Selasa, 23 Januari 2018


Perempuan kelahiran Sukoharjo 29 Mei 1979 ini mengantongi penghargaan sebagai perempuan peneliti muda tingkat dunia UNESCO-L'Oreal For Women in Science, di markas UNESCO di Paris, tahun 2012 silam. Dialah Sidrotun Naim, Ph.D, M.P.A, yang dikenal sebagai "Doktor udang". Kecintaan Naim terhadap sains sudah terpupuk sejak ia masih kanak-kanak. Dilahirkan dari keluarga besar sebagai anak ketujuh dari sebelas bersaudara, ia ingat betul saat ayahnya pulang dari Inggris, tahun 1970-an, membawa banyak buku dan mengajarkan pengetahuan lewat gambar-gambar tata surya. Sejak itulah, Naim mulai tertarik dengan sains.

Naim kecil membangun imajinasinya mengenai planet dan ikut kebiasaan sang ayah mendengarkan radio luar negeri. Ia juga mendapat berbagai contoh teladan dari saudaranya yang selalu tekun dan bisa mendapatkan sekolah terbaik. Selain itu, Naim juga belajar dari ibunya yang mengajarkan ketekunan dan keteraturan mengasuh ke sebelas anaknya dan tentunya semangat sang ibu yang berhasil mendidik anak-anaknya dengan pendidikan setinggi-tingginya. Banyak saudara Naim yang lulusan S2 dan S3, dan itu menjadi motivasinya juga sebagai perempuan dan sekaligus ibu untuk anaknya, Elhurr Zohaeri.

Naim pun mengikuti minatnya dengan masuk ke Institut Teknologi Bandung (ITB) dan mendapatkan gelar Sarjana Sains. Ia kemudian melanjutkan program master di Australia, tepatnya di University Queensland, tahun 2005, dan berkesempatan mengejar kembali gelar master di University of Arizona, Amerika Serikat, tahun 2010 dan lulus menyandang gelar Master of Science. Sebagai akademisi, Naim merasa haus ilmu. Ia kembali melanjutkan pendidikan postgraduate dan S3 di kampus yang sama yaitu University of Arizona dan mendapatkan gelar MS in Microbiology and Pathology dan menjadi doktor dengan gelar Ph.D in Environmental Microbiology di tahun yang sama, 2012. Dalam penelitiannya, Naim membahas penyakit pada udang dan mendalami biologi serta budidaya ikan nila dan mujair.


Prestasi akademik Naim memang terhitung gemilang. Dedikasinya dalam ilmu pengetahuan juga membawanya meraih berbagai kesempatan menempuh pendidikan postgraduate, antara lain di Harvard University John F. Kennedy School of Government, Amerika Serikat, tahun 2016. Tak main-main, Naim kembali mengantongi gelar, kali ini Master in Public Administration (M.P.A). Ia juga mengantongi Edward S. Mason Certificate in Public Policy and Management, Leadership, and Decision Sciences. Ia dikenal sebagai ilmuwan perempuan dalam bidang penyakit udang serta kebijakan publik, kepemimpinan, dan pengambilan keputusan.

Prestasi dan konsistensinya membuahkan sederet penghargaan sejak tahun 2009. Ini membuat Naim semakin yakin bisa berkontribusi lewat sains. Menurut istri dari Dedi Priadi ini, sejak berkenalan dengan bidang yang ia geluti tahun 2007, ia termotivasi mencari solusi atas permasalahan para petambak udang akibat penyakit pada udang yang menjadi faktor pembatas. Naim memang khusus mempelajari soal udang karena tahu potensinya. Udang itu termasuk salah satu contoh ekonomi kerakyatan. Dan masalah yang dihadapi seputar udang tidak hanya sebatas teknis seperti penyakit, tapi juga masalah sosial seperti lingkungan. Yakni, bagaimana mengedukasi para petambak dan mengelola tambak udang dengan tepat jadi lebih kompleks.

Selama 9 tahun mendalami dunia penelitian tentang udang, Naim menghasilkan riset yang dapat membantu para petambak udang. Ia berpikiran bahwa peneliti tak hanya melulu fokus di skala laboratorium saja, tetapi juga bisa langsung terjun dan berkontribusi ke lapangan. Naim terjun ke dunia penelitian dengan hasil riset yang berkualitas yang harus bisa diaplikasikan agar masalah sosialnya teratasi, udang yang dihasilkan petambak sehat dan petambak makin sejahtera. Naim juga selalu berpesan bahwa anak Indonesia harus banyak mengonsumsi udang dan makanan laut lain karena tingginya kandungan omega dan nutrisi penting lain pada udang. Ia sadar bahwa konsumsi makanan laut masih rendah dibandingkan asupan makanan berbasis peternakan. Ke depannya, Naim meyakini, budi daya perairan akan lebih prospektif, sehingga potensi dan peluang yang bisa diangkat pun meningkat. Tapi yang juga harus diingat, harus pula diimbangi dengan kompetensi SDM untuk mengolahnya. Dalam hal ini, Naim cukup yakin juga peran perempuan cukup besar.


Hasil risetnya menunjukkan bahwa petani udang itu harus istirahat atau ada rotasi waktu. Bisa juga mengaplikasikan sistem tumpang sari dengan ikan nila dan rumput laut. Hasil tumpang sari dengan rumput laut inilah yang bisa dimaksimalkan dengan peran para perempuan untuk memproduksi dan menjadikannya berbagai olahan. Naim juga terus meyakinkan dirinya untuk menghasilkan riset yang bisa digunakan untuk berkontribusi sambil terus mengedukasi para petambak udang. Juga ikut berperan mengubah pola pikir para petambak yang biasanya selalu mengekspor kualitas udang yang paling bagus dang mengonsumsi udang dengan kualitas jelek untuk dirinya. Perilaku ini harus berubah. Kita juga harus mengonsumsi udang yang kualitasnya paling bagus. Terlebih kalau udang yang dihasilkan memang berkualitas semuanya.


1 komentar:

  1. Semoga anak bangsa yang membanggakan ini mendapat kesempatan luas untuk mengaplikasikan ilmunya bagi kesejahteraan rakyat Indoneaia

    BalasHapus