, untuk mencari tahu mengapa masalah kesehatan ini bisa terjadi, padahal banyak program pemerintah yang bagus.


Dari situlah, Ayu melihat bahwa di balik jumlah kasus kesehatan, ternyata masalah utamanya adalah sosial ekonomi. Misalnya, Program Tabungan Bersalin yang tidak berjalan, Ternyata para ibu tidak bisa menabung karena tidak memiliki uang. Pekerjaan mereka sehari-hari berladang dan hasilnya tergantung musim, kadang bagus, kadang jelek. Kebanyakan hasil ladangnya pun untuk dimakan sendiri. Belum lagi, untuk melahirkan mereka juga tidak bisa menyewa mobil atau ojek. Selain karena tidak punya uang, jalannya pun jauh dan kurang bagus. Jadilah mereka melahirkan dibantu dukun yang bisa dibayar dengan hasil ladang atau ternak.

Ada beberapa alasan kenapa Ayu dan teman-temannya bergerak di NTT. Yang pertama, NTT adalah salah satu daerah dengan masalah kesehatan yang serius. Alasan lainnya karena ada Hana, salah satu founder yang sudah punya pengalaman dan jaringan yang baik di sana. Dengan adanya Hana, langkah Ayu dan teman-teman untuk memulai kegiatan ini akan lebih mudah. Secara resmi, Du'Anyam mulai berdiri pada 2014 lalu. Kata "Du'a" diambil dari bahasa Flores, yang berarti "ibu". Melalui Du'Anyam, Ayu berharap mampu meningkatkan penghasilan masyarakat yang kemudian membuahkan kesehatan bagi ibu hamil dan bayinya karena mampu menyediakan asupan gizi dan nutrisi yang baik. Du'Anyam didirikan untuk menyelesaikan masalah kesehatan ibu dan anak dengan mendayagunakan keterampilan menganyam daun lontar yang sudah ada di masyarakat.


Dari hasil survei yang dilakukannya, menganyam adalah sebuah langkah ringan yang dapat mewujudkan tujuan tersebut. Menganyam daun lontar merupakan pekerjaan alternatif dan tidak membutuhkan tenaga besar dan mampu dilakukan kapan saja, di mana saja. Bahkan, ibu-ibu itu bisa menganyam sambil menonton teve atau ngobrol dengan teman-temannya. Beruntung, ketika pertama kali masuk NTT dan mengenalkan Du'Anyam, masyarakat antusias dan banyak yang tertarik. Walau ada sebagian yang masih meragukan Du'Anyam. Sejak awal Du'Anyam dibentuk sebagai kewirausahaan sosial. Ayu tidak mau menjadi seperti yayasan yang hanya mengandalkan donasi. Ia ingin ada pemasukan dari produk yang dihasilkan oleh para ibu-ibu di sana. Dari situlah, tahun 2014 lalu, Ayu dan teman-teman membentuk sebuah PT.

Sejak ide muncul sekitar 2013, butuh satu tahun bagi Ayu dan teman-temannya untuk merelisasikan Du'Anyam. Banyak hambatan eksternal dan juga tidak sedikit masalah internal. Awal berdiri, Du'Anyam dibantu oleh 6 orang, yang semuanya adalah teman dari SMP dan SMA. Jadi mereka sudah akrab dan punya visi yang sama. Mereka semua juga punya kegiatan dan pekerjaan masing-masing. Ada yang di Singapura, Australia, Jakarta, dam Ayu sendiri saat itu masih di Amerika. Dari ide, kumpul, sampai survei dan lain-lain, lumayan memakan waktu. Belum lagi kepercayaan dari masyarakat. Untuk itu, Ayu dan teman-teman sangat berperan aktif, dan ketika mengambil produk dari ibu-ibu, langsung mereka bayar. Dengan begitu, perputaran uang dalam masyarakat juga menjadi lancar. Strategi yang mereka terapkan adalah Bussiness to Bussiness. Mereka menjual lagi produk tersebut ke perusahaan besar. Yang paling banyak adalah penjualan ke vila dan resor di Bali.


Meski berasal dari keluarga yang juga memiliki kepedulian sosial tinggi, Ayu mengaku, langkahnya membantu masyarakat NTT ini sempat diragukan oleh kedua orangtuanya, meski akhirnya orangtuanya mendukung. Saat ini produksi Du'Anyam sudah cukup banyak. Produknya berbeda-beda, misalnya sandal, keranjang, tas, dompet, dan barang dekor lainnya. Ke depan, Du'Anyam juga akan bekerja sama dengan pihak lain untuk terus mengembangkan produk anyaman lontar. Baru-baru ini misalnya, mereka bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). Dalam perjalanannya, Du'Anyam juga sudah mengantongi berbagai penghargaan. Tak hanya dari dalam negeri, tapi juga dari luar negeri, seperti tahun 2014 dari Michigan Institute of Technology (MIT) Amerika, penghargaan dari United Indonesia Champions, dan tahun 2015 penghargaan Quick Pitch Award dalam Global Social Venture Competition mewakili ASEAN di San Fransisco.

Mengikuti kompetisi, menurut Ayu, adalah salah satu cara mendapatkan feedback dan memperluas jaringan. Ini dibuktikan dengan diterimanya berbagai tawaran dari luar negeri akan produk-produk Du'Anyam. Hanya saja, Ayu mengaku belum siap memenuhi permintaan tersebut. Ia tidak ingin demi memenuhi pesanan lalu mengorbankan konsistensi dan standar produk. Karena, permintaa dari dalam negeri saja sudah banyak. Ayu berharap, ke depannya Du'Anyam bisa hadir di 20 desa di NTT, dan terus meningkatkan kapasitas, kualitas, dan kuantitas. Bila semuanya sudah siap, barulah direncanakan untuk ekspor. Saat ini, dari 10 desa yang ada, terdapat 120 penganyam. Rata-rata mereka sudah meningkat pendapatannya sebesar 20 persen. Dan Ayu dan teman-teman pun juga terus mengukur asupan nutrisinya.


Yang pasti, berkat Du'Anyam, kini terlihat perbaikan ekonomi masyarakat. Ada yang sudah berubah hidupnya akibat menganyam, walau awalnya kegiatan ini agak susah diterima masyarakat. Du'Anyam juga membentuk kebun sayur dan kandang ayam di desa-desa untuk meningkatkan asupan gizi masyarakat. Rencana Du'Anyam lainnya adalah terus mengembangkan produk. Selain bekerja sama dengan kampus seperti ITB, juga bekerja sama dengan desainer-desainer, 







0 komentar:

Posting Komentar