Jumat, 11 Maret 2016



Perjuangan perempuan hebat asal Lamongan, Jawa Timur ini sungguh luar biasa. Ia mendirikan LSM Koalisi Perempuan Ronggolawe untuk melindungi perempuan dan anak di Tuban, Jawa Timur. Namun, jalan yang ia tempuh amat tak mudah. Ancaman demi ancaman kekerasan yang nyaris merenggut jiwanya pernah dia alami. Kendati demikian, semangatnya tidak surut. Karena baginya, amat tidak tega meninggalkan dunia aktivis ketika melihat ketidakadilan di depan mata.

Nunuk mendirikan Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR) pada 14 Februari 2004. Tapi ide pendiriannya sebetulnya sudah ada sejak tahun 2002. Ia mendirikan LSM itu bersama beberapa teman sepergerakan, seperti Emy Nur Hidayati, Bulqoisus, Ira Lidyaningsih, Sulamul Hadi serta Muhaerly. Saat itu mereka menganggap amat perlu mendirikan lembaga ini karena semua isu atau masalah perempan tidak bisa terakomodir dengan baik dan mandek begitu saja. Misalnya, tidak adanya perwakilan perempuan di tempat-tempat pengambil kebijakan, mulai dari pemerintah desa, kecamatan sampai kabupaten dan dewan. Termasuk di organisasi pun saat itu belum ada direktur perempuan. Pada saat deklarasi pendirian, Nunuk dan teman-temannya mengundang berbagai pihak termasuk perwakilan partai.

Namun sayangnya, saat di awal berdirinya KPR itulah mulai muncul stigma-stigma buruk. Misalnya, KPR dianggap sebagai lembaga sesat, dituduh memiliki pemahaman yang mengajarkan perlawanan terhadap laki-laki, bahkan ada pula yang menduga kelak KPR akan ‘merampok’ uang Pemda. Sebagian orang pun mempunyai keyakinan bahwa KPR tidak akan bertahan lama. Tapi bagi Nunuk, justru dari sanalah terlihat bahwa ada pihak-pihak yang memang ketakutan dengan keberadaan KPR. Itupula yang membuat Nunuk dan teman-temannya semakin tertantang, adrenalin mereka justru semakin meningkat. Tak lama setelah deklarasi, KPR diundang oleh partai PAN dan PDIP yang ingin sharing, karena kedua partai itu juga mengusung isu perempuan dalam visi misinya.

Sekitar 3 bulan berikutnya, Nunuk yang saat itu terpilih menjadi direktur KPR menjalin kerjasama dengan sesama teman pergerakan di Jawa Timur, yang saat itu memunculkan isu mendorong 30 persen parlemen daerah sampai pusat haruslah diisi sosok perempuan. Setelah sepakat, KPR pun mulai melakukan sosialisasi di berbagai kecamatan di Tuban yang berisi tentang ajakan kepada para perempuan agar memilih wakil perempuan saat Pemilu. Saat itu tantangan makin kuat. Nunuk bercerita, pernah suatu ketika saat dirinya tengah melakukan sosialisasi di rumah salah satu anggota komunitas di sebuah desa, tiba-tiba ia didatangi petugas kecamatan. Petugas itu mengusirnya karena menganggap KPR sebagai lembaga sesat. Sambil berteriak, petugas itu mengatakan, tidak butuh kehadiran organisasi perempuan karena di sana sudah ada PKK, Fatayat NU, Muslimat NU, dan Aisyiah. Demikian pula ketika Nunuk akan mengadakan kegiatan di Pemda, sempat ditolak. Karena KPR dianggap lembaga bohong-bohongan. Sejak itulah, Nunuk segera melegalkan KPR dengan mendaftarkannya di notaris, dan lain-lain.


Setelah resmi secara hukum, Nunuk dan teman-teman kemudian mengajukan permohonan untuk bisa bertemu dengan Bupati Tuban, Heny, yang kebetulan juga seorang perempuan. Yang membuat Nunuk senang saat itu, Ibu Heny langsung memintanya presentasi tentang program KPR untuk pemberdayaan perempuan di Tuban. Tentu saja kesempatan itu tak ia sia-siakan. Usai presentasi, Ibu Bupati itu pun kemudian memberikan fasilitas KPR dengan menggandeng Bapemas Kabupaten untuk melakukan sosialisasi tentang gender serta UU Perlindungan Anak di kecamatan Singgahan. Tapi ternyata, meski pemerintah telah memberikan fasilitas, tentangan dari masyarakat belum selesai. Nunuk kembali menceritakan, setelah pemateri dengan topik lain selesai bicara, ia pun diberi kesempatan oleh Bapemas untuk bicara. Tapi belum sempat ia berdiri, tiba-tiba ada seorang warga yang menyela. Dengan suara berapi-api, warga yang seorang bapak-bapak itu meminta Nunuk untuk tidak bicara, karena merasa materi yang disampaikan sebelumnya sudah cukup. Si bapak itu merasa sudah tahu materi yang akan diberikan Nunuk, yang katanya mengarah kepada ajaran perempuan melawan laki-laki. Menurutnya, itu adalah ajaran sesat dan sebagai tanda bahwa dunia mau kiamat. Saat itu suasana sempat hening, dan ketua Bapemas langsung menghubungi Polsek setempat untuk minta pengamanan. Dalam waktu singkat, polisi pun berdatangan karena dikhawatirkan akan terjadi sesuatu.

Tapi meski menghadapi keadaan demikian, Nunuk tetap berusaha tenang. Setelah bapak itu berhenti bicara, barulah ia menjelaskan. Untungnya, walau bapak itu amat keberatan ketika ia mau menjelaskan maksudnya, tapi para ibu yang lain mencoba mempersilahkannya bicara. Nunuk pun minta waktu 10 menit saja untuk menjelaskan. Ia berjanji, bila setelah 10 menit ternyata semuanya masih tidak berkenan dengan penjelasannya, maka tanpa disuruh pun ia akan pergi meninggalkan tempat itu. Maka kesempatan berbicara 10 menit itu pun tak disia-siakannya. Nunuk kemudian membuat ilustrasi tentang kegiatan seorang suami dan istri ketika di rumah. Di waktu yang singkat itu ia uraikan, kira-kira setelah dihitung aktivitas seorang perempuan di rumah jauh lebih banyak daripada seorang bapak. Rupanya, penjelasan singkat itu begitu mengena sehingga ketika waktu 10 menit sudah lewat, ia pun masih ditahan tidak boleh pulang dan diminta terus melanjutkan materi.

Dan apa yang terjadi kemudian? Ternyata bapak yang semula memprotesnya tadi bersedia mendengarkan materinya selama lima jam penuh dari 3,5 jam yang sudah ditentukan. Dan yang membuatnya surprise lagi, bapak tadi akhirnya mengajukan diri menjadi ketua kelompok dan juru bicara di acara diskusi itu. Di akhir acara, si bapak menanyakan tentang latar belakang pendidikan yang Nunuk miliki. Dan bapak itu tidak percaya begitu tahu bahwa Nunuk adalah tamatan IKIP di Tuban, karena mengira ia kuliah di Yogya atau UI. Sebagai wujud penghargaan, sebelum pergi dari sana, Nunuk pun memberikan bapak itu sebuah buku.


Keputusan Nunuk memilih menjadi aktivis tentu saja ditentang oleh keluarga besarnya. Maunya mereka, selesai kuliah Nunuk diminta menjadi pegawai negeri, menikah, dan merawat anak di rumah. Keluarganya memang tidak tahu apa itu LSM atau dunia pergerakan. Soal keluarga ini Nunuk pun pernah punya cerita yang cukup dramatis. Suatu ketika ia sempat berada di sebuah lokalisasi PSK di Tuban untuk melakukan pendampingan pada seorang PSK yang saat itu sedang mendapat masalah. Entah mungkin lagi apes, ketika ia tengah berjalan di kompleks tersebut ia berpapasan dengan seorang tetangga desanya yang sedang menggandeng dua orang PSK. Semula Nunuk bersikap biasa saja. Tapi yang terjadi, ketika pulang ke desanya, tetangganya itu malah menyebarkan berita yang mengatakan kalau Nunuk sudah menjadi PSK. Kabar itu membuat desanya gempar, dan tentu saja membuat malu keluarganya. Maklum, keluarga besarnya adalah penganut agama yang taat. Saat itu juga, Nunuk pun ditelepon kakaknya dan dipaksa pulang.

Dengan terpaksa, di hari yang masih gelap itu Nunuk pulang. Dan begitu ia masuk rumah semua saudaranya menangis. Nunuk langsung diminta mengenakan kain jarik sebatas dada, lalu ia dipukuli, kemudian dibacakan ayat-ayat suci sambil dimandikan air kembang. Semua keluarga besarnya mengira ia sudah sesat sehingga sampai menjadi PSK. Saat itu Nunuk hanya bisa diam saja. Karena menurutnya, percuma juga membela diri dalam suasana seperti itu. Beruntung, keesokan harinya, ia meminta salah satu temannya, Sulamul Hadi, yang kini menjadi suaminya, untuk pura-pura mengaku sebagai dosennya dan datang ke rumah guna menjelaskan bahwa keberadaan Nunuk di lokalisasi PSK tersebut adalah dalam rangka tugas pendampingan. Nunuk bersyukur, keluarganya berhasil diyakinkan. Sekarang, seluruh keluarga besarnya dan warga desa sangat respek dan bangga dengan pekerjaan yang dilakoni Nunuk.

Nunuk berkisah, dulu di tahun 2004, awal-awal ia menjadi aktivis, ia sempat mendampingi korban pemerkosaan yang salah satu tersangkanya adalah keluarga bupati. Karena itu Nunuk pun mendapatkan ancaman dan teror. Ia sempat ditabrak tiga motor dengan enam penumpang. Bahkan saat itu salah satu dari mereka sempat memeluknya sambil tangannya memegang belati terhunus mengarah ke dadanya. Saat itu Nunuk diancam akan diperkosa dan dibunuh. Tidak hanya itu, Nunuk pun juga pernah mendapatkan teror yang luar biasa ketika sedang melakukan pendampingan pada seorang bocah miskin di Kecamatan Widang. Bocah ini dituduh mencuri motor. Saat sedang di pasar membantu ibunya, ia ditangkap. Oleh seorang oknum polisi, bocah itu ditelanjangi, dipukuli dadanya, diinjak, bahkan mulutnya dimasuki pistol. Padahal dia bukanlah pelakunya. Sebab bagaimana mungkin dia bisa mencuri motor sementara dia sendiri tidak bisa naik motor.


Semula polisi yang melakukan tindak kekerasan itu mengelak. Tetapi dengan bukti-bukti yang sangat gamblang akhirnya si pelaku tidak bisa berkelit lagi. Yang terjadi, Nunuk pun diteror habis-habisan. Ia diminta tidak boleh mendampingi korban lagi. Berhari-hari di depan kantor, di ujung gang, atau ke manapun ia pergi selalu dibuntuti orang bermobil. Telepon gelap dan ancaman pembunuhan melalui telepon pun ia terima. Puncaknya, ponsel Nunuk disadap. Ponselnya bisa tiba-tiba mengirim SMS ke temannya padahal ia merasa tidak berkirim SMS, demikian juga sebaliknya. Kameria ponselnya juga tiba-tiba memotret sendiri serta alat rekam juga tiba-tiba merekam seluruh percakapannya. Semua teror itu baru berhenti setelah Nunuk dibantu oleh seseorang yang mengerti tentang hal itu. Beruntungnya pula, ada suaminya yang selalu mendukung, selain itu ia juga mendapat support dari mertuanya, KH. Abdul Matin, pengasuh Pondok Pesantren Sunan Bejagung.

Dengan tekanan yang begitu kuat, tentu saja dalam batas tertentu Nunuk sempat ada perasaan takut. Tapi bagaimana pun ia tidak akan berhenti. Baginya, bahkan kalau ia sampai mati karena membela sebuah kebenaran, ia rela karena akan mati terhormat. Sementara kalau ia sampai berhenti, ia tidak tega memikirkan nasib orang-orang yang tertindas. Saat ini Nunuk masih punya enam teman yang membantu mengelola KPR ditambah sekitar 60 relawan yang tersebar di berbagai desa dan kecamatan. Nunuk akui, ia sangat bangga dengan teman-temannya di KPR. Mereka adalah orang-orang yang tangguh, dan Nunuk merasa dirinya tidak akan bisa berbuat sesuatu tanpa bantuan mereka. Nunuk mengakui, saat ini cukup susah mencari kader yang mumpuni. Kemampuan para mahasiswa yang melamar ke KPR jauh dari harapannya. Karena itu, salah satu caranya ia mengkader anggota dari awal kemudian ia kuliahkan sampai lulus dengan biaya KPR.

Dana untuk menjalankan semua kegiatan KPR Nunuk dapatkan dengan melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga nasional maupun internasionl yang memiliki visi yang sama tentang pemberdayaan perempuan maupun pendampingan anak dan wanita yang bermasalah. Sampai saat ini, Nunuk belum tahu mau sampai kapan ia akan menekuni dunia pergerakan. Karena jujur, sejatinya ia memang ingin melakukan sesuatu yang lain. Tapi ketika masih melihat ketidakadilan yang nyata-nyata di depan matanya, ia pun tidak tega meninggalkan dunia LSM.
Bercerita soal suaminya, kebetulan mereka sudah berteman sejak awal, jadi sudah sama-sama tahu diri masing-masing. Walau suaminya asal Tuban dan kuliah di IAIN Sunan Ampel, sementara Nunuk berasal dari Lamongan yang berkuliah di Tuban, tetapi karena mereka sama-sama aktivis, jadi bisa menyatu. Yang membuat Nunuk gembira, setelah membina hubungan kasih dan merasa cocok, ia sempat mengadakan ‘kontrak politik’ dengan suamnya. Dia bertanya, apakah setelah menikah masih tetap diperbolehkan berkiprah menjadi aktivis ? Dan ternyata sang suami justru memintanya tidak boleh berhenti. Saat ini suaminya berprofesi sebagai pengacara dan juga menjadi ketua Panwaslu Kabupaten Tuban.

0 komentar:

Posting Komentar