Kamis, 01 Mei 2014




Menyebut diri sebagai sociopreneur, semangat hidup Syarifah Aliyyah Shihab tetap menyala ketika dokter memvonisnya terkena penyakit lupus. Aliyyah pun aktif di kegiatan sosial dan menjadi motivator untuk banyak orang. Kegiatan perempuan berdarah Arab ini, sejak tahun 2007 adalah kerap melakukan road show ke sekolah-sekolah di seputaran Jawa Barat. Tujuannya untuk memotivasi dan memberi workshop singkat tentang belajar menulis buku fiksi dan non fiksi, sekaligus mengedukasi para pelajar tentang penyakit lupus. Aliyyah ingin menginspirasi para remaja agar bisa bekarya sesuai hobi atau kemampuannya. Lainnya, ia juga aktif dalam komunitas Pinky Hijab yang didirikannya. Juga membuat album religi dan menjadi narasumber di 30 jaringan teve lokal serta radio se-Indonesia, untuk menjadi motivator bagi remaja.

Profesinya memang tak ada yang pasti. Ia menjadi penulis karena memang suka. Sementara menjadi motivator karena ingin berbagi. Semua ini bermula ketika ia menerbitkan novel pertama, The Power of First Love. Setelah itu ia sering road show ke sekolah-sekolah untuk memperkenalkan karyanya. Dari sinilah, ia menemukan kesenangan saat bisa memotivasi dan menginspirasi anak-anak remaja untuk menjadi penulis. Ibaratnya, ia menjadi kecanduan meskipun tidak dibayar.
 




Dalam sebulan, sekitar 300 sekolah ia datangi. Pihak sekolah yang mengundang mengetahui kiprahnya dari informasi mulut ke mulut. Selain itu ia juga sering diminta mengajar di kelas dalam bentuk seminar. Aliyyah pun makin menyadari dan menemukan dirinya cocok menjadi sociopreneur, yakni seseorang yang mengusahakan sesuatu tapi hasil keuntungannya tidak 100 persen untuknya.

Akhirnya pada 2011, ia mendirikan SAS Foundation. Di sini ia mempunyai lima karyawan. Juga mendidik para freelance trainer untuk menjadi motivator, yang bisa menggantikannya jika ia berhalangan dalam kunjungan ke sekolah-sekolah. Saat mendirikan SAS Foundation, ia memanfaatkan dana hibah dari keluarga besarnya yang rata-rata adalah pengusaha. Dalam sebulan, ia bersama karyawannya berkumpul bersama untuk membuat program. Bisa berupa produksi untuk konten teve lokal, membuat majalah, album religi, penyuluhan ke masyarakat, sekolah, dan panti-panti. Bantuan yang ia berikan kepada masyarakat memang bukan berupa uang, melainkan ilmu.
 




Yang membedakan ia dengan sociopreneur lain adalah, ia tidak meminta dana kepada orang lain, tapi lebih memanfaatkan apa yang ia dan keluarga besarnya miliki. Kegiatan-kegiatan di SAS Foundation banyak bergerak di bidang sosial. Agar dana tetap bisa berputar dan bertahan, ia pun membuat beragam produk seperti jilbab, majalah, buku, aksesori, atau CD yang bisa dijual. Semua keuntungan itu tidak ia ambil semuanya. Ia hanya mengambil 10 persen untuk menggaji karyawan, selebihnya dipakai untuk pemutaran dana guna membiayai berbagai kegiatan yayasan.  Sementara di komunitas Pinky Hijab, bentuknya menjadi semacam koperasi yang berisi para re-seller. Dari 1.700 member se-Jabodetabek, sejumlah 300 member aktif menjadi re-seller untuk berbagai produk yang dihasilkan SAS Foundaion. Sistemnya berdasar kepercayaan dan berlaku top up jika penjualan dan penyetorannya bisa tepat waktu.
 




Hikmah yang ia rasakan setelah menjadi sociopreneur adalah, ia jadi merasa sangat bersyukur dari segi duniawi. Saat bertemu orang lain yang masih kekurangan, ia merasa harus membimbing dan menginspirasi mereka agar bisa sukses. Contohnya, ketika menjadi motivator untuk para remaja. Saat ia datang dan memberi motivasi, mereka bahkan belum tentu paham apa yang didengarkan. Tapi mereka bisa melihat sosok yang menginspirasi. Hasilnya, ada murid SMP yang mengirimkannya SMS, bercerita tentang sekolahnya dan ingin menjadi seperti dirinya. Aliyyah sangat senang memberi motivasi, karena ingat kiprah leluhurnya yang berasal dari Arab. Mereka menyebarkan ilmu tanpa pamrih. Dari sinilah ia jadi terinspirasi harus bisa lebih bermanfaat bagi orang lain. Selain itu, dengan menjadi motivator ia juga bisa mendapatkan ilmu baru dari hasil sharing.
 




Menurut Aliyyah, kita bisa dengan mudah melihat banyak motivator untuk problem orang dewasa. Tapi untuk remaja, jumlahnya masih sangat jarang. Padahal, problema mereka juga penting untuk diarahkan ke solusi yang membangun diri. Biasanya, berkisar tentang cinta, pengaturan keuangan, pengembangan talenta, dan ada juga yang tentang konflik keluarga. Kalau remaja dari golongan menengah ke atas, mungkin bisa saja mereka datang ke psikolog, konsultan, atau motivator. Tapi untuk golongan menengah ke bawah, tentu mustahil. Karena mereka utamanya memikirkan kebutuhan pokok dulu untuk hidup. Oleh karena itu, fokus Aliyyah dalam kegiatannya sehari-hari lebih berupa aksi sosial untuk para remaja. Ia pun juga sering mengisi program teve lokal yang isinya curhat tentang masalah remaja.   

Dari pengamatan Aliyyah, problema para remaja umumnya karena tidak punya teman untuk mengarahkan bakat mereka atau belum tahu bentuk kecerdasan apa saja yang bisa dioptimalkan. Yang mereka tahu adalah bisa bekerja dengan ijazah yang mereka punya. Padahal, setiap manusia harus mengandalkan bakat juga untuk bisa bersaing di dunia kerja, misalnya di industri kreatif.

Bicara soal latar belakang pendidikan, Aliyyah sebelumnya sempat mengenyam pendidikan di sekolah SMK jurusan farmasi, lalu melanjutkan kuliah di bidang ekonomi. Tapi, sebelum masuk bangku kuliah ia diminta ayahnya untuk masuk ke sebuah pesantren di Bekasi. Walaupun awalnya sedikit enggan, namun permintaan sang Ayah itu ia turuti juga, hanya saja dengan perjanjian dia hanya mau tinggal tiga bulan saja di pesantren. Namun, ternyata baru seminggu tinggal di pesantren, sudah mampu merubah mindset-nya. Di sana, ia selalu mengisi kegiatan dengan menulis novel.

Setelah itu, semua kegiatan yang terkait dengan pekerjaannya mengalir begitu saja. Padahal mayoritas keluarga Arab punya pakem sendiri, bahwa perempuan harus sering berada di dalam rumah, dan bersikap pasif. Maka, tak mengherankan bila Aliyyah termasuk perempuan yang dipandang aneh karena terlalu banyak kegiatan. Bagi keluarga Arab yang betul-betul fanatik, malah seorang perempuan Arab itu tidak diperbolehkan pergi kemana-mana. Bahkan, Aliyyah mengaku ia punya sepupu yang sudah menikah di usia 15 tahun, dan tidak kuliah serta bekerja.

Beruntungnya, Aliyyah mempunyai orang tua yang pola pikirnya cukup modern. Hingga ia bisa bebas berkarya dan mencoba banyak hal, asal tetap mematuhi norma-norma adat yang berlaku. Jadi, ia bisa membuktikan kepada orang tua, bahwa dirinya bekerja bukan hura-hura. Keaktifannya bermanfaat untuk orang banyak. Bukan hanya Aliyyah saja, sebagai anak pertama dari delapan bersaudara, adik-adiknya pun juga aktif di berbagai kegiatan. Maka ia sangat bersyukur tidak mendapatkan kendala apapun dari keluarganya, karena mereka sangat mendukung baik dari segi materi dan non materi. Sejak kecil pun, Aliyya mengaku sudah diikutkan banyak les, namun selain itu ia juga diwajibkan untuk mengerjakan sholat lima waktu, bersedekah, serta puasa Senin dan Kamis. Sementara soal memakai cadar, orang tuanya membebaskan, apakah mau pakai atau tidak.

Semangat Aliyyah dalam berkegiatan didasari pada niatnya untuk ibadah agar menjadi manusia yang bermanfaat, serta ingin membanggakan kedua orangtuanya. Walaupun bentuk usaha yang ia jalani tidak memperoleh omzet miliaran rupiah. Bisa dikatakan, apa yang dilakukannya sekarang ini telah berani mendobrak pakem tradisi yang ada pada keluarga Arab. Memang ada yang mempertanyakan kesibukannya yang syarat kegiatan duniawi, dan menyarankannya setelah menikah berada di rumah saja menjadi istri dan ibu yang baik. Namun Aliyya berpikir, kalau dirinya bisa melakukan hal yang bermanfaat untuk orang banyak, kenapa tidak ? Ada pula teman yang pernah tertarik ikut kegiatannya, misalnya membuat album religi. Tapi mereka harus meminta izin kepada orangtuanya dulu dan belum tentu disetujui.

Aliyyah sadar, masing-masing orang memang punya  jalan hidupnya sendiri. Termasuk dirinya, yang juga divonis dokter sebagai odapus (orang dengan penyakit lupus). Saat mengetahui dirinya mengidap penyakit lupus, awalnya tentu kaget. Apalagi saat itu usianya masih 19 tahun. Saat sedang road show memberi motivasi ke sekolah-sekolah, ia sering jatuh pingsan. Karena itulah, ia mendidik trainer lain agar setiap undangan yang datang dari sekolah-sekolah tetap bisa terpenuhi. Dirinya memang sering merasa cepat letih. Kalau dianalogikan baterai handphone, ia hanya bisa berfungsi seperempat atau setengahnya saja.

Selain kerap mengalami sakit kepala dan batuk-batuk, tulang-tulangnya juga terasa ngilu. Tapi kalau hanya diam saja di rumah, ia tidak betah karena dihantui rasa sedih dan ingin mati akibat menderita penyakit ini. Meski ditakuti dengan sisa hidupnya, tapi dirinya berangsur mau menerima kenyataan harus hidup dengan penyakit lupus. Namun, sejak awal ia tak melakukan pengobatan. Ia memilih cara herbal, dengan meminum racikan habbatus sauda, madu, dan zaitun. Caranya melawan lupus, yaitu dengan selalu menganggap dirinya sehat meski sebenarnya tak sehat 100 persen. Menurutnya, penyakit apa pun kalau disyukuri tak akan menjadi masalah. Toh, meskipun menderita lupus, ia tetap bisa berkegiatan.

Untuk bisa menjadi sociopreneur, menurut Aliyyah resepnya cukup yakin pada diri sendiri, lalu berusaha menemukan hobi yang disukai agar bisa potensial menjadi bisnis. Jika menjalankan bisnis berdasar hobi, pasti akan lebih enjoy. Juga jangan terlalu money oriented. Cara memulainya, ikuti saja berbagai macam komunitas. Dari situ akan menemukan inspirasi sendiri yang sesuai dengan minat dan lingkungan. Poin terpenting dari usahanya ini adalah, bagaimana caranya bisa membuat orang lain ikut terinspirasi dan sukses pula pada akhirnya. Namun sebagai perempuan, ia juga tetap harus mengutamakan keluarga dengan pembagian waktu yang efektif.

Bagi yang juga terkena diagnosis suatu penyakit, Aliyyah menyarankan agar jangan terus menerus dipikirkan, karena akan membuat keadaan semakin sulit. Obatnya adalah, jangan mengurung diri di kamar atau menyesali keadaan, tapi sebaiknya berpikir bagaimana supaya bisa lebih bermanfaat bagi orang lain sebelum meninggal dunia. Hingga, pada saat ajal menjemput, sudah ada bekal untuk akhirat.

Rencana ke depan yang ingin dilakukan Aliyyah adalah akan membangun rumah multitalenta di Bogor, Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, dan kota-kota lain. Rumah ini berisi segala macam les gratis untuk pengembangan bakat yang dimiliki anak-anak. Nantinya, akan ada ruangan khusus untuk belajar menari, bernyanyi, belajar desain grafis, melukis, dan lain-lain.

Alasan utamanya membangun rumah multitalenta adalah, didasarkan pada kenyataan, bahwa selama ini hanya anak-anak menengah ke atas saja yang bisa mengikuti berbagai les, tapi yang dari menengah ke bawah belum tentu bisa. Dari hasil motivasi dan pengajian yang selama ini ia lakukan di berbagai sekolah itulah, Aliyyah bisa melihat kebutuhan itu. Semoga saja rencananya ini bisa segera terwujud.








____________________________
advetorial :

MENERIMA LAYANAN JASA KURIR, ANTAR BARANG, PAKET MAKANAN, DOKUMEN, DAN LAIN-LAIN UNTUK WILAYAH JAKARTA DAN SEKITARNYA KLIK DI SINI

BOLU KUKUS KETAN ITEM, Oleh-Oleh Jakarta, Cemilan Nikmat dan Lezat, Teman Ngeteh Paling Istimewa, Bikin Ketagihan !! Pesan sekarang di 085695138867 atau  KLIK DI SINI

0 komentar:

Posting Komentar