Senin, 23 Januari 2017


Ibu tiga anak kelahiran Jayapura ini mengawali karier sebagai aktivis hukum yang fokus pada ketenagakerjaan. Sebagai lawyer di LSM Solidaritas Perempuan Jakarta, ia melakukan advokasi pada para TKW yang tersandung masalah. Jiwa aktivisnya tak pernah surut meski menikah dan ikut suami tinggal di Batu, Malang, Jawa Timur. Di kota berudara sejuk itu, anak kedua dari lima bersaudara pasangan Achmad Rahayaan dan Maryam Rahayaan ini memberdayakan perempuan desa dengan mendirikan Sekolah Perempuan. Berbagai aktivitas diajarkan, mulai dari keterampilan tangan sampai demonstrasi.

Perjalanannya mendirikan Sekolah Perempuan memang cukup panjang. Sejak menjadi mahasiswa di Universitas Brawijaya, Malang, Salma memang sudah senang terjun di dunia pergerakan. Kebetulan, ia juga adik kelas satu tingkat almarhum Munir. Setelah tamat kuliah tahun 1995, ia langsung bekerja di LSM Solidaritas Perempuan di Jakarta. Karena seorang sarjana hukum, jadi tugasnya di lembaga tersebut adalah memberi advokasi sekaligus lawyer bagi TKW yang bermasalah. Kemudian, Salma juga ditunjuk menjadi Ketua Badan Eksekutif selama dua periode. Karena pekerjaannya selalu mengurusi TKW, jadi selama berada di Solidaritas Perempuan, Salma bersama teman-temannya sering dilibatkan dalam proses pembuatan berbagai jenis undang-undang. Misalnya, dalam proses rancangan pembuatan UU KDRT, UU Imigrasi, UU tentang ketenaga kerjaan, bahkan UU perlindungan saksi dan korban.

Tak hanya itu, karena bidang pekerjaannya juga selalu bersentuhan dengan dunia ketenagakerjaan di luar negeri, jadinya Salma pun berkesempatan mengunjungi berbagai negara pengirim TKW di ASEAN, seperti Filipina dan Thailand, begitu juga negara penerima TKW di Timur Tengah seperti Iran, Abu Dhabi, Qatar, Bahrain, Saudi Arabia, dan lain-lain. Selain itu ia juga sempat dikirim ke New York, untuk terlibat dalam diskusi global membahas isu perempuan. Meski kaya dengan pengalaman, namun secara jujur Salma mengakui, bekerja di dunia aktivis sangat melelahkan. Waktunya sangat padat, kadang Salma harus bekerja dari pagi sampai ketemu pagi lagi. Namun, bagi Salma pekerjaannya tetap mengasyikkan. Bahkan saking asyiknya, ia sampai lupa mencari pasangan. Salma baru menemukan jodohnya di tahun 2007, setelah dikenalkan teman waktu kuliah dengan Mas Solikan yang berasal dari Batu, Malang. Karena merasa cocok, tak butuh waktu lama mereka pun sepakat menikah. Setelah menikah, tahun 2008, Salma ikut suami pindah ke Batu, Malang.

Biasa tinggal di ibukota kemudian harus pindah ke daerah, diakui Salma sempat membuatnya kesulitan melakukan penyesuaian. Namun, Salma bercerita, jauh hari sebelum ia menikah, pernah suatu kali ia mengidamkan kelak kalau sudah berusia 50 tahun ke atas, ia bisa memiliki tempat tinggal di daerah yang suasananya tenang. Dan ternyata, keinginan tersebut datang lebih cepat, yang Salma anggap sebagai kebetulan. Bagi Salma, tinggal di mana pun tidak masalah, asalkan di rumahnya ada akses internet. Karena dengan internet, ia masih tetap bisa leluasa berkomunikasi dengan teman di berbagai daerah dan masih bisa berkarya.

Karena mentalnya adalah mental aktivis, jadi meskipun berada di kampung, tetap saja Salma tak bisa diam. Di tempat tinggalnya, di Desa Gunungsari, Batu, ia membuat organisasi bernama Suara Perempuan Desa. Salma sengaja membuat organisasi tersebut lantaran ingin para perempuan di desa itu bisa lebih berdaya. Sehari-hari Salma melihat, tenaga dan pikiran perempuan di desa itu habis tercurah untuk bekerja dan mengurusi keluarga. Akibatnya, mereka jadi kurang kritis. Padahal seharusnya tidak demikian. Menurut Salma, perempuan juga harus diberi ruang untuk mengekspresikan dirinya, termasuk mendapat asupan pengetahuan agar lebih berdaya.

Awalnya, Salma memanggil lima perempuan di sekitar rumahnya, yang dua di antaranya masih kerabat suami. Masing-masing adalah Sayuti, Sumaiyah, Suyatemi, Sutianah, dan Indri. Mereka pendidikannya SMA, SMP, dan seorang lagi SD. Kepada merekalah Salma mengajak untuk mendirikan sebuah lembaga yang disebut Sekolah Perempuan (nama baru Suara Perempuan Desa). Tujuannya agar para perempuan di desa bisa jadi pintar dan kritis. Dengan konsep yang Salma tawarkan, kelimanya pun akhirnya sepakat. Begitu mereka setuju, Salma pun menyulap rumahnya menjadi kantor dadakan. Salma mengajari mereka mengetik di komputer, mengingat mereka memang belum pernah pegang komputer sebelumnya. Bagi Salma, mereka memang perlu belajar, sebab kelak kalau organisasi sudah berjalan, pasti dibutuhkan kegiatan surat menyurat dan sebagainya. Empat bulan kemudian kelimanya pun sudah cukup lancar, paling tidak sudah bisa membuat surat sederhana. Setelah itu, Salma melakukan pendekatan pada komunitas ibu-ibu di desa.

Salma bergabung dengan ibu-ibu arisan bulanan di kampung. Saat kumpul-kumpul itu, ia mulai melontarkan gagasan tentang pentingnya membangun kesadaran perempuan. Untuk merangsang rasa ingin tahu mereka, Salma tidak sekadar berbicara, tetapi ia juga memutarkan video dari slide monitor di layar dari kain yang dibentangkan pada sebilah kayu. Film yang ia putar beragam. Misalnya film dokumenter tentang kisah perjuangan ibu-ibu di Guatemala yang mempertahankan tanah dan sumber air dari ancaman pembunuhan para penambang. Karena menarik, ibu-ibu itu pun mulai berkomentar tentang bagaimana perjuangan wanita dalam film tersebut. Singkat cerita, cara yang Salma pakai mulai bisa diterima oleh mereka. Supaya makin tertarik, Salma juga sedikit mengeluarkan modal. Pada setiap acara, ia menyediakan mangkuk seharga Rp 5000-an sebanyak tiga buah, untuk hadiah bagi tiga orang pertama yang berkomentar tentang isi film yang diputar. Begitu tahu ada hadiahnya, para ibu pun semakin tertarik dan bergairah ikut kegiatan yang Salma gelar. Ini sangat berbeda dengan sebelumnya, setiap kali datang arisan mereka hanya sekedar duduk, dan langsung pulang setelah arisan dikocok. Namun setelah Salma adakan kegiatan tersebut, mereka malah betah berlama-lama untuk berdiskusi.

Selain dengan pemutaran film, Salma juga mencoba berkreasi membuat metode baru dalam berkampanye. Ia lalu menggandeng Solidaritas Perempuan, lembaga tempatnya bekerja dulu di Jakarta, untuk mendapatkan dana hiburan campursari. Tapi di tengah-tengah acara itu ada semacam dalang yang mengkampanyekan tentang anti kekerasan terhadap perempuan, serta topik perempuan lainnya. Penyampaiannya dilakukan secara jenaka sehingga selain mengena, sekaligus penonton juga terhibur. Tentu teks dari dialog tersebut adalah buatan Salma, tetapi yang membawakan adalah dalangnya. Kegiatan semacam ini dilakukan setiap tahun antara 2009-2013. Kegiatan ini berakhir seiring berhentinya kerja sama dengan Solidaritas Perempuan. Setelah kerja sama berhenti, Salma lalu memakai strategi baru. Jadi, selain ibu-ibu itu dididik tentang pengetahuan strategis, juga dibarengi dengan pengetahuan praktis. Pengetahuan strategis misalnya berbicara soal hak-hak perempuan sebagai warga negara, seperti hak-hak untuk ikut andil dalam mengusulkan pengelolaan keuangan pemerintah dalam Musrenbang (musyawarah rencana pembangunan) Pemkot Batu. Selain itu mereka juga diajari bagaimana cara berdemonstrasi. 


Hasilnya, pada saat Hari Perempuan Sedunia, para ibu-ibu itu melakukan demo secara damai di alun-alun Batu dengan mengangkat tema soal kesehatan perempuan. Selain membagi-bagikan bunga pada pengguna jalan, mereka juga menyelipkan selebaran. Kemudian diadakan dialog dengan Dewan dan para caleg sebelum Pilkada, serta mengundang tim sukses Jokowi dan Prabowo untuk membahas soal visi dan misi ketika jelang pemilu. Semua itu sengaja dilakukan karena perempuan juga berhak tahu. Jadi, warga desa yang sebagian besar tamatan SD itu pun akhirnya bisa melek politik. Sedangkan pendidikan praktis adalah memberikan pengetahuan keterampilan yang dibutuhkan perempuan, yaitu menjahit dan salon. Salma menggaet sukarelawan untuk mengajari para ibu tadi. Dan ternyata responsnya luar biasa, ibu-ibu senang sekali.

Karena cukup sukses, kemudian materi berkembang dengan topik kesehatan kewanitaan, dengan menggandeng petugas dinas kesehatan, serta pengetahuan korupsi bantuan dari teman-teman Malang Corruption Watch (MCW). Untuk soal kuliner, Salma menggandeng Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia untuk mengajar. Kegiatan ini dilakukan di Balai Desa Songgokerto, Batu. Karena materinya menarik, ibu-ibu dari desa lain pun tertarik bergabung. Selain Songgokerto, ada enam desa lagi yang setiap minggu membuat kegiatan sekolah perempuan, yaitu Desa Punten, Sidomulyo, Gunung Sari, Bulukerto, Sumberejo, dan Kelurahan Sisir. Total ada 551 orang ibu yang ikut. Salma sendiri akhirnya dibantu dua sahabatnya yaitu Siti Yulaikah dan Dinna Sari. Bahkan, karena sekarang kegiatannya makin berkembang pesat, ibu-ibu tadi pun akhirnya mendirikan Sekolah Perempuan serupa di desa mereka masing-masing. Jumlahnya saat ini sudah ratusan.

Supaya tidak membosankan, mereka juga mengadakan outbond ramai-ramai bersama anak-anak di alam bebas. Pernah juga pergi mengunjungi makam Gus Dur sekaligus belajar tentang toleransi beragama dengan menggelar dialog di salah satu gereja di Mojowarno, Jombang. Ibu-ibu itu pun sangat gembira bisa ramai-ramai jalan berombongan. Semua biaya acara tersebut sumbernya dari patungan. Misalnya, ketika outbond atau ke makam Gus Dur di Jombang, untuk menghemat biaya, masing-masing membawa bekal makanan dari rumah. Untuk transportasi, sebagian membawa mobil pribadi, sementara yang lainnya patungan menyewa angkot. Menurut Salma, bagi para ibu di Batu sebetulnya hal itu tidak sulit. Karena secara ekonomi warga Batu cukup sejahtera dari hasil alam yang melimpah. 

Salma merasa cukup nyaman dengan aktivitas sosial yang dilakukannya sekarang ini, dan sama sekali tidak mengganggu keluarganya. Ia pun tetap bisa mengasuh ketiga anaknya dengan baik. Kadang ia juga masih diminta menjadi pembicara di berbagai tempat di Malang maupun luar Malang.

0 komentar:

Posting Komentar