Rabu, 06 Desember 2017


Berawal dari mendirikan perpustakaan di kaki gunung Rinjani, Ninik Febriyani dan kawan-kawannya tak berhenti membuat perpustakaan di kaki gunung lainnya di Indonesia. Kegiatan tersebut mereka beri nama Book For Mountain. Gadis kelahiran Makasar, 16 Februari 1989 ini juga terus mengumpulkan buku serta donasi uang bagi anak-anak yang tinggal di gunung.

Ninik bersyukur memiliki keluarga yang sangat support di bidang pendidikan. Meski berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, tapi kedua orangtuanya, Basri dan Asmirah, sangat supportif untuk urusan pendidikan anak-anaknya. Ayahnya adalah seorang guru, sementara ibunya pegawai di Departemen Keuangan. Saat sekolah di SMA 17 Makasar, Ninik sudah tinggal di asrama. Walau ia mengaku, tidak begitu jago di bidang akademis, namun di sekolah tersebut ia bisa masuk kelas akselerasi, hingga hanya dua tahun saja menyelesaikan pendidikan SMA.

Setelah lulus SMA, Ninik melanjutkan kuliah dengan mengambil Jurusan Arsitektur di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Saat itulah, ia baru benar-benar merasakan tinggal jauh dari orangtua. Namun di perguruan tinggi itu, Nunik sempat merasa rendah diri. Meski di Makasar ia lulusan SMA unggulan, tapi ternyata soal kemampuan skill-nya, masih jauh ketinggalan dengan teman-teman dari Jawa. Jadi, awal-awal kuliah ia harus beradaptasi dan mengejar ketertinggalan itu.


Adapun yang menginspirasinya untuk membuat gerakan Book For Mountain ini adalah, pengalamannya ketika masih SD. Waktu itu di sekolahnya ada perpustakaan yang memiliki banyak buku. Namun sayangnya, ruang perpustakaan itu selalu dikunci, sehingga murid-murid tidak bisa membaca buku-buku yang ada di dalamnya. Waktu itu buku-bukunya masih dalam bentuk hitam putih. Dari situ Ninik berpikir, ia yang tinggal di kota Makasar saja masih merasa kesulitan untuk bisa mengakses perpustakaan, bagaimana dengan anak-anak lain yang tinggal di desa ?

Gerakan Book For Mountain bermula ketika Ninik mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kaki gunung Rinjani, pada tahun 2010. Waktu itu tema KKN-nya adalah membangun reservoir air. Namun, ternyata masyarakat di desa tempat ia melakukan KKN tidak setuju dengan adanya reservoir air. Akhirnya, Ninik dan kawan-kawan mengubah temanya dengan mengambil bidang edukasi. Salah satu programnya adalah membangun perpustakaan. Sayangnya, waktu itu lokasi mereka jauh dari mana-mana. Akhirnya, mereka berinisiatif meminta bantuan ke teman-teman di Yogyakarta untuk mengumpulkan buku-buku. Setelah buku dikirim, mereka berkumpul dan memiliki ide, bagaimana kalau kegiatan itu dijadikan gerakan saja, dengan nama Book For Moutain.


Saat itu ada 4 ribu buku yang berhasil terkumpul. Sekitar 3500 datang dari Yogyakarta, dan sisanya hasil sumbangan dari beberapa toko buku di kota Mataram, setelah sebelumnya mereka mengajukan proposal bantuan. Ada juga donasi uang sampai Rp 10 juta. Ninik dan kawan-kawan memang menggalang donasi buku dan uang, karena ternyata banyak buku-buku sumbangan yang kondisinya tidak layak, sementara standar buku yang akan ditaruh di perpustakaan harus dipenuhi. Jadi, kalau tidak mendapatkan donasi buku, Nunik dan kawan-kawan bisa memakai donasi uang untuk membeli buku. Teman-temannya di Yogyakarta juga membuat drop box untuk menyumbangkan buku di sebuah kafe. Setelah itu, buku-buku yang berhasil dikumpulkan langsung dibawa ke Mataram dengan menggunakan bus. Kemudian Ninik dan kawan-kawan yang berada kaki gunung Rinjani, turun dari desa untuk mengambil buku-buku itu.

Pertama kali, Book For Mountain dibangun di tiga desa, yaitu desa Bebidas, Otak Larangan, dan Sembalun, Kecamatan Wanasaba, Lombok Timur. Sebagian buku-buku juga disumbangkan ke beberapa SD yang juga berada di desa-desa di kaki gunung Rinjani. Beda jarak masing-masing desa itu sekitar 2-3 km dengan perjalanan naik turun bukit. Buku-buku yang ditaruh di perpustakaan telah disortir terlebih dulu berdasarkan kategori umur, untuk memilah mana buku yang cocok untuk anak-anak PAUD, SD, SMP atau SMA. Setelah disortir, buku-buku itu diinventarisir dan diberi label. Sementara untuk tempat perpustakaan, ada yang menggunakan bangunan yang sudah jadi, ada juga yang tadinya berupa gudang, lalu mereka bersihkan dan ditata ulang.


Di desa Otak Larangan, Ninik dan kawan-kawan juga membuat program berantas buta aksara. Karena ternyata di sana masih banyak warga yang belum bisa baca tulis. Mereka pun akhirnya memberikan pengajaran baca tulis selama dua bulan. Karena buku-buku hasil donasi banyak juga yang untuk kategori umum atau dewasa, mereka akhirnya juga membuat perpustakaan umum untuk kelompok ibu-ibu. Selama dua bulan penuh, Ninik dan kawan-kawan tinggal di sana. Sistem mereka dulu adalah membangun perpustakaan, lalu kemudian mendelegasikannya ke warga desa atau guru-guru yang ada di sana.

Setelah di Rinjani, mereka pun membuat perpustakaan lagi di desa lainnya. Perpustakaan yang di awal mereka dirikan, memang saat ini belum mereka tengok lagi, tapi ada beberapa anak yang masih menjalin komunikasi dengan Ninik dan kawan-kawan setelah selesai KKN. Sekarang ini, Ninik dan kawan-kawan sudah membangun 23 perpustakaan di beberapa tempat, kecuali di Kalimantan. Setelah Rinjani, mereka kembali ke Yogyakarta, beberapa saat sebelum kejadian erupsi gunung Merapi. Mereka lalu membuat sekolah darurat di beberapa lokasi pengungsian, termasuk menemani anak-anak pengungsi bermain. Tak lupa, mereka juga membuat perpustakaan di Desa Keningar, sekitar 4 km dari puncak gunung Merapi.

Perjalanan Book For Mountain berlanjut ke gunung Bromo, tepatnya ketika terjadi erupsi di tahun 2010. Lalu ke Bone (Sulawesi), gunung Semeru, gunung Pulau Sibesi, Ciwaru (Sukabumi), Asahan (Sumatera Utara), lalu ke Nusa Penida (Bali), Lebak, Batang (Jawa Tengah), di kaki gunung Prahu, dan juga sempat bekerja sama dengan para mahasiswa KKN lainnya di Teluk Bintuni (Papua) dan Belu, yang terletak di perbatasan Timor Leste. Selain membuat perpustakaan, Book For Mountain juga memberikan beasiswa kepada anak-anak desa, meski jumlahnya belum banyak. Selain itu, mereka juga menjual kaus. Sementara rencana ke depan, mereka ingin membuat buku pelajaran sendiri, karena setiap daerah kurikulumnya tidak sama. Namun untuk menuju ke sana, mereka perlu banyak belajar terlebih dulu, karena mereka bukan edukator. Hanya saja, dari pengalaman yang mereka miliki selama ini, mereka sudah bisa membuat buku cerita bekerja sama dengan teman yang berprofesi sebagai ilustratror. Rencananya, buku itu nantinya akan mengangkat cerita-cerita di masing-masing daerah. Misalnya, di Batang, ceritanya mungkin tentang kisah wayang dan kebun teh mereka, agar lebih dekat dengan kehidupan anak-anak atau warga di sana.


Selama mengurusi Book For Mountain, tentu banyak pengalaman menarik yang Ninik dan kawan-kawan temukan. Misalnya, di Bone, mereka menemukan sekolah yang ukurannya hanya 5x7 meter, yang ternyata bekas warung. Berdinding bambu dan kalau hujan bocor. Jadi kalau sedang hujan deras, sekolah itu terpaksa diliburkan. Sekolah itu juga hanya memiliki dua orang guru. Setahun sebelum mereka datang, akses menuju sekolah baru terbuka. Sebelumnya sangat susah, nyaris tidak ada akses untuk menuju ke sana. Di sana, mereka pun terlibat dalam pembangunan sekolah. Selama pembangunan tersebut, ada siswa yang dititipkan di rumah warga yang dekat dengan sekolah, karena jarak rumahnya jauh. Dan lima dari siswa yang dititipkan itu tidak mempunyai baju ganti. Jadi selama seminggu, mereka hanya mengenakan baju yang itu-itu saja.

Di Bromo lain lagi. Waktu itu mereka ke Desa Ngadirejo, Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur. Di sana mereka bertemu dengan seorang anak bernama Karcok, yang rumahnya berjarak 4 kam dari sekolah. Karena sekolah masuk pukul 07.00, maka ia berangkat dari rumah jam 04.00 Subuh. Jam 5.30 ia sudah sampai sekolah. Semangatnya untuk bersekolah memang luar biasa, bahkan suka protes kalau sekolah libur. Contohnya, pada saat ada erupsi Bromo. Waktu itu hujan setiap hari, baju seragam yang dia kenakan pun penuh lumpur, tapi dia tetap tidak pernah mau libur sekolah.

Dalam kegiatannya, Book For Mountain bisa bekerja sama dengan siapa saja, tidak dibatasi. Untuk mendesain kaus misalnya, mereka bekerja sama dengan seniman, lalu kaus itu mereka jual. Hasil penjualannya digunakan untuk membiayai anak-anak yang belajar di kaki gunung. Yang jelas, meski mereka sudah membuat kaus sendiri, tapi tidak menutup kemungkinan untuk membuka usaha lain untuk membiayai kegiatan Book For Mountain. 


Setiap donasi buku yang datang, akan langsung mereka salurkan secepatnya ke daerah yang masih membutuhkan. Selain itu, Book For Mountain juga pernah membuat proyek di Papua, yakni mengadakan Hari Kumpul Buku di satu titik. Jadi, bagi yang ingin berdonasi buku, bisa langsung datang ke lokasi yang sudah ditentukan. Kelak, acara serupa juga ingin mereka buat di Yogyakarta dan beberapa kota lain. Ninik menjelaskan, biasanya kalau ada proyek seperti itu, antusiasme pendonasinya cukup banyak, bisa sampai 100-200 buku.

Saat ini yang mengurusi Book For Mountain ada 26 orang, dan mereka masih terus membuka 'lowongan' baru, bagi siapa saja yang ingin ikut terlibat dalam kegiatan Book For Mountain. Mereka pun berharap bisa menerima semua yang mendaftar, walau kadang tenaga yang dibutuhkan hanya satu orang. Mereka juga menginginkan Book For Mountain tidak hanya ada di Yogyakarta saja. Tapi kegiatan seperti itu bisa dibuat semacam franchise, tidak masalah walau beda nama. Yang penting tujuannya bisa bermanfaat bagi orang lain. 



1 komentar:

  1. Sambal Roa Judes, salah satu kekayaan kuliner nusantara, Sambal yang dibuat dari campuran Ikan Roa ini selalu sukses menggoda lidah para penggemar pedas. Bahkan bagi mereka yang tidak pernah memilih ikan sebagai menu makanan mereka pun, selalu berakhir dengan mengakui kehebatan rasa Sambel Roa JuDes ini.. Anda penasaran ingin menikmatinya ? Hubungi layanan Delivery Sambal Roa Judes di 085695138867. BBM : 5F3EF4E3

    BalasHapus