Rabu, 12 Agustus 2015




Sehari-hari, ibu dua anak ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya). Ia adalah orang pertama di Indonesia yang memperdalam bidang psikologi forensik. Banyak aktivitas yang dilakukan, dari memberikan pelatihan investigasi psikologi kepada para penyidik KPK, hingga menjadi ibu dari anak-anak narapidana di Lapas Anak Blitar. Psikologi forensik adalah penerapan ilmu psikologi tapi yang berkait dengan masalah hukum, terutama hukum pidana. Beberapa fungsinya di antaranya adalah mendampingi para saksi, korban, maupun tersangka saat di kepolisian, kejaksaan, maupun di pengadilan.

Misalnya, ia pernah melakukan pendampingan seorang korban KDRT. Karena tekanan psikologisnya yang hebat, si korban tidak bisa memberikan penjelasan dengan baik kepada penyidik sehingga perlu pendampingan selama pemeriksaan berlangsung. Selain mempelajari ilmu psikologi, psikolog forensik juga harus mempelajari sistem hukum yang ada. Dalam hal ini harus paham KUHP maupun KUHAP karena ini berkaitan erat.

Menekuni psikologi memang menjadi keinginan Yusti sejak awal. Baginya, menjadi psikolog itu bidang yang mengasyikkan karena memungkinkan untuk bisa bertemu, berbicara, dan mempelajari karakter banyak orang. Tapi kalau pada akhirnya memilih psikologi forensik atau psikologi hukum itu memang tidak bisa lepas dari latar belakang ayah dan ibunya, Kardjono Diposoekarno, SH, dan Djoewarin, SH, yang keduanya adalah hakim. Ceritanya, ketika ia masih duduk di bangku sekolah, setiap hari saat makan bersama di meja makan kedua orangtuanya seringkali berdiskusi tentang berbagai kasus yang mereka tangani. Karena itu sudah menjadi kebiasaan setiap hari, jadi di alam bawah sadar Yusti seperti tertanam tentang persoalan-persoalan hukum.

Kemudian, sesuai dengan minatnya, tamat SMA ia diterima di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Setelah lulus, Yusti diterima menjadi dosen di Ubaya Surabaya. Ketika menjadi dosen, ia meng-upgrade kemampuan dan oleh kampus tempatnya mengajar itu, ia diminta melanjutkan S2 di UGM. Seperti yang telah ia ceritakan sebelumnya, bahwa kasus-kasus hukum yang sering dibicarakan kedua orang tuanya amat membekas, sehingga ketika mengambil S2 di tahun 1998, ia condong memilih tesis yang mengupas persoalan psikologis tetapi yang erat kaitannya dengan hukum. Terlebih lagi ketika dosennya mengundang ahli hukum Prof. Bambang Purnomo. Yusti berpikir, karena saat itu belum ada psikolog di Indonesia yang concern di bidang itu, sehingga kalau ia mendalaminya, maka kelak akan dikenal banyak orang karena kemampuan ini pasti banyak dibutuhkan. Dan memang benar, sejak dikukuhkan sebagai guru besar di tahun 2007, ia banyak diminta mendampingi orang-orang bermasalah hukum yang membutuhkan pendampingan.

Beberapa di antaranya adalah kasus penyerangan LP Cebongan, Sleman. Saat itu ia mendampingi salah seorang saksi atas permintaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), kasus Ryan dari Jombang, dan juga ikut teribat melakukan analisa psikologis terhadap kasus KDRT yang mengakibatkan seorang istri sampai bunuh diri. Dalam kasus itu ia diminta menilai apakah istri yang bunuh diri itu akibat KDRT atau tidak. Pada kasus-kasus tersebut, Yusti bisa dilibatkan baik secara langsung maupun hanya sekedar menganalisa hasil pemeriksaan polisi saja. Pada kasus Ryan misalnya, oleh Mabes Polri ia diminta melakukan pemeriksaan secara langsung. Demikian pula dalam kasus Cebongan, ia juga mendampingi seorang saksi secara langsung.

Yusti juga pernah dilibatkan ketika KPK melakukan pemeriksaan pada tersangka. Ia dihadirkan karena tersangka selalu mengelak dan mengaku lupa. Fungsinya adalah untuk membantu penyidik apakah benar tersangka itu lupa atau bertendensi untuk bohong. Karena tersangka tidak mau interview secara langsung, akhirnya ia membantu penyidik melihat tersangka dari layar CCTV di ruang terpisah. Dari fungsi kognitifnya akan terlihat apakah orang itu bohong atau bohong-bohongan. Dengan KPK, selain dilibatkan dalam menganalisa tersangka, ia juga diminta memberikan pelatihan investigasi psikologi kepada para penyidik KPK. Dalam kasus perdata, ia sering juga diminta hakim untuk membantu menentukan hak asuh anak pada kasus perceraian. Ia tidak berpihak pada salah satu orangtua tetapi berpihak yang terbaik buat anak.

Sekarang ini, dari hari ke hari makin meningkat kasus yang membutuhkan penanganan seorang psikolog forensik. Baik itu yang melibatkan orang dewasa maupun anak-anak. Karena itu, Yusti mewajibkan mahasiswa S2-nya untuk masuk ke Lapas Medaeng Surabaya guna mendampingi para tersangka atau terpidana. Tujuannya untuk melakukan pengkajian, kenapa mereka melakukan tindak pidana ? Lalu bersama mahasiswanya ia mencoba menarasikan kisah mereka dari sejak kecil hingga saat ini. Dari sana akhirnya bisa disimpulkan bahwa perbuatan yang mereka lakukan saat ini adalah akibat masa lalunya. Selanjutnya, akan dilakukan ‘pengobatan’ dengan berbagai cara, misalnya psikoterapi, konseling, hipnoterapi, dan sebagainya.

Selain menekuni psikologi forensik, Yusti juga aktif dalam bidang penanganan di Lapas Anak. Ceritanya, setelah lulus doktor tahun 2001, ia berpikir kira-kira apa yang bisa ia perbuat untuk sekelilingnya. Kebetulan, di Blitar ada Lapas khusus anak yang tentu butuh seorang psikolog yang mengerti tentang hukum. Kemudian Yusti mencoba masuk ke sana. Pertama kali ia masuk ke sana, petugasnya sempat heran, dan menanyakan apa yang bisa diperbuat psikolog sepertinya di dalam rutan ? Bagi mereka, bidang ilmunya dianggap tidak relevan. Tapi Yusti tidak patah arang dan berusaha meyakinkan mereka. Beruntung saat itu ia bertemu dengan Margret Rusler, PhD, ahli psikologi klinis berkebangsaan Jerman, yang kemudian meminta Yusti untuk turut mengajaknya ke Lapas Blitar.

Dan di sana Margret kaget dan prihain melihat kondisi psikologis anak di dalam Lapas. Menurut Margret, seharusnya anak-anak narapidana itu didampingi seorang psikolog seperti halnya di luar negeri. Akhirnya ia dan Margret setiap dua atau tiga bulan sekali datang ke sana untuk memberi terapi. Kebetulan Margret tinggal di Bali. Baru sekitar tiga tahun kemudian mereka bisa menemukan formula yang tepat untuk menghadapi mereka dengan baik. Menurut Yusti, melakukan terapi dengan anak yang bermasalah itu jauh lebih sulit ketimbang anak biasa. Cara yang dilakukan oleh Margret di antaranya menggunakan teknik meditasi, karena anak-anak itu banyak sekali mengalami tekanan. Dengan meditasi, mereka pun akan lebih rileks dan nyaman.

Lambat laun, hubungan keduanya, dengan anak-anak itu jadi makin dekat secara batin dan mereka merasa membutuhkan Yusti dan Margret. Anak-anak itu selalu menanyakan, kapan mereka datang lagi ? Kadang anak-anak itu juga menggambar atau menuliskan sebait kalimat yang mengaharukan, seperti “I love You Yusti dan Margret”. Berikutnya Yusti dan Margret juga men-training petugas Lapas. Mereka melakukan itu karena ada cerita yang melatarbelakanginya. Suatu ketika ada seorang napi anak bernama Jer yang sehari sebelumnya sempat mau bunuh diri dengan menyilet nadinya. Beruntung niatnya itu sempat ketahuan. Karena petugas Lapas tidak tahu terapinya, untuk mengalihkan pikiran, Jer diberi kesibukan. Padahal menurut Yusti itu kurang tepat. Ia kemudian mengajak petugas Lapas untuk menemui Jer supaya tahu bagaimana caranya menerapi anak yang bermasalah seperti itu. Sambil memegang pundak Jer, Yusti bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata Jer merasa percuma dirinya hidup, karena kedua orangtuanya sudah tidak ada, jadi kalau ia meninggal sekarang, ia berpikir petugas Lapas akan lebih senang, karena anak binaannya berkurang satu, jadi tidak perlu repot lagi.

Lalu Yusti memberi nasihat, sekaligus menyampaikan kepada Jer, kalau ia berkenan, Yusti bersedia menjadi pengganti orangtuanya. Dari percakapan panjang itu, batin Jer pun kembali tenang dan dia mau menjalani sisa hukuman dalam kasus pembunuhan itu dengan baik. Jadi menurut Yusti, intinya anak yang bermasalah itu harus diperlakukan dengan lembut, diajak mengobrol supaya mereka mau curhat. Karena mereka ini juga perlu didengar dan dipahami. Bila mereka sudah mau cerita, berarti setengah dari bebannya sudah berkurang. Teknik melakukan pendekatan pada anak itu akhirnya ia ajarkan pula kepada para sipir. Beruntung, tahun 2009 Margret mendapatkan koneksi dari sebuah lembaga di Jerman yang bersedia membiayai pembuatan modul buku dan DVD selama ia dan Margret memberikan training itu, di antaranya di Lapas Anak Blitar, Tangerang, Kutoarjo, dan Karangasem (Bali).

Ada lagi cerita yang menurut Yusti cukup menyentuh selama ia berhubungan dengan anak-anak Lapas. Suatu ketika menjelang Lebaran, anak-anak Lapas itu mengaku sedih tidak bisa bertemu dengan orangtua karena rumah mereka cukup jauh. Lalu anak-anak tersebut meminta Yusti untuk datang saat Lebaran. Namun Yusti merasa agak susah memenuhi keinginan mereka itu. Akhirnya ia menawarkan, apa yang bisa menggantikan keceriaan mereka di hari Lebaran ? Anak-anak itu menjawab ingin makan yang enak. Lalu Yusti menyanggupi untuk memberian uang pada mereka untuk dipakai makan bersama. Dan ketika ia bertanya, apa makanan yang diinginkan anak-anak itu, ternyata jawaban mereka hanya ingin makan mie ayam dan bakso. Jawaban itu membuat Yusti terharu. Dalam pikirannya, yang disebut makanan enak itu adalah pizza atau burger, tapi ternyata mie ayam dan bakso sudah menjadi istimewa bagi mereka.

Selain mengangani anak Lapas, Yusti juga mendirikan rumah sebagai shelter bagi anak-anak tersebut selepas keluar dari penjara. Tahun 2011, ia bersama Margret mendirikan Rumah Hati di Jombang. Rumah ini menjadi tempat bagi anak-anak yang sudah keluar dari Lapas. Mereka boleh tinggal di sana selama 6 bulan. Selama itu mereka didampingi psikolog, dan para mahasiswa yang sudah lulus. Yang diutamakan adalah yang sudah tidak punya keluarga. Selama di shelter, selain mendapat pendampingan psikologi, mereka juga diajari keterampilan atau kursus sesuai keinginan mereka. Ada yang memilih otomotif, tukang pijat, servis handphone, dan sebagainya.

Bercermin dari berbagai masalah yang ditemuinya di Lapas, Yusti menilai, untuk membentuk anak-anak yang baik semuanya berawal dari keluarga. Pesoalan anak pasti berawal dari pesoalan keluarga. Karena apa pun, orangtua menjadi panutan bagi anak. Yang membuatnya makin miris, saat ini jumlah anak yang bermasalah dengan hukum meningkat tajam. Dulu, di tahun 2007 ketika pertama kali ia masuk Lapas Blitar, jumlah narapidanya sekitar 80-an anak, tapi pada tahun 2005 sudah membengkak menjadi 240 anak. Selain orangtua, jumlah anak bermasalah juga bisa ditekan dengan membuat sistem penguatan berbasis keluarga. Misalnya, menghapus program TKW. Karena tidak ada ceritanya seorang anak ditinggal ibunya dalam waktu cukup lama yang tidak bermasalah. Dalam proses perkembangannya, anak tidak sekedar butuh uang, tetapi juga butuh kasih sayang dan pendampingan orangtua. Apalah artinya devisa negara meningkat dari pemasukan TKW kalau keluarga yang ditinggalkan malah jadi berantakan ? Menurut Yusti itu tidak bisa dibantah lagi. Fakta yang ia temukan di lapangan selama ini memang demikian.

Yusti bersama suaminya, M. Pujiono Santoso, selalu berusaha menjalin komunikasi yang sangat baik dengan kedua anak mereka, Annisa Rizky Ayu dan Adistyana Damaranti. Artinya, sesibuk apa pun, jika kedua anaknya ada masalah atau mencari teman sharing, Yusti akan hadir untuk membantu. Kini anak pertama Yusti telah mengikuti jejaknya dengan kuliah di Fakultas Psikologi Unpad Bandung, sedangkan anak keduanya ikut jejak suaminya di bidang perbankan dengan kuliah di Fakultas Ekonomi Akuntansi Unair Surabaya.

0 komentar:

Posting Komentar