Minggu, 16 Oktober 2016



Awalnya hanya sebuah langkah sederhana, membantu anak tetangga yang tidak mampu membiayai sekolah. Belakangan, Mega Puspasari membuat komunitas untuk membantu membiayai sekolah anak kurang mampu. Kini, komunitas yang sudah berganti bentuk menjadi Yayasan Hoshizora ini membantu ribuan anak-anak tidak mampu di seluruh Indonesia. Berkat aksi sosialnya itu, ibu dua anak kelahiran Bantul 22 Maret 1984 ini berhasil meraih Alumne Award 2012 dari The Ritsumeikan Asia Pacific University (APU) Japan di Shanghai, China, Certificate of Social Innovator di Korea 2014, dan Women of Worth L'Oreal Paris 2014.

Aktivitas sosial Mega bermula di tahun 2002 ketika ia mendapat beasiswa kuliah di Jepang. Di sana, selain kuliah Mega juga bekerja part time hingga punya sedikit tabungan, Dan ternyata tabungan itu menjadi berguna waktu ia pulang ke Indonesia. Saat kembali ke Indonesia, ibunya mengatakan ada salah satu tetangganya di Bantul yang kekurangan biaya sekolah. Akhirnya, Mega mengambil sedikit tabungan hasil jerih payahnya selama bekerja di Jepang dan diberikan untuk membantu anak tetangga itu. Sejak kecil, Mega memang sudah akrab dengan dunia sosial. Bambang Puspo, ayahnya, adalah seorang aktivis PMI sehingga bisa dibilang darah sosialnya turun langsung dari sang ayah. Sementara, dari ibunya, Endang Sri Wahyuni, ia dituruni niat baik dalam setiap langkah yang diambil. Sejak kecil, sang ayah juga selalu mengajarinya untuk peduli kepada orang lain. Dan rasa kepedulian itu terus Mega jaga hingga dewasa. Bahkan, sebelum ayahnya meninggal, Mega pun sempat mengatakan bahwa beliaulah yang telah mengajarinya hingga bisa seperti sekarang. Sikap dan perbuatan sang ayah memang menjadi panutan dan prinsip Mega dalam meniti kehidupan.

Dari hanya satu, jumlah anak yang ia beri bantuan lalu semakin banyak. Informasi pun dengan cepat tersebar dari mulut ke mulut. Sampai akhirnya jumlah uang yang ia alokasikan bagi anak-anak kurang mampu ternyata tetap saja tidak cukup. Ditambah, tahun 2005 ada permintaan bantuan dari sebuah rumah singgah yang menampung 60 anak jalanan. Mega kemudian berpikir, mungkin sudah saatnya ia benar-benar terjun membantu anak-anak kurang mampu supaya bisa tetap sekolah. Ia kemudian mengajak teman-teman kuliahnya bergabung dan mendirikan komunitas Hoshizora tahun 2006 di Jepang. Mereka adalah Ahmad Bukhori, Wenda Gumulya, Reky Martha, dan William Widjaja, teman-teman kuliahnya di Ritsumeikan Asia Pacific University (APU), Jepang.


Mega menjelaskan, Hoshizora sebetulnya dibentuk oleh enam orang, tapi satu temannya kemudian memutuskan tidak aktif lagi. Di Hoshizora, mereka menerapkan sistem kakak asuh karena anggota komunitas semuanya adalah anak-anak muda. Saat itu, mereka menyisihkan uang saku senilai 1000 yen atau setara biaya sekali makan di Jepang. Jumlah 1000 yen itu jika dikirimkan ke Indonesia akan menjadi Rp 120.000 dan bisa membiayai uang sekolah satu anak selama satu bulan di Indonesia. Sistem ini, diceritakan Mega, sempat membuat teman-teman kuliahnya di Jepang kaget. Karena mereka tidak menyangka, dengan menyisihkan uang makan sekali saja ternyata sudah dapat membantu anak sekolah selama satu bulan. Hasilnya, banyak mahasiswa lain dari Jepang ataupun Eropa yang tertarik bergabung dengan komunitas Hoshizora, mereka ikut memberikan donasinya untuk disalurkan kepada anak-anak kurang mampu agar tetap bisa bersekolah. Jumlah anak yang dibantu pun makin bertambah. Mulanya ada 13 anak menjadi 30 anak, hingga mencapai 80 anak.

Tahun 2009, Mega menikah dengan Saiful Agung Wibowo dan dikaruniai dua anak, yaitu Dawud Anando Wibowo dan Lintang Waliy Puspowibowo. Tahun 2010, Mega berniat pulang ke Indonesia. Sebelum pulang, ia dan teman-teman pendiri Hoshizora berkumpul untuk menegaskan lagi apakah komunitas ini akan diteruskan atau tidak. Sebab saat itu teman-temannya juga sudah pada sibuk dengan dunia kerja dan keluarganya. Ternyata, teman-temannya memutuskan untuk serius meneruskan Hoshizora karena jumlah adik asuh yang dibantu semakin berkembang. Dari 5 pendiri yang tersisa, diputuskan harus ada satu orang yang benar-benar fokus mengurus Hoshizora. Akhirnya, Megalah yang dipilih. Sebelum pulang ke Indonesia, Mega membuat proposal untuk mencari dana sebagai modal didirikannya Yayasan Hoshizora atau Hoshizora Foundation. April 2010, Mega betul-betul kembali ke Indonesia dan langsung menempati kantor baru di Pajangan, Bantul. Setelah benar-benar fokus, jumlah adik asuh atau yang biasa mereka sebut adik bintang semakin berkembang cepat. Sampai saat ini, mereka mempunyai adik bintang sebanyak 1000 orang yang tersebar mulai dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Sementara jumlah kakak bintang saat ini ada 600 orang dari dalam dan luar negeri. Untuk menjadi kakak bintang Hoshizora tak sulit, cukup buka web Hoshizora.org lalu mendaftar online dan melakukan donasi pertama atau donasi publik sebesar Rp 100.000, sudah langsung aktif. Setiap kakak bintang diberikan waktu komitmen minimal setahun. Mereka hanya diminta meluangkan waktu membalas surat dari adik bintangnya setiap 6 bulan sekali. Nantinya, kakak bintang akan menerima laporan setiap 6 bulan sekali. Ini yang membedakan Hoshizora dengan program pemerintah atau beasiswa sekolah. Mereka mendapat informasi dan laporan yang jelas dari adik bintang sehingga beasiswa bisa tepat sasaran.


Saat ini, setidaknya sudah ada 11 wilayah di Indonesia yang sudah dijangkau Hoshizora dengan program beasiswa dan pendampingan. Mega dan teman-teman sepakat menggunakan guru yang peduli kepada anak didik senagai kepanjangan tangan. Guru itu menjadi koordinator wilayah dalam program beasiswa Hoshizora. Guru yang dipilih juga tidak sembarangan. Mereka diseleksi terlebih dahulu bagaimana komitmennya membantu anak didiknya berkembang dan maju. Mereka juga harus mengisi formulir yang telah diverifikasi lebih dahulu. Sebelumnya, menurut Mega, Hoshizora tidak menggunakan guru, tapi mahasiswa atau tokoh masyarakat. Namun, ternyata komitmen mereka dalam membantu adik bintang tidak berjalan baik. Banyak yang hanya berjalan 2 tahun. Jadi, Mega pun kemudian memutuskan memilih guru karena sangat dekat dengan anak didik, mulai dai informasi akademik hingga kondisi keluarga. Sekarang, Hoshizora memiliki 22 guru yang menjadi koordinator wilayah di Indonesia.

Hoshizora memiliki dua jenis beasiswa yaitu Mimpi Anak Negeri dan Beasiswa Kids Go To School. Beasiswa Mimpi Anak Negeri ditujukan bagi anak-anak berprestasi dari golongan ekonomi lemah. Anak yang mengikuti beasiswa ini harus lolos seleksi berkas, dari mengisi formulir dan memberikan fotokopi rapor. Nilai mata pelajaran yang mereka raih minimal harus 7. Setelah berkas selesai, akan ada seleksi sesi wawancara dengan calon adik bintang. Wawancara itu terkait dengan motivasinya bersekolah dan meraih impiannya. Nanti akan terlihat seberapa besar niat mereka meraih impian. Karena berasal dari golongan menengah ke bawah, Mega merasakan, kebanyakan mereka minder dan tidak percaya diri. Maka, ia pun turut berusaha menumbuhkan rasa percaya diri dan citra diri positif mereka. Selain itu Mega juga akan melihat potensi mereka. Setelah proses tersebut, akan dilakukan proses selanjutnya yaitu home visit untuk melihat benar tidaknya anak itu berasal dari golongan tidak mampu. Setelah itu baru akan diputuskan.

Beasiswa kedua adalah Kids Go To School untuk anak-anak dari golongan ekonomi lemah, tapi tanpa perlu berprestasi. Menurut Mega, orang pintar mendapat beasiswa itu sangat biasa, tapi kalau anak yang tidak pintar dan kemudian tidak sekolah, lantas kapan mereka bisa mengubah nasib ? Namun, kuota beasiswa Kids Go To School ini tidak banyak, sebab Mega akui tidak mudah mendampingi anak seperti ini. Kadang, meski sudah didampingi, mereka tetap tidak mau sekolah. Motivasi bersekolahnya memang kurang. Sementara pertanggung jawaban laporan penggunaan dana donatur juga tidak mudah. Jadi, porsi beasiswa Kids Go To School ini hanya 10%, sementara beasiswa Mimpi Anak Negeri mencapai 90%. Sebelumnya, kuotanya 60-40, namun Mega memutuskan untuk lebih banyak mendampingi anak yang punya mimpi dalam hidupnya.


Selain beasiswa, Hoshizora juga mempunyai program pendampingan, seperti forum-forum seminar atau training di mana anak bisa mengikutinya. Di seminar itu mereka mendatangkan pembicara yang inspiratif, memiliki kesamaan latar belakang ekonomi, lemah tapi bisa sukses. Selain itu didatangkan juga orang-orang yang memiliki mimpi dan bisa sukses, seperti astronot atau pilot. Kegiatan ini sangat mempengaruhi anak dalam mengejar mimpinya sesuai nama Hoshizora yaitu langit yang berbintang. Itu melambangkan betapa anak-anak Indonesia memiliki impian yang tinggi. Mega yakin, impian akan mengubah hidup seseorang. Kunci mengubah kehidupan adalah mimpi, seperti lambang Hoshizora yakni anak yang meraih bintang.

Mega pun meyakini, dirinya bisa sampai ke Jepang itu juga berawal dari impian, bukan karena ia kaya atau memiliki banyak uang. Dari impian itu, Mega lantas mencari cara bagaimana bisa kuliah di Jepang. Waktu itu ia mengikuti program pertukaran pelajar ke Jepang. Mega juga menambahkan, Hoshizora sekarang juga memiliki beasiswa Dian Sastrowardoyo. Sesuai namanya, donatur beasiswa ini adalah artis Dian Sastrowardoyo, yang ditujukan bagi anak-anak Hoshizora yang akan menempuh jenjang pendidikan ke perguruan tinggi. Beasiswa ini baru di-launching tahun 2015 lalu dan sudah ada 6 anak yang dibiayai kuliahnya oleh Dian Sastrowardoyo hingga selesai. Memang program ini tidak banyak yang tahu, karena masih menjadi program baru dan pilot project beasiswa perguruan tinggi. Sebelumnya, beasiswa hanya ditujukan kepada anak SD, SMP, dan SMA. Mega mengatakan, Dian Sastrowardoyo juga sangat dekat Hoshizora. Tidak hanya menjadi donatur, tapi juga sering menjadi pembicara dalam seminar inspiratif di depan adik-adik bintang.


Kakak bintang bisa memilih siapa calon adik bintang dan bisa diakses di Hoshizora.org. Setiap siswa SD akan mendapatkan beasiswa Rp 100.000 per bulan, SMP Rp 150.000 per bulan dan SMA Rp 200.000 per bulan. Hingga saat ini belum ada kasus putus beasiswa. Mega pun saat ini juga tengah melakukan riset permasalahan yang dihadapi anak-anak dan orangtuanya. Sehingga permasalahan yang muncul bisa diketahui sejak anak duduk di bangku SD. Contohnya, anak yang ingin bisa mengendarai motor sejak SD, dan ternyata ketika SMA ia bergabung dalam sebuah geng motor. Berbekal catatan dari survei dan riset itulah Mega lantas membuat kurikulum. Seluruh catatan adik bintang ada dalam kurikulum tersebut. Mega bercerita, ada salah satu adik bintang bernama Rian yang awalnya pemalu dan minder. Ibunya sudah meninggal dan Rian tinggal dengan ayahnya yang seorang tukang kayu. Rian mendapat beasiswa Hoshizora sewaktu masuk SMP. Setelah sering mengikuti sesi motivasi, kepercayaan diri Rian pun mulai tumbuh. Saat mau masuk SMA, Rian ingin masuk SMAN 1 Yogya, namun orangtuanya tidak mengizinkan. Akhirnya dia masuk SMAN 1 Bantul.

Saat Hoshizora membuka pendaftaran pertukaran pelajar, Rian awalnya tidak percaya diri dan pesimis bisa mengikuti program tersebut. Tapi akhirnya, ia terpilih mengikuti program pertukaran pelajar ke Amerika. Mulanya, sang ayah tidak mengizinkan, namun karena kakak bintangnya berasal dari Amerika, ayahnya pun akhirnya mengizinkan. Setahun di Amerika, Rian lancar berbahasa Inggris dan meraih impian bersekolah di luar negeri. Saat ini, adik-adik bintang Hoshizora sebagian sudah mengenyam pendidikan perguruan tinggi, antara lain ITB, UGM, STAN, dan satu orang berhasil mendapat beasiswa ke Jerman. Cerita-cerita ini membuat Rian dan adik-adik bintang lain termotivasi. Mega senang, kepedulian orang Indonesia terhadap pendidikan orang lain cukup tinggi. Itu terlihat dari doantur yang berasal dari kalangan anak muda. Banyak mahasiswa dan para sarjana yang memutuskan menjadi kakak bintang. Rentang usia para kakak bintang pun masih muda, antara 25-30 tahun. Yang juga menarik, sekali menjadi kakak bintang, mereka akan terus lanjut.


Tahun 2004, bencana tsunami menimpa Aceh dan beberapa negara lain. Sebagai ketua pelajar Indonesia di Jepang, Mega kemudian menggalang dana bagi korban bencana tsunami. Ia mengumpulkan dana dari mahasiswa untuk membantu korban di Aceh dan Srilanka. Mega juga datang sendiri ke Aceh dan memberikan bantuan, khususnya di bidang pendidikan. Bahkan, dari uang donasi itu ia dan teman-temannya bisa mendirikan sekolah di Srilanka. Walaupun background pendidikannya adalah Manajemen Bisnis yang cenderung transaksional, namun membantu korban tsunami justru membuat Mega mencintai dunia pendidikan anak. Setelah tsunami Aceh itu, ia semakin jatuh cinta pada dunia pendidikan, sehingga selulus kuliah tahun 2006, ia mencari pekerjaan yang tak jauh dari dunia pendidikan.

Mega sempat bekerja di Kumon Institut of Education, Osaka, Jepang, tahun 2006-2010. Perusahaan yang mirip bimbingan belajar ini menggunakan metode belajar tidak sekedar les tapi gaya belajar yang diintegrasikan dengan alat mainan. Tahun 2006, Yogya tertimpa bencana gempa di Bantul. Dan Hoshizora pun juga turut membantu sebuah sekolah SD, yaitu SD Muhammadiyah Kalaijo, Pajangan, Bantul. Uniknya, karena sudah membantu mendirikan sekolah itu, Mega juga dipersilahkan membangun satu ruangan di depan sekolah yang akhirnya dipakai sebagai kantor Hoshizora Foundation.


Tugas Mega saat ini adalah mencari funding di dalam dan luar negeri. Ia juga berusaha membuat unit usaha tour and travel dan restoran Ingkung Kwali, bekerja sama dengan masyarakat sekitar. Ia memang berusaha membuat Hoshizora mandiri dengan membuat unit usaha dan mencari donatur dari luar. Sebab, Mega ingin uang dari donatur dapat diberikan seutuhnya ke adik bintang. Mega pun mencari staf yang kompeten dan militan dengan gaji yang tidak begitu besar. Sebab, ia butuh tim yang solid. Sesuai dengan passion bahwa hidup itu tidak semua harus dinilai secara materi, tapi juga bisa memberi sesuatu kepada orang lain. Mega hanya berharap, adik-adik bintang dapat membangun negeri ini dan mensejahterakan keluarga, sehingga generasi mendatang akan menjadi generasi yang lebih baik bagi nusa dan bangsa.







0 komentar:

Posting Komentar