Senin, 30 Oktober 2017


Ibu seorang anak warga Desa Kedung Rejo, Kerek, Tuban, Jawa Timur ini memang tak lulus SD. Namun, untuk urusan batik ia sangat piawai. Boleh dibilang, dari filosofi batik, cara memintal benang, hingga proses menjadi lembaran kain batik bisa dibilang telah ia khatamkan. Tak heran, perajin yang punya ratusan lembar batik berusia ratusan tahun ini kerap tampil sebagai motivator dan pembicara, selain menyabet berbagai penghargaan tingkat nasional dalam hal batik.

Walau secara bisnis, Huswatun terjun di dunia batik sejak tahun 1993, tapi perkenalannya dengan batik memang sudah sejak kecil. Pasalnya, di Tuban, khususnya masyarakat Kecamatan Kerek, selain dijadikan pakaian sehari-hari, batik juga memiliki nilai budaya dan ritual. Zaman dulu, jika seorang lelaki mau menikahi gadis, salah satu syarat pada lamaran selain menyerahkan perhiasan, bokor kuningan, perlengkapan rumah tangga, dan lain-lain, juga wajib menyerahkan 100 lembar kain batik. Karena pada waktu itu belum ada penjual batik, akhirnya masyarakat harus membuat sendiri. Karena itulah, dulunya perempuan desa di tempatnya tinggal semuanya bisa membatik.

Saat ini, budaya menyerahkan kain batik saat proses lamaran memang masih berlaku. Hanya jumlahnya tidak sampai 100 lembar, tetapi cukup minimal 5 lembar kain batik saja sebagai syarat. Huswatun bercerita, dulu almarhum neneknya, yang bernama Mbok Sedeng, selain orang terpandang dan berkecukupan di desanya, juga sangat mencintai batik. Sehingga ketika melamar calon menantu untuk kelima anak laki-lakinya masing-masing dibuatkan 100 lembar batik buatan sendiri. Dan sekarang, 500 lembar kain batik yang diberikan kepada lima menantu neneknya itu, sudah Huswatun beli dan saat ini menjadi bagian dari koleksinya. Termasuk batik yang digunakan kakak dari kakeknya sang nenek juga berhasil ia dapatkan. Kalau ditotal dengan yang lain, Huswatun saat ini punya koleksi 700 lembar kain batik berusia ratusan tahun.

Kain-kain batik itu tidak ingin ia jual sama sekali. Bahkan pernah ada satu lembar kain batiknya yang ditawar Rp 150 juta, tetapi ia tolak. Baginya, batik kuno punya nilai yang tak bisa dinilai dengan uang. Tetapi, beberapa saat lalu, karena ia melihat ada beberapa kain yang coraknya sama, salah satunya Huswatun sumbangkan secara cuma-cuma ke Museum Tekstil di Jakarta untuk menambah koleksi.

Huswatun kembali bercerita, kecintaan neneknya kepada batik memang sangat luar biasa. Ibaratnya, setiap tarikan napasnya tak pernah lepas berpikir dan beraktivitas untuk batik. Dulu, ketika kain mori yang jadi bahan batik masih jarang dijual, neneknya menggunakan tenun gedog sebagai penggantinya. Dan tenun gedog itu juga buatan sendiri, mulai dari memintal kapas menjadi benang, kemudian menenun benang sampai jadi lembaran tenun gedog. Dulu, kegiatan sehari-hari sang nenek, kalau malam menenun, kalau siang memintal benang. Begitu seterusnya. Belum lagi kalau kadang harus membuat pasta warna indigo dari daun tom. Pada saat dipetik, daun tom tidak boleh terkena sinar matahari sehingga semua aktivitas dilakukan pada malam atau dini hari. Pasta daun tom itu kadang disimpan sampai bertahun-tahun sebagai persediaan, karena daun tersebut hanya muncul di musim penghujan.

Aktivitas neneknya di batik makin klop dengan kehadiran ibu Huswatun, Karsipah, sebagai menantu, karena kebetulan sejak remaja ibunya juga pandai membuat tenun gedog serta membatik. Dan ilmu soal batik itu pun akhirnya menular ke Huswatun. Apalagi ia memang yang paling dekat dengan sang nenek. Huswatun masih ingat, ketika masih bocah ia selalu tidur bersama neneknya. Jadi setiap malam sebelum tidur, neneknya bercerita banyak tentang batik mulai dari proses pembuatan sampai filosofi atau makna yang terkandung di masing-masing corak batik. Maka tak heran bila Huswatun jadi hapal, karena sejak kecil sudah dijejali pengetahuan tentang batik. Neneknya sendiri meninggal di usia lebih dari seratus tahun sehingga ilmu yang diberikan kepadanya cukup banyak.

Huswatun menjelaskan, bahwa setiap corak batik itu punya makna. Misalnya corak Kijing Miring yang ada semacam gambar piramid dengan titik di sekitarnya. Gambar itu melambangkan kematian. Pesan yang diusung adalah bahwa setiap manusia harus ingat mati supaya hidupnya selalu waspada dan menanam kebaikan. Konon, corak ini dibuat oleh Walisongo. Sedangkan motif Panji Serong yang berupa gambar mahkota yang disekitarnya di kelilingi bunga-bunga, menggambarkan bahwa lelaki boleh berpoligami, namun di balik itu juga harus bertindak adil pada istri-istrinya. Demikian pula corak lain, semuanya punya makna.

Bagi Huswatun, mengenakan kain batik tempo dulu itu rasanya sangat nyaman, karena tak lepas dari proses pembuatannya yang dilakukan dengan penuh penghayatan. Misalnya malam hari ketika membuat pasta indigo sebagai bahan pewarna, sambil mengaduk-aduk di sebuah bejana berbahan tembikar, neneknya terus melafalkan doa serta menyanyi kidung pujian. Dari sini saja sudah bisa dibayangkan betapa untuk membuat selembar kain batik itu tidak hanya dibutuhkan raga, tetapi jiwa pembuatnya ikut lebur di dalamnya.

Selain membatik, Huswatun juga mengetahui proses memintal dan tenun gedog. Bahkan sebelum bisa membatik, ia sudah bisa memintal benang untuk tenun gedog. Dulu, waktu umurnya baru tujuh tahun, kalau neneknya kebetulan sedang tidak ada, dia-diam ia suka belajar memintal kapas untuk dijadikan benang. Ia sengaja sembunyi-sembunyi karena kalau ketahuan pasti tidak boleh. Sebab, kalau seorang perempuan sudah bisa memintal benang, ada ritual dan doa-doa yang harus dijalani. Sekali perempuan bisa memintal, maka dia tidak boleh setengah-setengah mempelajarinya. Kalau tidak diteruskan, maka akan terkena balak. Namun pada akhirnya, neneknya terkejut begitu tahu Huswatun sudah bisa memintal, saat usianya baru tujuh tahun. Dan begitu tahu, langsung sang nenek memintanya untuk terus melanjutkan memintal. 

Ketika duduk di bangku SD, Huswatun dijadikan anak angkat oleh adik ibunya. Adik ibunya ini seorang pembatik namun kebetulan tidak mempunyai anak. Di sanalah Huswatun belajar teknik membatik, meski awalnya sempat dilarang, karena khawatir cantingnya rusak. Karena saat itu canting harus dibeli di Pekalongan. Tapi Huswatun tak kekurangan akal. Ia berkreasi sendiri dengan membatik di atas daun jeruk. Daun jeruk itu seolah-olah sebagai lembaran kain, sedang duri yang ia tusuk-tusukkan seolah-olah ujung canting. Baru ketika menginjak dewasa, ia diperbolehkan belajar secara langsung, baik itu batik dengan bahan kain tenun gedog maupun kain mori, sekaligus belajar proses pembuatan pewarna alami. Karena itu ia tak heran, kalau beberapa tahun silam orang ramai belajar pembuatan pewarna alami, dirinya sejak remaja sudah menguasai.

Saat masih kanak-kanak itu ada suatu peristiwa yang membuat Huswatun bertekad jika dewasa kelak ingin menjadi pedagang batik. Dulu, setiap hari pasaran tertentu anak-anak di siang hari menunggu orangtua masing-masing di jalanan desa. Hari itu, orang tua usai berjualan tenun gedog di Pasar Kerek. Biasanya, setelah tenun laku, sebagian lalu dibelikan makanan untuk anak-anak, misal kacang, ketela, ketan, dan sebagainya. Makanya, anak-anak pasti bersukaria menunggu orangtua masing-masing di jalanan. Tetapi, pada suatu siang, ibu angkatnya tidak membawa pulang kue, sebab tenun gedognya tidak laku di pasar sehingga tidak ada uang untuk beli jajanan. Saat itu Huswatun merasa nelangsa, dan ia berkata dalam hati, kelak kalau sudah dewasa, ia ingin menjadi pengusaha batik sehingga kain gedog ibu-ibu di pasar bisa ia beli semuanya. Dan ternyata, sekarang tekadnya itu terwujud. Di awal dirinya menekuni usaha batik, Huswatun mendapat uang dari pemerintah sehingga bisa membeli kain tenun gedog ibu-ibu di desa.

Kalau soal bisnis, sejak remaja sebenarnya Huswatun sudah gemar berdagang. Batik dari ibu-ibu di desa ia beli, kemudian ia tawarkan door to door ke berbagai wilayah di Tuban. Bahkan pernah kaki adiknya sampai lecet, karena ia ajak jalan terus, sebab barang dagangan tidak laku-laku. Tetapi, baru benar-benar usaha sendiri, Huswatun mengawalinya di tahun 1993. Ceritanya saat itu kalau mengandalkan tenaga sendiri, jelas tidak mungkin. Jadi, mau tidak mau ia harus melibatkan orang lain untuk membuat batiknya. Kebetulan, saat itu di desanya sudah mulai ada gejala para remaja menjadi TKW. Huswatun kemudian mempunyai trik, masing-masing orangtua para remaja itu ia takut-takuti bahwa para majikan di luar negeri banyak yang jahat. Jadi, kata dia, daripada menjadi TKW ke luar negeri, lebih baik bekerja sebagai pembatik di desa. Ternyata triknya berhasil dan ibu-ibu itu mengarahkan anaknya ke tempat Huswatun untuk diajari membatik.

Kemudian, melalui wadah sanggar Sekar Ayu Wilujeng yang sekarang ini telah berubah menjadi butik, selepas sekolah Huswatun mengajari mereka membatik dari mulai proses awal sampai jadi. Sejak itu,  para remaja di desanya menjadi lebih terampil. Dan saat ini sudah ada sekitar 200 lebih yang menjadi anak buahnya. Hasil dari membatik itu bisa menjadi penopang ekonomi mereka di kampung. Sekarang anak-anak remaja di kampungnya sudah mengambil garapan dan dikerjakan di rumah masing-masing. Yang juga turut membuat Huswatun senang, mereka ini juga sekarang mengajari orangtua mereka masing-masing.

Sejak itulah usaha batik Huswatun terus merangkak naik, walau tetap melalui proses jatuh bangun juga, tidak serta merta besar seperti sekarang. Setelah ia bisa menunjukkan kualitas, barulah berbagai instansi di Pemkab Tuban serta kabupaten lain dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya memesan batiknya untuk dijadikan seragam anggota. Bahkan, pada tahun 2009, Huswatun berhasil menyabet tiga Semen Gresik Award sekaligus dengan total hadiah Rp 45 juta. Lalu tahun 2010 ia mendapat penghargaan Upakarti dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kategori pelestari budaya.

Banyak orang yang tidak percaya, kalau sebenarnya Huswatun tidak lulus SD. Mereka kira paling tidak pendidikan Huswatun sampai SMA. Dulu, di eranya saat masih menjadi anak-anak, di desanya memang jarang ada anak perempuan yang sekolah sampai tinggi. Bagi orangtua saat itu perempuan kerjanya cukup di sawah atau membatik, jadi tidak perlu pendidikan tinggi. Karena itulah, kalau dirinya diminta menjadi pembicara, Huswatun mengaku sangat malu saat menyebutkan soal pendidikan formalnya. Memang dulu ia pernah berbohong, menyebutkan lulusan SMA atas anjuran teman-temannya. Tetapi setelah itu, ia justru merasa beban, karena tidak berani jujur. Maka sejak saat itu kalau ada kolom pendidikan pada curiculum vitae, Huswatun mengambil jalan tengah dengan cara tidak mengisinya.

Selain menjadi pengusaha dan perajin batik, Huswatun juga masih menjadi instruktur untuk perajin batik di berbagai daerah di luar Tuban, terutama memberi pelatihan tentang pewarna alami. Juga menjadi pembicara di depan mahasiswa ilmu tekstil dan motivator untuk pengusaha muda. Secara kebetulan juga, anak tunggalnya, Zacky, juga punya hobi membatik. Bahkan anaknya sudah bisa mulai mendesain sampai membatik sendiri sampai jadi.

2 komentar:

  1. Sambal Roa Judes, salah satu kekayaan kuliner nusantara, Sambal yang dibuat dari campuran Ikan Roa ini selalu sukses menggoda lidah para penggemar pedas. Bahkan bagi mereka yang tidak pernah memilih ikan sebagai menu makanan mereka pun, selalu berakhir dengan mengakui kehebatan rasa Sambel Roa JuDes ini.. Anda penasaran ingin menikmatinya ? Hubungi layanan Delivery Sambal Roa Judes di 085695138867. BBM : 5F3EF4E3

    BalasHapus
  2. Saya mempunyai beberapa kain batik kuno salah satunya dibuat th 1934 bagi yang berminat hubungi saya WA 089632587785

    BalasHapus