Minggu, 23 Oktober 2016


Jerih payahnya memandirikan anak autis seakan terbayarkan saat gelar Doktor disematkan di depan namanya. Ia menjadi contoh dari sedikit orang yang ulet dan tekun demi menggapai cita-cita. Bahkan, demi cita-citanya itu ia sampai rela menjadi Asisten Rumah Tangga (ART). Menurut Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, selaku promotor sebelum pembacaan hasil yudisium yang menyatakan Ima Salsabila Umiyati lulus memuaskan dan berhak menyandang gelar Doktor dalam bidang psikologi di Universitas Persada Indonesia YAI, Jakarta Pusat, apa yang dilakukan Ima dalam memandirikan anak autis memang sangat hebat, bahkan tak satupun penguji yang mampu melakukannya.

Menurut Ima, anak autis sangat bisa mandiri. Ia sudah membuktikannya. Di Asrama Imaculata, Taman Harapan Baru, Bekasi Barat, anak-anak autis berhasil mandiri 100 persen. Ima menyatakan, Asrama Imaculata memang tidak pernah gagal dalam melatih kemandirian. Sebaliknya, untuk wicara kemungkinannya memang kecil, karena Intelligence Quotient (IQ) anak autis berada jauh di bawah rata-rata anak normal, sehingga sangat jarang ada anak autis yang diterima di sekolah umum. Motivasi Ima memang ingin menjadikan anak autis mandiri, berperilaku baik, dan bisa mengembangkan bakatnya. Bakat yang dimaksud di sini bukanlah pintar melukis, menyanyi, atau memainkan alat musik. Melainkan mengajarkan yang bisa dia lakukan, misalnya anak yang senang masak, akan diajarkan memasak terus menerus, meskipun dia tidak bakat memasak. Demikian pula jika anak senang main air, makan akan diajarkan renang terus menerus sampai dia bisa renang, dengan harapan siapa tahu kelak bisa menjuarai perlombaan renang, meski kemungkinannya kecil sekali, satu di antara sejuta anak autis yang bisa meraihnya.


Ima menambahkan, kondisi anak autis yang terbanyak adalah yang tidak mampu berbuat apa-apa. Sayangnya, ada imej bahwa anak autis itu sebetulnya pintar dan berbakat, padahal sebetulnya tidak. Oleh karena itu, penelitiannya terhadap anak autis fokus pada habit atau kebiasaan. Artinya, sesuatu yang dilakukan terus menerus, berulang-ulang, hingga akhirnya mereka bisa melakukan sendiri dengan baik. Tidak ada sejarah khusus kenapa dirinya tertarik meneliti anak autis. Ima pun tak punya anak penyandang autis, seperti pemilik tempat terapi anak autis yang seringkali awalnya karena memiliki anak autis. Ima mulai tertarik pada anak berkebutuhan khusus sejak masih remaja dan ikut mengajar anak-anak sekolah minggu di gereja,

Suatu saat, Ima melihat seorang anak yang asyik menjilati meja, dan sebagainya. Barulah kemudian ia tahu bahwa anak itu penyandang autis. Dari situlah Ima jadi lebih tertarik pada anak berkebutuhan khusus daripada menjadi guru anak normal. Membuat anak penyandang autis bisa mandiri menjadi kebahagiaan paling luar biasa baginya. Dalam pikirannya, mereka adalah anak yang tidak bisa berbuat apa-apa, Namun Ima yakin, kalau ia akan mengajari sesuatu, anak itu pasti akan bisa, sehingga kelak hidupnya tidak terlantar. Niat itu pula yang menggiring Ima tertarik pada ilmu psikologi ketimbang ilmu kedokteran yang lebih ke penyakit secara fisik. Ilmu psikologi lebih ke perilaku dan memotivasi seseorang. Misalnya memotivasi anak-anak untuk mandi, belajar, atau melakukan sesuatu untuk dirinya. Bagi Ima, itu adalah sesuatu yang sangat real dibutuhkan.

Ima terlahir sebagai anak kedua dari sembilan bersaudara pasangan alm. Martinus Tumin dan Margaretha Saiyah. Orangtuanya menghidupi keluarganya dengan menjadi buruh tani. Saking miskinnya, bila hari ini makan, besok entah makan atau tidak. Karena itulah, masalah pendidikan tidak sempat terpikirkan. Rumah keluarganya tidak jauh dari tempat wisata ziarah Goa Maria, Rawaseneng, Temanggung, Jawa Tengah. Selain menerima kunjungan wisatawan ziarah, juga sering menjadi arena retret. Ima kecil sering bermain di sana dan mengenal para pastur dan biarawati yang melakukan kegiatan. Sesekali ia juga diminta untuk membantu pastur yang memimpin retret. Masih segar dalam ingatan Ima ketika kelas 3 SD, salah seorang biarawati berkenan mengajaknya ke Semarang, persisnya tinggal di panti asuhan dan bersekolah di sana. Tawaran itu langsung Ima sanggupi. Ia segera berlari ke rumah untuk berpamitan kepada ibunya. Semula ibunya keberatan, namun Ima bersikeras ingin sekolah.

Singkat kata, Ima ikut biarawati itu dan tinggal di asrama yatim piatu yang dikelola Susteran di Jalan MT Haryono, Bangkong, Semarang. Di sanalah ia bersekolah hingga lulus SD. Namanya tinggal di asrama yatim piatu yang serba disiplin, kegiatannya pun cukup beragam, selain tentu tetap mengikuti pelajaran sekolah. Namun Ima merasa senang-senang saja. Bagaimana tidak senang, karena saat itu ia tinggal di asrama orang kaya. Anak-anak lain yang bersekolah di situ sering memberinya uang kalau Ima mau membantu mereka melakukan sesuatu. Semua uang pemberian tadi Ima kumpulkan ke dalam kantung plastik, tanpa ia hitung. Setelah kantung plastik itu penuh uang, ia ikat dan simpan. Kemudian Ima menyurati bapaknya agar datang ke Semarang mengambil uang tersebut. Itulah kesempatannya bertemu orangtua dan melepas rindu.

Memasuki SMP, Ima pindah ke Yayasan Realino, di kawasan Mrican, Yogyakarta. Sama seperti di Semarang, ia juga mendapat kewajiban selain bersekolah. Di antaranya bertugas mengajar sekolah minggu tiap Minggu pagi. Sejak tinggal di Realino, motivasi Ima untuk bersekolah makin terlecut, berawal dari kejadian yang sederhana. Ceritanya, suatu hari ia melihat anak pengelola asrama memiliki roti yang berukuran besar. Ima ngiler ingin mencicipi roti seperti itu. Sementara dirinya sebagai anak asrama yang selalu dijatah makan nasi sekepal dan lauk secuil. Sejak saat itu, Ima bertekad harus sekolah setinggi mungkin.

Sebenarnya Ima ingin tinggal di Realino hingga SMA, namun Realino tidak membiayai anak yang sudah lulus SMP. Beruntung, kakak sulungnya Fubibertha sudah tinggal di Jakarta, hingga Ima bisa tinggal bersama sang kakak dan mendaftar sekolah di SMA Asisi, Tebet, Jakarta Selatan. Lulus SMA tahun 1986 Ima diterima kuliah di Unika Atmajaya sebagai mahasiswi dengan beasiswa karena nilai saat testing yang lumayan baik. Meski demikian, ia tetap pusing memikirkan bagaimana mengatasi biaya kos dan makan sehari-hari di Jakarta yang biayanya tidak sedikit. Ditambah lagi jadwal kuliahnya juga lumayan padat, sehingga kalau ia tetap tingga di rumah kakaknya di Tebet, akan memakan waktu dan ongkos. Dan ia tiak tahu harus meminta bantuan kepada siapa lagi. Timbul ide untuk kos di dekat kampus yang terletak di kawasan Semanggi, Jakarta Selatan.

Suatu hari, seorang teman kuliahnya bercerita tetang keluarga kenalannya yang memerlukan tenaga asisten rumah tangga di kawasan Bendungan Hilir. Ima pun menawarkan diri menjadi pembantu rumah tangga. Ia sama sekali tidak gengsi karena selalu termotivasi untuk sekolah dari cerita roti tadi. Kepada pemilik rumah, Ima menceritakan kondisinya sebagai mahasiswi. Ia rela mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, tanpa mendapat upah, karena yang ia perlukan adalah tempat tinggal dan makan tiga kali sehari. Keluarga itu pun setuju. Dan Ima merasa beruntung karena lokasi rumah di kawasan Bendungan Hilir tidak terlalu jauh dari kampus Unika Atmajaya. Kalau ia pergi ke kampus tidak perlu ongkos, cukup jalan kaki beberapa menit sudah sampai.

Pengalaman selama tinggal di asrama yatim piatu menjadi modal utama keterampilan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, sehingga biaya makan sehari-hari dan kamar kos sudah teratasi. Di sisi lain, ia juga mendapat beasiswa dari universitas sehingga tidak lagi pusing memikirkan biaya kuliah. Namun ia tetap harus mencari uang tambahan untuk keperluan pribadi. Timbul lagi ide Ima untuk membuat catatan lengkap ketika dosen memberi kuliah. Setiap kuliah ia selalu duduk di kursi terdepan, menyimak 100 persen penjelasan dosen, lalu mencatatnya. Sementara teman-teman lain yang duduk di belakang sibuk dengan hal-hal lain, entah pacaran atau ngobrol.

Catatan tersebut lalu Ima jadikan semacam diktat dan ia beri tanda tangan, lalu diperbanyak dan dijual ke teman-teman kuliah. Ima meminta mereka untuk membelinya, tidak meng-copy karena ia butuh biaya untuk membiayai hidupnya. Jadi ia tidak perlu merengek minta uang ke orang lain. Sebaliknya, tabungannya pun terus bertambah. Teman-temannya pun memahami dan diktatnya laris manis. Jadilah Ima dikenal sebagai toko diktat berjalan. Di sisi lain, selalu menyimak penjelasan dosen dan mencatatnya dengan baik, bagi Ima itu sudah jadi bagian dari belajar. Maka tak heran bila Indeks Prestasi (IP) Ima selalu tinggi dan menjadi langganan beasiswa selama 4 tahun kuliah. Ima lulus di tahun 1990.

Begitu lulus S1, Ima mengabdi sebagai guru, mulai dari SMP Regina Pacis Jakarta dan Bogor. Juga menjadi anak-anak berkebutuhan khusus di Sekolah Global Jaya-Bintaro dan Austalian International School Jakarta. Di Global Jaya misalnya, bisa dua atau tiga kali dalam setahun ia mendapat kenaikan gaji dari prinsipal sekolah. Ima menerima kenaikan gaji setiap kali ada anak autis yang berhasil mandiri. Alhasil, tabungannya makin banyak dan ia jadikan modal mendirikan sekolah bagi anak berkebutuhan khusus. Maksudnya agar bisa menampung dan membantu lebih banyak anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak kurang mampu yang semakin banyak bisa dibantu.


Benar saja, sejak mendirikan Imaculata di kawasan Taman Harapan Baru, Medan Satria, Kota Bekasi, tahun 2000, hanya dalam waktu dua bulan daya tampung asrama sebanyak 39 murid sudah penuh. Mereka didampingi 32 guru. Seperti dugaan sebelumnya, di asrama Imaculata semakin banyak anak autis yang berhasil mandiri, dari sebelumnya tidak bisa berbuat apa-apa, makan harus disuapi, dimandikan, diceboki kalau buang air besar, dan sebagainya. Ketika mereka mampu mandiri, itu menjadi luar biasa. Bayangkan, kalau perempuan sudah melewati akil baliq, tapi belum bisa pakai pembalut, apa jadinya ? Itu sebabnya, Ima mengatakan, kalau anak autis itu bisa mandiri, sangat luar biasa.

Temuannya tentang pola pengasuhan anak autis melalui habit sudah bisa diadopsi dan dipraktikkan orangtua di rumah masing-masing. Dengan demikian, orangtua tidak perlu lagi menyekolahkan anaknya di Imaculata asal pola asuh tadi bisa dilakukan. Prinsipnya adalah disiplin, konsisten, dan terukur. Untuk itulah saat ini Ima sering memberi training bagi orangtua para siswa penyandang autis agar mereka dapat menerapkan pola asuh seperti di asrama Imaculata. 







5 komentar:

  1. Apakah ini yayasan asrama tempat anak autis dididik?

    BalasHapus
  2. Bolehkah saya dapat info training nya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. apa bolh ank sy masuk asrama autis ank sy brumur 23 thn ...

      Hapus
  3. Saya juga punya anak ABK usia 17th cowok. Bisa kah di infokan di daerah semarang yg bisa mendidik supaya Mandiri dan merawatnya. Tolong bantu saya. Makasih sebelum nya

    BalasHapus
  4. Selamat siang... Boleh minta kontak atau alamatnya.. Anak saya umur 13 tahun,,anak berkebutuhan khusus

    BalasHapus