Jumat, 03 Februari 2017


Usia muda dan sudah berkeluarga tak menghalanginya menjadi salah satu peneliti berprestasi di Lembaga Ilmu Pegetahuan Indonesia (LIPI). Penelitiannya tentang kuda laut membawanya pada penemuan senyawa aktif yang berpotensi menangkal penyakit alzheimer. Karier penelitian Ratih Pangestuti sudah dimulai sejak 2006, saat ia masih menjadi mahasiswa pascasarjana di Magister Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga. Di sana, Ratih dilatih untuk bisa mandiri, mendesain riset sendiri dan melakukan publikasi. Ratih sendiri sebetulnya sudah dua kali menempuh pendidikan S2, yang keduanya merupakan hasil dari beasiswa. Setelah di UKSW, ia juga mendapat beasiswa S2 di University of Glasgow, Skotlandia, mengambil jurusan yang mirip, yaitu Biomedical and Life Sciences.

Setelah dua kali mendapat gelar master, Ratih kemudian mendapat beasiswa lagi untuk menempuh S3 di Pukyong National University di Busan, Korea Selatan dengan jurusan Marine Biochemistry (Biokimia Kelautan). Di sana ia lebih banyak melakukan eksplorasi dan indentifikasi senyawa aktif dari biota laut, dan meneliti kegunaannya bagi kehidupan manusia. Ketika sekolah doktoral di Korea itulah, ia pernah meneliti senyawa aktif dan manfaat rumput laut, teripang, alga, dan lainnya. Sementara, penelitian terhadap kuda laut, dilakukannya pada 2012 bersama tiga orang dari Korea, termasuk profesor pembimbing dan seniornya. Namun penelitian itu belum selesai karena masih ada beberapa tahap lagi yang belum dilakukan, jadi menurutnya, masih terlalu dini untuk bisa dikatakan sebagai obat penangkal alzheimer. Untuk bisa disebut obat, kata Ratih, senyawa aktif harus memiliki beberapa tahap penelitian yang cukup mendalam. Dan Ratih mengungkapkan, penelitian yang telah ia lakukan, baru pada tahap dasarnya saja. Mungkin saat ini baru bisa dikatakan sebagai suatu senyawa yang berpotensi menangkal penyakit alzheimer. Meski demikian, ia dan timnya sudah mendapatkan hak paten dari Amerika tahun 2015 dan hak paten Korea tahun 2014.

Ratih menambahkan, bila dinilai dari tingkat in vitro dan in vivo, ia yakin tingkat keberhasilan kuda laut untuk jadi penangkal Alzheimer lebih dari 90 persen. Secara in vivo terlihat bahwa kemampuannya memberikan survival rate terhadap sel saraf sangat tinggi. Hanya saja, memang perlu ada pengujian lebih lanjut. Waktu penelitiannya memakan waktu lama. Ratih memulainya sejak tahun 2010. Untuk isolasi peptidanya sendiri memakan waktu satu tahun, dan pengujiannya juga satu tahun. Ratih mengaku, kadang juga muncul rasa jenuh. Beruntung, ia mendapat support yang luar biasa dari keluarga. Menurutnya, andai ia tidak mendapat dukungan dari suami, mungkin penelitiannya tidak akan kelar, walaupun sebenarnya ia senang bekerja di dalam laboratorium. Ratih bercerita, saat menempuh pendidikan di Inggris, meski akhir pekan dilarang masuk ke laboratorium, ia tetap ngotot minta izin. Akhirnya ia pun diperbolehkan dan bisa melakukan beragam eksperimen.

Ide untuk meneliti kuda laut datang dari Ratih sendiri. Kebetulan, ia memang ingin meneliti senyawa-senyawa aktif dari biota laut Indonesia. Waktu itu Ratih sempat membaca sebuah jurnal yang mengatakan bahwa kuda laut telah lama digunakan sebagai obat tradisional Cina, digunakan untuk menguatkan ginjal dan jantung, serta bermanfaat untuk otak. Jadi dari situlah, Ratih berpikir, mengapa ia tidak meneliti kuda laut Indonesia. Ia pun segera melakukannya. Hasilnya, Ratih menemukan bahwa peptida kuda laut ternyata sangat bagus. Peptida adalah rangkaian protein yang jumlahnya 8-20 asam amino. Asam amino pendek ini juga memiliki rangkaian yang random dengan kriteria sendiri-sendiri. Dan, rangkaian yang ada pada kuda laut ini ternyata sangat bagus manfaatnya untuk tubuh dan otak manusia, antara lain untuk mencegah alzheimer.

Sebetulnya Ratih ingin meneruskan proses penelitian ini, tapi sayangnya di Indonesia sarana dan prasarananya masih terbatas. Belum lagi, di instansi pemerintah banyak kegiatan di luar kegiatan penelitian itu sendiri (non penelitian). Misalnya, Ratih juga terlibat dalam tim Perencanaan, Monitoring, dan Evaluasi. Sejauh ini, katanya, dukungan dari pemerintah juga belum ada. Ini sangat disayangkan sebetulnya. Namun, untungnya ada perusahaan dari Korea yang tertarik. Hanya saja, karena penelitiannya juga belum sampai pada tahap final, mereka juga masih menunggu.

Sejak kecil, Ratih memang sudah tertarik pada dunia penelitian. Menurutnya, ia memang termasuk orang yang punya rasa ingin tahu yang besar. Saat bermain bola bekel misalnya, ia selalu ingin tahu mengapa bolanya bisa bergerak naik turun. Mulailah dari situ ia mengulik-ulik lebih dalam. Terlebih ketika ia kuliah S1 di Jurusan Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang. Ratih merasa masyarakat Indonesia belum banyak memanfaatkan organisme laut. Suatu saat ketika kuliah di sana, Ratih melakukan penelitian tentang rumput laut. Dan ia merasa miris sekali ketika para nelayan di pantai yang ia kunjungi, justru bertanya apa yang dibawanya. Mereka tidak tahu bahwa rumput laut yang ada di tepi pantai dan mereka anggap sampah itu ternyata bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal, misalnya dalam pembuatan es krim, industri makanan, tekstil, dan farmasi. Bahkan, sejak beberapa tahun belakangan, rumput laut cokelat telah diekspor ke Tiongkok dalam jumlah yang luar biasa banyaknya, untuk dijadikan pupuk dan polisakarida. Menurut Raih, mungkin kalau terus menerus diekspor dalam bentuk mentah seperti itu, ke depannya bisa terjadi over eksploitasi. Namun untungnya, pemerintah sekarang sudah melarang ekspor produk dalam bentuk raw material.

Yang membuat Ratih tergerak untuk menjadi peneliti adalah supaya bisa memberikan manfaat lebih untuk masyarakat Indonesia tentang organisme laut, ke depannya. Ratih tak habis pikir, bagaimana bisa masyarakat yang tinggal di daerah pesisir tidak tahu apa itu rumput laut dan manfaatnya. Padahal, mereka bisa meningkatkan taraf ekonominya dengan mengolahnya lebih lanjut. Sebetulnya, cita-cira Ratih ingin menjadi dokter. Namun, pada malam sebelum mengisi formulir pendaftaran UMPTN, ia teringat pada pidato mantan presiden Abdurrahman Wahid yang mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam hal kelautan, karena 70 persen wilayah Indonesia terdiri dari laut. Akhirnya, Jurusan Ilmu Kelautan menjadi pilihan keduanya.

Ratih pun mengakui bahwa peneliti masih dianggap profesi yang tidak asyik, terkesan kuno, rumit, dan kurang bersosialisasi. Dan itu mungkin yang menjadi penyebab kurangnya generasi muda yang ingin menjadi peneliti. Menurut Ratih, munculnya anggapan seperti itu mungkin karena kurangnya sosialisasi dari profesi peneliti. Bahkan, masih ada yang mengira LIPI singkatan dari Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia. Maka bisa disimpulkan memang banyak yang belum mengenal dunia penelitian Indonesia dan LIPI. Pandangan seperti itu tentu harus diluruskan. Justru dengan menjadi peneliti, Ratih bisa pergi ke mana saja, misalnya mengikuti seminar ke Amerika dan Jepang, sekolah doktoral di Korea, dan terkadang juga mengajar di Universitas Diponegoro. Menurut Ratih juga, sebetulnya jejaring sosial seorang peneliti lebih banyak dibanding jejaring sosial pada umumnya. Sekarang, di kalangan peneliti ada jejaring sosial Google Scholar, Linkedin, Scopus, Orcid, dan lainnya. Maka, dengan menjadi peneliti ia pun tidak merasa menjadi tua, tapi tetap bisa berjiwa muda. Bahkan, Ratih sering mengenakan celana jins saat bekerja di laboratorium. Menurutnya, di LIPI para peneliti yang bergabung banyak menggaungkan potensi peneliti muda, baik tingkat SD, SMP, maupun SMA, dengan mengadakan lomba National Young Inventors Award. Diharapkan, dengan demikian bisa merangsang jiwa penelitian pada generasi muda.

Selain itu, LIPI juga mengadakan Indonesia Science Expo dan Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) yang pemenangnya akan dikirim untuk mengikuti lomba di luar negeri. Lalu ada juga lomba LIPI Young Scientist Award, yakni lomba untuk peneliti muda di bawah usia 35 tahun dan tida hanya terbatas untuk peneliti LIPI saja. Untuk mengikuti lomba ini, syaratnya antara lain direkomendasikan oleh satuan kerjanya dan memiliki rekam jejak yang baik dalam penelitiannya minimal lima tahun terakhir. Dokumentasi paten serta publikasi ilmiah juga menjadi penilaian. Ratih sendiri cukup rajin menulis jurnal ilmiah, yang sampai sekarang jumlahnya sudah 30-an buah. Ketika membuat proposal penelitian, biasanya harus menulis 1-2 jurnal. Sisanya merupakan ide tambahan darinya sendiri. Menurutnya, peneliti itu juga seperti sastrawan, yang menulisnya tergantung mood. Itulah yang juga dilakukan Ratih.

Sejauh ini, yang menjadi kendala dalam melakuan penelitian, menurut Ratih, yang utama adalah dana. Selain itu, sebagai peneliti sekaligus ibu rumahtangga, istri dan perempuan, Ratih juga harus bijak membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Sebab, melakukan penelitian sangat menyita waktu. Misalnya, ia harus menunggui sel, yang bisa memakan waktu sangat panjang, terkadang menunggu sampai malam. Ia juga harus terbiasa mendapat tugas mendadak. Pernah, begitu tiba di kantor, di mejanya sudah ada tiket pesawat untuk ke luar kota keesokan paginya. Untuk menyiasati waktu, saat melakukan tugas lapangan ke laut tertentu di sebuah daerah, ia tidak pernah melakukannya lebih dari seminggu. Karena ia harus meninggalkan suaminya, Puji Rohmadi, dan anaknya, Shaka Rasendria Rohmadi. Namun Ratih bersyukur, sang suami sangat mendukung dan tak pernah melarangnya bertugas keluar kota. Tanpa dukungan suami dan orangtuanya yang ikut menjaga anaknya, Ratih merasa dirinya bukan apa-apa. Beruntung, dalam setahun Ratih hanya melakukan 3-4 kali penelitian di luar kota.

Sampai saat ini, Ratih sudah pernah melakukan penelitian ke Makassar, Mataram, Lampung, dan lainnya. Ia dan teman-teman peneliti lainnya pernah menaiki kapal sopek untuk mencari tripang, rumput laut, dan lainnya di laut. Yang paling sering ia teliti adalah rumput laut, baik dari jenis alga merah, cokelat, maupun hijau. Selain itu Ratih juga pernah meneliti mikroalga. Dan pernah meneliti bulu babi tapi tidak mendalam, karena fokusnya terpecah oleh penelitian kuda laut. Saat di Korea, ia juga pernah melakukan penelitian tentang tripang. Bedanya, tripang Korea aktivitas antikankernya sangat tinggi, sedangkan tripang Indonesia aktivitas antioksidannya yang kuat.

Ratih menjelaskan, bahwa sesungguhnya Indonesia sangat kaya dalam hal biodiversitas dan pemanfaatannya bagi kehidupan manusia. Ambil contoh saja, 5,62 persen spesies rumput laut dunia ada di Indonesia atau sekitar 800 spesies. Dari jumlah itu, yang baru dimanfaatkan masyarakat Indonesia tidak lebih dari 10 spesies. Begitu pula dengan tripang. Indonesia merupakan negara pedagang tripang terkuat di dunia, tapi kebanyakan diekspor ke berbagai negara termasuk Tiongkok untuk digunakan sebagai obat dan lainnya. Ironisnya, produk obat berbahan baku tripang yang terkenal justru dibuat negara tetangga, bukan Indonesia. Masyarakat Indonesia baru mengolahnya sebatas menjadi keripik, padahal kalau diolah lagi akan memiliki nilai tambah yang lebih besar.

Saat ini, Ratih dan teman-teman penelitinya sedang mengembangkan tripang dan alga laut Indonesia untuk menjadi produk pangan fungsional dan nutraceutical, yaitu suatu produk yang berupa suplemen atau produk lain yang diklaim bisa meningkatkan daya tahan tubuh. Misalnya, minuman suplemen yang diklaim bisa menurunkan kadar kolesterol. Dalam jangka panjang, ia juga ingin mengembangkan penelitian cosmeceutical, yaitu gabungan kosmetik dan pharmaceutical, misalnya sebagai lotion yang bisa berfungsi sebagai antioksidan atau antikerut.

1 komentar:

  1. Assalamualaikum saya azizah, mahasiswa pasca THPIPB. Mohon maaf sebelumnya kak, apakah saya boleh minta kontak ibu Ratih? Karena perencanaan tesis saya mengenai kuda laut

    BalasHapus