Kamis, 02 Juni 2016


Tak kenal lelah perempuan sederhana ini mengenalkan jamu gendong, termasuk ke kalangan atas. Tak heran, jamunya bisa dinikmati presiden, menteri, juga orang asing. Hebatnya, meski diimingi  beragam fasilitas, Lasmi menolak waktu ditawari untuk mengajar cara pembuatan jamu di negara tetangga.

Lasmi bercerita, ia sudah mulai berjualan jamu sejak umur 12-13 tahun. Semasa kecil ia tinggal di Nguter, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Ibunya sehari-hari berjualan jamu di Pasar Sukoharjo. Sebelum ibunya, neneknya pun dulu juga berjualan jamu. Jadi resep jamunya turun temurun. Sejak umur 10 tahun, Lasmi sudah membantu ibunya membuat jamu dan berjualan di pasar. Awalnya ia hanya membantu membawakan botol jamu dari rumah ke pasar. Kalau di pasar habis, ia yang mengambilkan ke rumah. Lama-kelamaan, ia pun ingin berjualan sendiri.


Sebelum berjualan jamu gendong, Lasmi diminta belajar cara menggendong tenggok (bakul) jamu terlebih dulu, lalu bolak-balik disuruh menaikkan dan menurunkan tenggok itu. Menurut Lasmi pelajaran itulah yang paling susah. Selain itu ia juga disuruh latihan berjalan, lalu ibunya berpura-pura membeli. Saat belajar menggendong itu, botol kaca hanya diisi air. Meskipun berat, tapi Lasmi tetap ikhlas melakukannya. Karena Lasmi yang merupakan anak kedua dari empat bersaudara ini, harus membantu orangtuanya membesarkan adik-adik. Setelah bisa, ia pun mulai berjualan jamu dengan berjalan kaki keliling kampung. Sekitar umur 20 tahun, Lasmi pindah ke Surabaya. Sampai menikah dan melahirkan anak pertama, ia masih di Surabaya sambil berjualan jamu dengan sepeda. Sayangnya selama 10 tahun di sana, tidak ada peningkatan hasil meskipun setiap hari jamunya habis. Akhirnya, Lasmi memutuskan mengikuti jejak kakak perempuannya yang sudah lebih dulu pindah ke Jakarta dan berjualan jamu di Jakarta.

Pilihannya pindah ke Jakarta saat itu karena ia ingin hidupnya lebih meningkat dan ingin agar jamunya lebih dikenal di Jakarta. Walaupun Lasmi mengaku, saat itu sempat pesimis apakah ia akan kerasan di Jakarta. Setelah sempat pulang ke Sukoharjo sebentar, akhirnya, bersama anak dan suaminya, Lasmi pun berangkat ke Jakarta pada 1982. Menurut suaminya kala itu, tak ada salahnya mencoba mengadu nasib di Jakarta. Di Jakarta, Lasmi kembali berjualan jamu gendong dan menumpang di rumah kakaknya. Awal dirinya berjualan, kakaknya mengikutinya dari belakang untuk mengawasi apakah ia bisa menyeberang jalan yang ramai atau tidak. Karena merasa tidak kuat, akhirnya Lasmi memilih berjualan jamu dengan naik sepeda. Beruntungnya, setiap hari jamunya habis dan penghasilannya lebih baik dibanding di Surabaya. Hingga lama kelamaan, Lasmi dan suami bisa mengontrak rumah sendiri. Untungnya pula, waktu itu ia tinggal di lingkungan penjual jamu gendong di daerah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, bahkan sampai sekarang. Jadi temannya cukup banyak.


Di tahun 1989, Lasmi membentuk paguyuban jamu gendong Lestari dan ditunjuk menjadi ketua. Kebetulan, di lingkungannya, sederetan rumah dari ujung ke ujung semua penghuninya adalah penjual jamu gendong dari Jawa. Lasmi membentuk paguyuban ini untuk menyatukan teman-temannya yang tinggal satu lingkungan agar merasa aman dan kompak saat berangkat dan pulang berjualan. Paguyuban ini juga menjadi wadah komunikasi bagi 30 orang anggotanya. Awalnya, masing-masing punya resep sendiri-sendiri. Tapi lama kelamaan resepnya menjadi satu agar rasanya sama. Di paguyuban itu ada pula iuran uang khas yang gunanya untuk membantu sesama anggota yang sedang mengalami kesusahan, ingin mengadakan hajatan, dan lainnya. Semuanya dilaksanakan secara gotong royong. Selain itu, setelah ada paguyuban, penghasilan anggotanya meningkat bisa sampai dua kali lipat, termasuk Lasmi sendiri.

Tahun 2001, Lasmi mengikuti lomba jamu gendong yang diadakan Martha Tilaar di Taman Mini Indonesia Indah dan berhasil mendapat juara satu. Setelah itu, ia semakin rajin mengikuti lomba jamu gendong, termasuk lomba ratu jamu gendong yang diadakan sebuah perusahaan jamu, dan ia kembali mendapat juara pertama. Karena rajin ikut lomba, orang-orang pun jadi mengenalnya. Padahal tujuannya mengikuti berbagai lomba sekedar ingin memotivasi dirinya saja. Kalau kalah, ia jadi tahu kekurangannya di mana, dan kalau menang ia juga jadi tahu apa faktornya.


Yang menyenangkan, setelah bergabung dalam Gabungan Pengusaha Jamu (GPJ), jaringannya dalam dunia jamu pun makin berkembang. Lasmi sering diajak tampil menyediakan jamu dalam berbagai acara yang diadakan di  Jakarta, termasuk yang dihadiri Presiden. Maka dengan bangganya, Lasmi bercerita bahwa jamunya pernah dinikmati Presiden Soeharto dan Presiden SBY. Lasmi juga kerap diajak menyediakan jamu untuk sebuah acara Himpunan Pengusaha Muda Indonesia di Jakarta, yang dihadiri Joko Widodo, tak lama setelah menjadi presiden. Ada cerita unik di acara itu, ketika baru saja ia meletakkan gelas berisi jamu dan belum sempat mempersilahkan, Presiden Jokowi langsung mengambil sendiri dan meminumnya. Presiden Jokowi memang gemar minum jamu. Tak lama kemudian, Jokowi segera mencanangkan setiap kementerian harus mengadakan kegiatan minum jamu bersama. Lasmi lalu diajak untuk mempromosikan jamu gendong dari satu kantor kementerian ke kantor kementerian lain. Total saat ini, sudah ada 12 kantor pemerintahan yang berlangganan jamu.

Walau sebenarnya usaha jamunya sudah berkembang sejak lama, tapi Lasmi merasa kenaikan secara drastis sampai 90 persen sejak ada pencanangan minum jamu itu. Setiap ada event apa saja di kementerian, pasti jamunya dipesan. Belum lagi, Lasmi juga sering diajak ikut pameran selama beberapa hari oleh berbagai kementerian, misalnya di Jakarta Convention Centre. Dulu, Lasmi hanya membuat jamu kunyit asam, beras kencur, sambiroto, temulawak, dan sebagainya. Tapi sekarang sudah makin berkembang. Antara lain, kini sudah ditambah bir pletok (secang) dan sanapis, yaitu sawi, nanas, jeruk nipis, yang ia buat sejak 2012. Waktu itu ia membuatnya untuk mengikuti lomba di Kementerian Pertanian. Bila permintaan sedang banyak, misalnya 150 gendongan, sesama anggota paguyuban akan membuatnya ramai-ramai. Jamunya dibuat langsung satu kali dalam sebuah dandang besar, agar rasanya seragam dan menghasilkan 100 botol sekali masak.


Jamu buatan Lasmi sangat disukai banyak kalangan, karena ada ciri khas tersendiri. Misalnya, untuk beras kencur warnanya agak hitam karena disangrai. Jamunya juga sudah mendapatkan pengakuan Bebas Kimia Obat (BKO) dari BPOM, karena memang tidak menggunakan pengawet maupun bahan kimia. Memang, jadi tidak tahan lama. Sehari setelah dibuat sudah basi. Itu sebabnya, ketika direbus siangnya, hanya dibuat setengah matang saja. Jamu baru dimatangkan pada tengah malam sampai pagi. Dan Lasmi selalu menggunakan air isi ulang saat merebus bahan jamu. Sampai sekarang ia juga selalu memakai botol kaca, mempertahankan apa yang sudah dilakukan sejak zaman neneknya. Oleh karena itu, bila sedang memberi penyuluhan ke teman-teman sesama penjual jamu gendong, ia selalu mengingatkan untuk memakai botol kaca, jangan botol plastik. Kalau ada yang tidak punya botol, boleh minta padanya. Apalagi, Lasmi juga sudah mendapat bantuan sumbangan botol kaca dari sebuah kementerian, yang ia bagikan bekerja sama dengan BPOM dan sebuah perusahaan jamu. Lasmi juga selalu mengajak teman-temannya untuk membuat jamu yang benar-benar higienis, jangan dicampur bahan lain apa pun.

Selain botol, Lasmi juga mendapat bantuan 150 sepeda baru dari Kementerian Perdagangan, yang juga langsung ia bagikan. Dengan memakai sepeda, teman-teman penjual jamu pun tidak terlalu berat membawa jamunya dan juga bisa menghemat waktu. Kalau biasanya berkeliling jualan setiap pagi dan sore, setelah ada sepeda jualannya bisa satu kali saja tapi dengan jumlah bawaan yang lebih banyak. Sehingga waktu sore bisa dipakai untuk istirahat. Dulu, cerita Lasmi, ia juga berjualan seperti itu, tiap pagi dan sore. Tapi lama-kelamaan karena capek, ia lalu naik sepeda. Sementara sekarang, Lasmi berjualan jamu sudah memakai motor. Jamu yang dibawa pun juga bisa lebih banyak.


Selama berjualan jamu, tentu banyak pengalaman berkesan yang dialami Lasmi. Salah satunya, ia pernah mendapat pesanan 1000 botol jamu. Lalu ada kenalannya yang mengajari untuk memakai benzoat sebagai pengawet dengan takaran tertentu. Saat itu, bolak-balik tangan Lasmi yang sudah memegang benzoat maju mundur di atas dandang berisi jamu yang sedang dimasak, karena merasa itu bertentangan dengan nuraninya. Akhirnya, benzoat itu ia lempar ke halaman depan rumah produksi, batal ia pakai. Sampai sekarang pun, Lasmi tidak pernah memakai bahan kimia saat membuat jamu. Karena yang mencicipi jamunya adalah dirinya sendiri dulu, otomatis bila memakai benzoat itu sama saja ia meracuni diri sendiri. Pilihannya itu memang sempat dikomplain oleh teman-temannya. Ada yang mengatakan usahanya tidak akan maju bila terus berpikir seperti itu. Namun, Lasmi menerangkan, usahanya memang ingin maju tapi tetap dengan cara yang alami.

Lasmi juga pernah diminta Kementerian Kesehatan Malaysia untuk mengajar cara membuat jamu di Malaysia. Walaupun diiming-imingi berbagai fasilitas, tawaran itu ia tolak karena Lasmi tahu bahwa jamu gendong sampai sekarang belum dipatenkan. Maka, sekalipun dijanjikan honor besar untuk mengajar jamu di luar negeri, Lasmi tetap tidak akan mau, karena ia lebih mengejar kepuasan diri sendiri. Jadi, kalau jalan-jalan di negara lain, ia hanya menginginkan untuk refreshing saja, bukan untuk menumpahkan ilmu. Sebetulnya, menurut Lasmi, ia adalah orang yang tidak bisa menyembunyikan ilmu. Namun untuk mengajar membuat jamu di luar negeri ia memang belum siap, karena merasa orang Indonesia masih banyak yang membutuhkannya. Lasmi juga khawatir, bila ilmu jamunya ditumpahkan ke luar negeri, maka kemungkinan dijiplak dan dipatenkan sangat ada. Dan Lasmi tidak tahu, apakah pemerintah saat ini sudah berencana untuk mematenkan jamu gendong atau belum.


Tapi untuk mengajar membuat jamu di dalam negeri, Lasmi masih bersedia. Bahkan sudah sejak 2011 ia sering berkeliling ke berbagai daerah untuk mengajar cara membuat jamu, termasuk sampai ke Papua. Jamu yang dibuat tentu disesuaikan dengan ketersediaan bahan yang ada di daerah yang ia kunjungi. Selain tukang jamu, yang ikut pelatihan itu juga banyak dari kalangan ibu rumah tangga dan pengangguran. Selain mengajar, Lasmi juga makin banyak diundang ke berbagai acara, baik untuk tampil menyediakan jamu, atau memberikan penyuluhan. Bila dalam waktu bersamaan ada acara yang mengharuskannya hadir, maka ia dan teman-teman di paguyuban akan berbagi tugas. Atau kadang, Lasmi juga berbagi tugas dengan anak keduanya yang sekarang juga menggeluti jamu. Sementara bila sedang tidak ada kegiatan, Lasmi pun masih mau berkeliling berjualan jamu.

Di tahun 2015, Lasmi mendirikan perkumpulan tukang jamu gendong seluruh Indonesia dengan nama Perkumpulan Laskar Jamu Gendong Indonesia. Di DKI Jakarta saja, anggotanya sudah 1.500. Bila ada bantuan yang ingin disalurkan, Lasmi tinggal menghubungi ketua kelompok masing-masing. Impian Lasmi ke depan, ia ingin jamu gendong juga bisa go international seperti halnya batik. Lasmi dan teman-temannya sedang berjuang agar jamu gendong terus dilestarikan. Secara pribadi, Lasmi juga ingin memiliki kafe jamu dengan jamu-jamu yang diinovasi, sehingga anak-anak muda mau dan senang minum jamu. Lasmi bersyukur, bila dulu jamu gendong hanya dipandang sebelah mata, sekarang sudah punya pamor. 

1 komentar:

  1. Mohon info nya dong, Sentra pembuatan jamu tradisional di sekitar Ciomas, Bogor Barat atau sekitar Bogor kota, saya mau ambil limbahnya secara rutin.

    Boleh hubungi WA sy: 081310554153

    BalasHapus