Senin, 13 Juni 2016



Pernah menjabat sebagai kepala desa, ibu dua anak ini aktif memberdayakan masyarakat Desa Joho, sebuah desa di lereng Gunung Wilis, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Di sana ia mendirikan koperasi untuk mengusir para rentenir yang merongrong warga desa. Kerja kerasnya pun berbuah manis. Berbagai penghargaan ia terima, selain juga kerap menjadi pembicara di berbagai forum skala nasional hingga internasional. Penghargan yang pernah ia dapatkan antara lain sebagai Pemuda Pelopor Terbaik Se-Kabupaten Kediri dan Terbaik ke 3 Tingkat Jawa Timur. Tahun 2013, ketika menjadi Kades, ia juga meraih penghargaan Kalpataru Tingkat Provinsi, setelah berhasil melestarikan kawasan-kawasan gundul di desa Joho. Kunci keberhasilannya menurut Sulastri sederhana saja, yaitu selalu semangat, mau menjalin komunikasi, dan kreatif. Maka sesulit apa pun, dengan izin Tuhan pasti akan ada jalan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Langkah Sulastri memberdayakan masyarakat Desa Joho dimulai tahun 2005 dengan mendirikan paguyuban perempuan Sido Rukun, koperasi Sido Makmur, Taman Pendidikan Al-Quran bagi anak-anak pra sekolah, beternak kambing bergilir, serta arisan. Arisannya pun macam-macam, mulai arisan uang, sembako, dan lain-lain. Sebetulnya, menurut Sulastri arisan ini hanya sebagai wadah, yang tujan utamanya adalah bagaimana ibu-ibu warga desa bisa berkumpul, saling berbagi masalah yang dihadapi sehari-hari, lalu dipecahkan bersama. Ternyata ibu-ibu itu senang sekali. Hadirnya paguyuban seolah menjadi wadah mereka curhat masalah kemasyarakatan yang kemudian dibahas bersama. Karena sebelumnya memang tidak ada saluran buat mereka untuk berbagi cerita, ditambah lagi sehari-hari para ibu itu juga sibuk. Pagi berangkat ke ladang membantu suami sampai siang atau sore. Atau kalau tidak ke ladang mereka hanya mengasuh anak di rumah, begitu seterusnya.


Ketika Sulastri mendirikan koperasi simpan pinjam, para ibu itu juga menyambut dengan penuh antusias. Tujuannya mendirikan koperasi itu karena melihat kondisi yang sudah sangat memprihatinkan. Saat itu banyak masyarakat yang terjerat utang ke rentenir yang keliling dari kampung ke kampung. Jalan pintas itu terpaksa dilakukan karena mereka memang tidak bisa meminjam selain ke rentenir. Maka, Sulastri berpikir, satu-satunya jalan untuk mematikan mata rantai rentenir itu, hanya dengan mendirikan koperasi. Dengan koperasi, warga tak perlu lagi menjadi budak dari para pemburu rente. Pertama kali berdiri, masing-masing anggota wajib menyetor simpanan pokok sebesar Rp 20.000, sedang simpanan wajib setiap bulannya masing-masing Rp 1000. Karena modal koperasi masih sangat kecil, setiap anggota dibatasi maksimal dalam seblan hanya boleh meminjam Rp 50.000. Sejak itu, warga pun mulai rajin berkomunikasi dan berkumpul setiap bulan.

Selain mendirikan koperasi, Sulastri juga mempelopori usaha pembuatan keripik pisang. Karena ia melihat, dulu Desa Joho merupakan penghasil pisang yang cukup besar. Tetapi saat itu belum bisa dimanfaatkan dengan baik, sehingga lagi-lagi dikuasai oleh para tengkulak. Kala itu satu tandan pisang dibeli tengkulak Rp 5000, atau paling mahal Rp 7.500. Maka bisa dibayangkan betapa ruginya petani di Desa Joho. Sulastri lantas membuat terobosan. Ia belajar cara membuat keripik pisang. Setelah berhasil, ia berbagi pengetahuan ke ibu-ibu untuk belajar bersama-sama. Dari sinilah, Sulastri dan warga baru menyadari, setelah diolah menjadi keripik matang, satu tandan pisang bisa menghasilan sampai Rp 75.000. Walau memang ada biaya tambahan yaitu minyak untuk menggoreng, tetapi tetap saja untungnya masih cukup tinggi dibanding dijual mentah per tandan.


Setelah berhasil membuat keripik pisang, kemudian bersama para warga Sulastri juga membuat keripik talas dan ketela pohon. Selain pisang, Desa Joho juga adalah penghasil ketela pohon dan talas. Hingga kini, Desa Joho pun sudah dikenal sebagai penghasil keripik untuk kawasan Kediri. Saat pertama kali berdiri, warga lah yang membuat, sementara Sulastri bertindak sebagai pengepul dan memasarkan. Tapi, setelah berkembang seperti saat ini, mereka sudah berusaha sendiri-sendiri. Ada yang menjual di toko oleh-oleh di kota Kediri, ada juga yang menjual dengan ukuran kecil di warung-warung.

Setelah terjun ke masyarakat, Sulastri lalu menyadari bahwa posisi kaum perempuan di pemerintahan desa sepertinya dikesampingkan. Semua didominasi laki-laki, sementara perempuan seolah tidak memiliki peran kecuali hanya memasak, merawat anak serta membantu suami di ladang. Maka, atas dukungan para perempuan, tahun 2008 Sulastri diminta maju mencalonkan diri dalam pemilihan kepala desa. Dengan tujuan agar hak-hak perempuan terlihat lebih menonjol. Dan Sulastri amat bersyukur ketika akhirnya ia terpilih menjadi kepala desa. Setelah menjadi kepala desa, selain berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ia pun mengajak perempuan untuk ikut berperan di dalam pemerintahan desa. Ibu-ibu ia libatkan dalam pengambilan keputusan, bahkan akhirnya Sulastri pun mengangkat seorang kepala dusun perempuan. Dari sana, masyarakat menyadari bahwa seorang perempuan itu multitalenta dan bisa mengerjakan berbagai hal. Sulastri menceritakan, kepala dusun yang ia angkat itu kemampuannya sangat bagus bahkan melebihi perangkat desa yang laki-laki. Dia lebih terampil dan mampu mengorganisir warga dengan sangat baik.

Sulastri lalu juga mendirikan PAUD di Balai Paguyuban. Balai Paguyuban itu menempati salah satu rumah kosong miliknya. Setelah PAUD, menyusul kemudian Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ). Itu karena ia sangat prihatin. Ketika para ibu berangkat ke ladang atau sawah, anak-anak mereka yang ditinggalkan di rumah bermain tanpa arah. Dengan berdirinya PAUD, anak-anak tersebut lalu Sulastri kumpulkan di rumahnya untuk diajari menyanyi, mengaji, juga pelajaran yang ringan-ringan. Pengajar PAUD ia ambil dari ibu-ibu yang tidak memiliki kegiatan di rumah yang bersedia mengajar. Sebagai bentuk penghargaan pengajar di PAUD dan TPQ, Sulastri membuat peternakan kambing secara bergiliran untuk para pengajar. Caranya, kambing itu diternak oleh guru PAUD dan TPQ, lalu begitu kambing itu bunting dan melahirkan, anaknya diambil oleh pengajar PAUD. Setelah itu induknya dioper ke pengajar lain sampai bunting dan melahirkan lagi. Begitu seterusnya. Kalau semua pengajar sudah mendapat jatah, induk kambing baru dioper ke anggota biasa. Kalau induknya sudah tua, akan ditukar di pasar hewan dengan yang lebih muda.

Sekarang perkembangan koperasi yang Sulastri dirikan berkembang pesat. Bahkan perputaran uangnya sudah mencapai sekitar Rp 1 miliar lebih. Kalau dulu sebulan hanya boleh pinjam Rp 50.000, sekarang bisa sampai Rp 5 juta, bahkan Rp 10 juta. Jadi sekarang, kalau ingin menggelar hajatan khitanan atau kawinan, atau ada kebutuhan lain yang mendadak, anggota koperasi sudah tidak pusing cari pinjaman ke rentenir, karena sudah bisa pinjam di koperasi sendiri. Tak hanya itu, di waktu-waktu tertentu, misalnya saat ulang tahun berdirinya koperasi, para anggota bisa berwisata bersama, misalnya wisata religi. Hal itu bisa membuat para ibu bahagia sekali, karena biasanya mereka hanya ke ladang atau sawah, tidak pernah terpikirkan bisa jalan-jalan ke makam para wali sampai ke luar kota.

Secara umum, sekarang ekonomi masyarakat pun sudah makin membaik dan berjalan sangat aktif. Salah satu contoh, dulu perempuan yang bisa naik motor dan bepergian ke sana ke mari itu hanya Sulastri sendiri, tetapi sekarang hampir semua perempuan sudah menggunakan motor untuk beraktivitas, termasuk kalau berjualan dari kampung ke kampung. Jadi, mereka saat ini terlihat aktif, tidak lagi hanya diam di rumah seperti dulu. Dalam hal pendidikan, Sulastri pun turut memberikan motivasi. Ia menyampaikan kepada warga bahwa pendidikan itu sangat utama. Meski tinggal di desa di atas gunung yang jauh dari perkotaan, tetapi anak-anak harus tetap bersekolah setinggi mungkin. Dulunya, anak-anak warga Desa Joho setelah tamat SD tidak sekolah lagi dan membantu bapaknya mencari rumput untuk ternak. Sulastri tentu tak sekedar berucap, tapi sekaligus memberi contoh pula. Misalnya, ketika anak pertamanya, Imam Husain Ramadhan masih balita dan di desa belum ada PAUD, Sulastri lantas memasukkannya ke PAUD di kota Kediri. Dari situ, para ibu jadi mengetahui bagaimana setiap pagi Sulastri harus hilir mudik sejauh 25 km dari desa ke sekolah di kota. Begitu juga dengan anak keduanya, Cantika Dinda. Sampai kemudian Sulastri mendirikan PAUD di desanya. Sekarang anak-anak warga desa pun sudah tidak ada yang tidak sekolah, bahkan banyak yang sudah mampu kuliah.

Di tahun 2008, setelah terpilih menjadi kepala desa, Sulastri pernah memaparkan pengalamannya di sebuah acara yang diadakan Universitas Indonesia (UI), di Depok. Tema besarnya saat itu adalah Perlawanan Perempuan Menghadapi Krisis Ekonomi. Di kesempatan itu perempuan-perempuan hebat di Indonesia diundang dan masing-masing memberikan paparan. Sulastri bersyukur, pengalamannya itu mendapat apresiasi dan aplaus yang luar biasa. Meski secara jujur ia akui saat itu sebenarnya ia agak grogi, karena dirinya hanya tamatan SMA, sementara peserta yang lain memiliki pendidikan yang jauh lebih tinggi. Tak hanya itu, Sulastri juga pernah tampil di forum internasional di Bali. Pesertanya kali ini justru para wanita hebat dari berbagai negara. Karena Sulastri tidak bisa berbahasa Inggris, jadi ada petugas yang menerjemahkan paparannya ke dalam bahasa Inggris.

Suami Sulastri, Mulyono, adalah seorang wirawasta yang menjual pupuk kandang ke Wonosobo. Sulastri jujur mengakui ia sangat bersyukur bertemu Mulyono, karena suaminya itu sangat mendukung apa saja yang ia lakukan bagi masyarakat.

1 komentar: