Sabtu, 19 Maret 2016



Cacat fisik tak melunturkan cita-citanya menjadi guru. Bahkan, ketika tak ada sekolah yang mau menerimanya sebagai pengajar, dibantu sang suami ia mendirikan sekolah gratis di Desa Beloh, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Anak pertama dari tiga bersaudara yang tumbuh di tengah keluarga sederhana ini, ingin menyebarkan ilmu untuk mencetak anak yang cerdas dan berakhlak mulia. Baginya, itu bisa menjadi tabungannya kelak saat menghadap Yang Maha Kuasa.

Sejak kecil Miftahul memang bercita-cita menjadi guru. Baginya profesi guru adalah profesi yang amat membanggakan dan mulia. Bahkan, Tuhan pun menjanjikan salah satu amal yang tidak akan putus meski seseorang telah meninggal dunia adalah ilmu yang bermanfaat. Tapi cita-citanya itu ternyata tidak berjalan mulus. Saat di kelas 3 Madrasah Aliyah, ia tertimpa musibah yang cukup berat karena mengalami kecelakaan. Sewaktu berangkat sekolah dengan mengendarai motor, ia tersenggol truk ketika ingin menghindari motor penjual kerupuk. Ban truk melindas kaki kirinya. Persis di bagian bawah lututnya hancur. Dokter pun angkat tangan. Tulang maupun pembuluh darah di kakinya itu sudah tidak bisa diperbaiki sehingga satu-satunya jalan ia harus diamputasi.

Tentu peristiwa itu membuatnya terpukul. Walau sebenarnya ia sempat menolak untuk diamputasi dengan harapan masih ada cara lain yang bisa dilakukan, asalkan bukan diamputasi. Tapi karena sudah tidak ada pilihan lain, bahkan kalau tidak segera diamputasi bisa menyebabkan pembusukan lebih luas, mau tidak mau ia harus menerima. Yang membuat mentalnya kuat menghadapi cobaan itu, selain kedua orangtuanya Rukhan dan Sriyani, juga guru maupun teman-teman sekolahnya. Selama 23 hari di rumah sakit, para guru bergantian datang dan mengajarinya agar tidak ketinggalan pelajaran. Demikian pula teman-temannya yang juga rajin menjenguk.

Walau dengan kondisi tubuh yang sudah tidak sempurna lagi, Miftahul tidak mengubur cita-citanya untuk menjadi guru. Setelah lulus dari MAN, ia melanjutkan kuliah di salah satu PTS di Malang, mengambil jurusan Matematika sesuai bidang yang ia sukai. Pikirannya saat itu sederhana saja, setelah lulus kuliah ia akan melamar menjadi guru. Persoalan kakinya yang tidak sempurna, tidak ia pikirkan. Toh, mengajar Matematika di depan kelas tidak memerlukan olah fisik yang terlalu berat. Saat itu, untuk menopang kaki yang diamputasi ia harus menggunakan kruk. Baru beberapa tahun berikutnya ia menggunakan kaki palsu. Miftahul bersyukur studinya berjalan lancar nyaris tanpa hambatan. Saat menyusun skripsi, atau menjelang kuliah selesai, ia juga menikah dengan Djit Thendra, tetangga desanya yang dulunya teman SMP.

Persoalan pun mulai muncul setelah ia tamat kuliah. Saat itu ia kembali ke desa dan mulai melamar ke berbagai sekolah SMP, baik swasta maupun negeri di kawasan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Berbekal surat lamaran yang dibawa, sambil dibonceng motor suaminya ia mendatangi satu sekolah ke sekolah lain. Ketika melamar, tak lupa ia selalu menjelaskan bahwa dirinya tidak harus diangkat menjadi guru tetap, menjadi guru honorer dengan gaji seadanya atau tidak digaji pun ia ikhlas. Namun ia selalu mendapatkan respons yang sama di setiap sekolah-sekolah yang didatangi. Pihak sekolah hanya memintanya meninggalkan lamaran, dan berjanji akan dipanggil bila memang akan dibutuhkan. Tapi walau ditunggu hingga berbulan-bulan, panggilan itu tidak pernah ada.

Miftahul tidak mengerti penyebabnya, apakah tenaga pengajar di sana sudah cukup atau karena cacat fisiknya yang menjadi sebab mengapa ia tidak diterima. Selama belum mendapatkan jawaban itu, ia pun mengisi waktu luangnya dengan memberi les privat dengan bayaran seikhlasnya. Dan karena tidak kunjung mendapatkan panggilan kerja pula, ia jadi sering menggerutu ke suami, bagaimana caranya supaya ilmu yang ia dapatkan di bangku kuliah itu bisa diamalkan? Rupanya, sang suami tidak tega melihatnya yang nyaris setiap waktu merengek minta dicarikan tempat mengajar dan selalu keluar masuk sekolah memasukkan lamaran. Di tengah kegundahan itu, suaminya pun melontarkan ide, daripada ia mencari pekerjaan yang tak kunjung dapat, lebih baik menciptakan pekerjaan baru dengan membuka sekolah sendiri di rumah. Tujuannya, selain bisa membagikan ilmu pada anak-anak desa, ia juga bisa mengajar sekaligus memberi lapangan pekerjaan kepada guru-guru lain yang memiliki visi yang sama, yaitu mengamalkan ilmu pada orang lain. Sekolah itu juga tidak memungut bayaran alias gratis, termasuk perlengkapan sekolahnya.

Mendengar gagasan suaminya itu, Miftahul tentu kaget. Awalnya ia sempat tidak yakin, tetapi setelah diberi penjelasan dan saling berdiskusi, akhirnya ia mendukung sepenuhnya gagasan suaminya tersebut. Demikian pula dengan ayahnya yang juga tidak keberatan dengan ide itu. Sesuai dengan yang direncanakan, ia lalu mengambil tempat bangunan sederhana di sebelah rumahnya yang selama ini menjadi Taman Pendidikan Al Quran (TPA), yang didirikan ayahnya sejak lama. Gurunya saat itu adalah kawan-kawannya para sarjana yang bersedia menjadi relawan. Tapi sebelum rencana itu dijalankan, suaminya tak lupa mengajukan izin ke Departemen Pendidikan sehingga sekolahnya legal dan lulusannya juga sah.
     
Sambil mengajukan izin, ia bersama suaminya juga bergerilya menjaring dana dengan menghubungi teman-teman mereka, baik yang ada di Mojokerto maupun yang di luar kota. Selain itu suaminya juga memasukkan proposal ke perusahaan-perusahaan. Miftahul pun bersyukur ia diberi kemudahan oleh Tuhan sehingga semuanya berjalan lancar. Ia lalu memberi nama sekolah tersebut Miftahul Khoir. Untuk menjaring siswa pun ini menjadi salah satu tantangan yang tak kalah beratnya. Setelah rencana mendirikan sekolah telah matang, lagi-lagi bersama suaminya, layaknya seorang sales, ia masuk dari rumah ke rumah warga desa yang memiliki anak akan masuk SMP. Ia berusaha meyakinkan para orangtua bahwa sekolahnya resmi, dengan tenaga pengajar yang mumpuni, kurikulum sesuai dengan program pemerintah, serta gratis. Itu pun masih akan diberi seragam, buku, sampai sepatu. Jadi yang harus modal sendiri hanya tas saja.

Pada awalnya tentu banyak yang meragukan sekolahnya. Para warga desa rata-rata mengira bahwa sekolah yang ia dirikan ini tidak akan berumur lama. Miftahul bisa memahami hal itu. Tentu pikiran orangtua, daripada menyekolahkan anaknya di tempat yang baru ia dirikan, lebih baik dimasukkan ke sekolah negeri yang mereka anggap lebih bergengsi. Tapi ia dan suami tidak putus asa, dan terus berusaha meyakinkan. Akhirnya, di tahun pertama ia bisa menjaring 25 anak. Tentu ia bahagia sekali meski kegiatan belajar mengajar saat itu hanya menempati bangunan sederhana di sebelah rumahnya. Ia dan para guru relawan tetap mengajar dengan semangat tinggi. Dalam menerima siswa, ia juga berusaha tidak memilah-milah. Yang penting anak-anak itu memang mau bersekolah di tempatnya. Tapi akhirnya memang terjadi seleksi alam. Artinya, kini dari seluruh siswa sekolahnya, sekitar 70 persen adalah anak dari orangtua tidak mampu. Ada yang yatim, terkadang ada pula yang sehari-hari membantu orangtuanya membuat batu bata. Karena itu, terkadang pada saat jam pelajaran ada siswa yang kelihatan kepayahan dan mengantuk.


Sementara orangtua yang mampu secara ekonomi, tentu ada rasa gengsi menyekolahkan anaknya di tempatnya yang gratisan. Rata-rata anak mereka sekolah di sekolah negeri. Menjelang tahun ajaran baru, ia dan suami beserta keluarganya mulai memutar otak bagaimana caranya bisa membuat bangunan sekolah yang permanen dan lebih bagus. Akhirnya, sang ayah kembali menghibahkan tanah seluas 700m2 kepadanya. Lalu suaminya juga berusaha menjaring dana partisipasi masyarakat serta mengajukan ke Diknas. Bahkan ada pula warga desa yang menyumbangkan batu bata. Akhirnya, ia dan suami berhasil mendirikan bangunan sekolah cukup megah dua lantai dengan 7 kelas. Bila ditotal mungkin nilainya sekitar Ro 700 jutaan.


Saat ini di sekolahnya, sudah terdapat 3 angkatan kelas, dengan masing-masing kelas berisi belasan hingga puluhan siswa. Bahkan ia pun juga sudah bisa memberi para guru uang transport setiap bulan. Uang tersebut didapatkan dari pasrtisipasi masyarakat ditambah dana Bantuan Operasional Siwa (BOS) dari pemerintah. Masing-masing siswa mendapat Rp 60.000 per bulan. Tentang keberhasilan ini, tentu saja Miftahul tidak pernah bisa lupa dengan jasa sang suami. Di matanya, suaminya memang hebat. Dia rela berjuang keras demi cita-citanya mempunyai sekolah sendiri. Kebetulan, suaminya juga memiliki keinginan yang sama untuk menjadi seorang pendidik. Selain membantunya dalam mengurusi sekolah, suaminya kini juga bekerja dengan menjadi konsultan pemberdayaan masyarakat. Jasanya sering dipakai pemerintah bila ingin membangun infrastruktur di desa-desa.

Seperti yang sudah ia ceritakan, sang suami adalah teman lamanya saat duduk di bangku SMP. Rupanya sejak SMP itu pula suaminya sudah suka padanya. Tapi karena saat itu mereka masih merasa anak-anak, perasaan itu pun disimpan rapat-rapat. Setelah sekian tahun tidak bertemu, suaminya sempat ikut syok ketika mendapat kabar ia mengalami kecelakaan dan kakinya harus diamputasi. Ternyata menurut suaminya, cintanya tidak pernah luntur. Suatu ketika menjelang lulus kuliah, suaminya datang ke rumahnya. Itu pertama kalinya mereka bertemu lagi sejak SMP. Saat itulah, sang suami mulai berani mengutarakan rasa sukanya. Tentu saja bagi Miftahul masih tidak mudah percaya dengan ucapan itu mengingat secara fisik ia memiliki kekurangan. Tapi suaminya tetap gigih melakukan pendekatan, hingga akhirnya ia pun luluh juga.

Memang hubungan mereka sempat menemui masalah karena orangtua suaminya tidak merestui hubungan mereka. Tapi suaminya tetap keukeuh memperjuangkan cintanya. Dan akhirnya kini mereka pun telah direstui. Apalagi kini pernikahan mereka sudah dikaruniai seorang anak yang cantik dan lucu, Alexandria Al Zahra. Bahkan Miftahul menceritakan, kini keluarga suaminya sangat sayang sekali padanya, melebihi dari sang suami sendiri. Keinginan Miftahul ke depannya adalah, akan terus berjuang keras agar sekolah yang ia dirikan ini makin maju, berkembang, dan bisa mencetak anak-anak yang cerdas dan berakhlak mulia.

1 komentar:

  1. Saya ingin berbagi cerita kepada anda bahwa dulunya saya ini cuma seorang.
    penjual es kuter kelilin tiap malam. pendapatannya tidak seberapa dan.
    tidak pernah cukup dalam kebutuhan keluarga saya,, suatu hari saya dapat.
    informasi dari teman bahwa AKY GENDENG bisa memberikan angka ritual/goib.100% tembus.
    akhirnya saya ikuti 4D nya dan alhamdulillah memanG bener-bener terbukti tembus.
    saya sangat berterimakasih banyak kpd AKY GENDENG.atas bantuan AKY saya sekarang.
    sudah bisa mencukupi kebutuhan keluarga saya bahkan saya juga sudah buka.
    usaha matrial dan butik pakaian muslim.
    Jika anda mau buktikan
    silahkan bergabun sama AKY GENDENG
    Di:
    No: tlp.0853-1089--8585
    Saya sudah buktikan benar2 tembus 3x permainan

    BalasHapus