Gagasan gerakan
1000 Guru diawali ketika Jemi yang kebetulan bekerja di bidang kreatif sebagai
editor kamera, diminta tugas keliling daerah untuk mendokumentasikan
daerah-daerah pedalaman. Saat itulah, ia melihat langsung kondisi pendidikan
anak-anak pedalaman yang begitu memprihatinkan. Kemudian Jemi pun segera
mempercepat pekerjaannya agar bisa selesai sebelum batas waktu dan bisa memaksimalkan
satu hari untuk mendatangi sekolah terdekat, sambil membawakan roti untuk anak-anak
pedalaman itu. Ia juga sempat masuk kelas untuk berbagi motivasi dan cerita. Di
situ, Jemi semakin termotivasi untuk bisa berbagi dan berkontribusi bagi dunia
pendidikan. Ia lalu memulainya dengan mem-posting
potret anak-anak pedalaman yang berjuang untuk mendapatkan pendidikan.
Foto-foto itu lantas ia sebar ke media sosial Facebook. Namun salah seorang
teman malah menyarankannya untuk mem-posting
di Twitter, yang waktu itu memang tengah booming.
Menuruti usulan teman, Jemi langsung membuat akun di Twitter dengan nama
@1000_guru. Nama itu tercetus secara tiba-tiba saja dan secara rima ketika
disebut juga terdengar enak. Lalu, mulailah Jemi melakukan gerilya di media sosial
Twitter, tepatnya di tahun 2012.
Saat itu, Jemi
punya strategi dengan me-mention
artis-artis dan public figure agar
ikut mempromosikan. Dan ternyata, foto serta postingannya di-retweet dan direspons dengan baik,
bahkan banyak artis yang mendukung, seperti Farhan dan lainnya. Follower pun terus bertambah mencapai
ribuan. Tidak berapa lama, permintaan untuk ikut mengunjungi anak pedalaman dan
berbagi pun berdatangan. Akhirnya, Jemi memberanikan diri membuka trip pertama kali di tahun 2012. Dengan
konsep Traveling and Teaching (TNT), ia
melakukan perjalanan pertama bersama 9 orang lainnya ke Rangkas Bitung. Setelah
berkegiatan di salah satu sekolah, peserta TNT kemudian ia ajak ke Baduy.
Memang, di awalnya kegiatan itu belum berjalan dengan baik, tapi itu menjadi
evaluasi baginya. Berselang waktu kemudian, Jemi lalu membuka trip kedua dengan tujuan Lampung. Saat
itu peserta sudah bertambah hingga 30 orang. Berikutnya, setiap ia open trip, jumlah peserta yang mendaftar
sudah mencapai ratusan, hingga harus ia saring. Jemi lalu membuat tim dan
program, serta mulai aktif menjadi sociopreneur.
Teman-teman
relawan yang tadinya peserta ada yang bergabung menjadi tim, karena Jemi memang
membutuhkan banyak teman untuk mengembangkan program. Sementara ia yang
mengorganisir, mulai dengan membentuk beberapa tim, seperti tim kreatif yang
bisa menyaring peserta dan membuat lesson
plan kepada peserta TNT yang akan dipilih untuk mengajar. Setelah program TNT
berjalan, Jemi juga melihat kebutuhan masyarakat pedalaman yang lain yaitu
pengobatan gratis. Kebetulan, Gerakan 1000 Guru ini diikuti berbagai profesi
dan kalangan, salah satunya teman-teman yang menjadi tenaga medis. Mereka pun
dengan senang hati memberikan bantuan dan mau berbagi, tak hanya mengajar
selama setengah hari saja. Kemudian muncul pertanyaan, apa efeknya kalau hanya
mengajar setengah hari saja lewat TNT? Menjawab permasalahan itu, Jemi lalu
membuat program ketiga yaitu Smart Center.
Smart Center
berupa mengadopsi satu sekolah yang keseluruhan siswanya selama satu bulan akan
mendapatkan makanan tambahan bergizi sebanyak 16 kali. Bisa berupa susu, telur,
bubur kacang hijau, kue basah, dan lain-lain. Saat ini, gerakan 1000 Guru baru
memiliki 2 Smart Center di Poso dan NTT. Total sudah 200 anak yang dibantu
lewat Smart Center ini. Ke depan, ia akan terus memperbanyak dan mengajak
teman-teman di setiap regional untuk membuat program Smart Center. Pendirian Smart
Center ini juga melihat kebutuhan pada setiap daerah. Jadi, setiap kali
disurvei, dilakukan juga pre-test
membaca dan menulis. Apabila masih banyak yang buta huruf, maka akan ada guru
yang digaji untuk mengentaskan buta huruf dan mengajarkan anak-anak secara
gratis selama tiga bulan. Saat ini, 1000 Guru baru memiliki 2 guru untuk
membantu mengajar di Smart Center. Jemi berharap Smart Center ini bisa menjadi
solusi permasalahan di masing-masing daerah.
Ketertarikan
Jemi terjun sebagai sociopreneur,
diakuinya, lantaran ia memang memiliki pengalaman yang membekas dan mendalam
soal pendidikan. Ia tumbuh dari keluarga yang kurang mampu di Lampung. Kedua
kakaknya bahkan tidak bisa melanjutkan sekolah dan hanya lulusan SD dan SMP. Tetapi,
sejak kecil Jemi memang ingin terus bersekolah, bahkan sampai kuliah, karena ia
terhitung berprestasi, dan selalu juara kelas. Saat ia lulus SMP, kondisi
keluarganya semakin buruk. Bahkan, Jemi sampai mengancam ayahnya, bila ia tidak
bisa melanjutkan sekolah ke SMA, ia ingin jadi maling saja. Saat itu, ayahnya
pun menyerah dan sudah berniat menjual anak sapinya agar Jemi bisa melanjutkan
sekolah SMA. Tapi sebelum sempat mendaftarkan diri, ternyata ada orang Jakarta
yang menawarkan bantuan untuk menyekolahkan Jemi di Jakarta. Kedua orangtuanya
pun setuju. Dan, karena tahu akan disekolahkan gratis, Jemi pun menurut saja.
Sesampainya di Jakarta, ternyata ia tinggal di panti asuhan. Jemi sempat drop, dan merasa kedua orangtuanya sudah
tidak mau lagi mengurusnya.
Setelah sampai
Jakarta pun, Jemi juga tidak langsung sekolah. Perlu waktu 2 tahun untuk
meyakinkan pihak panti dan membuktikan bahwa ia benar-benar ingin melanjutkan
sekolah. Akhirnya, Jemi pun bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA. Begitu
pula saat kuliah, banyak perjuangan yang harus Jemi hadapi. Salah satunya saat
ia mendapatkan tawaran dibiayai gratis oleh atasannya. Perjuangan yang seperti
itulah yang semakin membuatnya bertekad berkontribusi untuk pendidikan. Ia tahu
betul bagaimana anak di kampung ingin sekolah, tapi pupus karena keadaan. Lewat
gerakan 1000 Guru, Jemi ingin supaya banyak anak-anak yang terus termotivasi
dan tidak menyerah untuk mencapai mimpi setinggi langit.
Komunitas 1000
Guru memang aktif di media sosial, jadi untuk yang ingin bergabung harus mem-follow dulu akun @1000_guru, kemudian
bisa melihat aktivitas linimasanya untuk seluruh jadwal kegiatan dan program.
Untuk kegiatan TNT memang ada saringan peserta. Biasanya jumlahnya memang
dibatasi tak banyak dan memfilternya dengan melihat cv serta motivasi peserta. Tim kreatif lalu akan memilih 30 peserta
yang bisa terlibat dalam kegiatan TNT. Diharapkan, dalam satu kelas ada 5
peserta TNT yang bekerja sama dalam tim untuk memberikan materi yang
menyenangkan kepada anak-anak sekolah pedalaman. Di akun @1000_guru, tidak
hanya info jadwal trip TNT saja,
tetapi informasi mengenai donasi juga di-share
secara rutin. Salah satunya donasi patungan 67 pasang sepatu baru untuk
anak-anak SDN Rium Amarasi, Kupang, NTT yang diberikan pada 30 Januari 2016. Selain
di Twitter, semua update juga
dibagikan di media sosial Instagram 1000_GURU.
Karena 1000
Guru merupakan gerakan sosial, jadi Jemi sangat menghindarkan ada penyalah
gunaan dalam bentuk apa pun. Ia dan timnya sangat wanti-wanti dan selalu
transparan apabila berbicara mengenai uang. Ia memang meminimalisir bantuan
dengan uang tunai. Biasanya lebih menyarankan bantuan seperti peralatan
sekolah, sepatu, tas, yang bisa langsung didistribusikan kepada masing-masing
perwakilan regional. Sampai saat ini, operasional gerakan 1000 Guru memang
masih swadaya. Teman-teman peserta TNT yang merasa belum puas dan masih ingin
membantu akan menyumbangkan Rp 100.000 setiap bulan agar disumbangkan untuk
kebutuhan Smart Center. Biasanya, 30 peserta dalam setiap trip memiliki grup chat
messenger dengan koordinator teman-teman mereka juga. Ketika uang
terkumpul, langsung ditransfer ke toko sembako daerah setempat untuk
dibelanjakan kebutuhan Smart Center. Donasi ini memang tidak diurus langsung
oleh 1000 Guru, tetapi teman-teman peserta dan relawan yang melakukannya,
sehingga meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan. Kemudian untuk biaya
operasional, tim akan melihat dan berkunjung ke daerah. Tim 1000 Guru juga
memiliki lini bisnis penjualan merchandise.
Dari penjualan kaus, topi, mug, tumbler, uangnya akan dikelola sebagai
biaya operasional untuk tim saat melakukan kunjungan ke daerah.
Dari yang
awalnya hanya sebuah gerakan sosial yang berbentuk komunitas, namun perlahan
gerakan 1000 Guru semakin membesar dan terus berkembang. Jemi pun merasa butuh
legalitas dan keteraturan mengenai strukturnya. Maka, ia dan tim sepakat
membuat perkumpulan, tapi tidak dalam bentuk yayasan. Sebenarnya, diakui Jemi,
yang hingga saat ini menjadi tantangan adalah masalah biaya dan transportasi.
Seperti diketahui, untuk bisa menuju daerah pedalaman, dibutuhkan biaya cukup
besar serta transportasi yang memadai. Biasanya, Jemi dan timnya akan selalu
meminta bantuan kepada teman-teman yang memiliki kendaraan roda empat untuk
meminjamkan agar bisa meminimalisir pengeluaran. Contoh, saat trip ke daerah Cisaranten, Cianjur.
Paling tidak harus menempuh perjalanan menggunakan mobil selama 8 jam, belum
lagi berjalan kaki selama dua jam. Jadi, transportasi memang menjadi hal penting
untuk tim bergerak bebas. Selain itu, biaya operasional didapatkan hanya dari
penjualan merchandise yang tentu juga
terbatas. Oleh karenanya, kehadiran teman-teman di regional sangat membantu tim
supaya bisa bergerak lebih leluasa membantu anak-anak pedalaman.
Target gerakan
ini memang menyasar segmen anak muda dari berbagai profesi. Selain
memperkenalkan keindahan Indonesia melalui traveling,
mereka juga berbagi dan ikut memajukan pendidikan. Tak jarang, justru para
peserta yang seringkali merasa terinspirasi dan termotivasi menjadi lebih baik
setelah mengikuti program TNT. Mereka banyak belajar menghargai kelebihan yang
dimiliki dan menjadikan pemicu untuk bisa terus bermanfaat bagi orang lain.
Selain itu, jadi semakin tahu bagaimana perjuangan seorang guru yang mengabdi
untuk pendidikan. Bagi siapa saja yang tertarik dan ingin berbagi, tentu Jemi
akan menerimanya dengan senang hati. Sama halnya dengan beberapa public figure yang ingin merasakan petualangan
dan indahnya berbagi. Seperti Putri Indonesia, artis sinetron, presenter, komedian.
Mereka pun diperlakukan sama seperti peserta lain. Tinggal di rumah penduduk
atau di sekolahan tempat mereka akan mengajar, mandi harus antri dan mengambil
air sendiri, tidak ada yang diistimewakan. Bahkan, mereka justru ketagihan dan
ingin bergabung beberapa kali. Jemi berharap semoga kegiatan ini terus berjalan
dan semakin banyak yang ikut memberikan kontribusi.
Saat ini fokus Jemi adalah,
mengajak teman-teman regional untuk mendirikan Smart Center dan menjawab
permasalahan di masyarakat pedalaman soal pendidikan khususnya. Apabila setiap
regional aktif menjalankan Smart Center, Jemi optimis generasi muda penerus
bangsa akan lebih baik dan berkualitas. Menurut Jemi, anak-anak pedalaman juga
berhak mendapatkan peluang untuk mewujudkan mimpi besarnya. Jemi juga belum ada
rencana untuk membuat kegiatan lain, karena hanya ingin berfokus menjalankan
tiga program di 1000 Guru yaitu TNT, pengobatan gratis, dan Smart Center. Ia
berharap, 1000 Guru bisa bekerja sama dengan berbagai komunitas yang bersedia
membantu mengakomodir transportasi teman 1000 Guru dan juga melakukan aksi sosial
bersama tim.
Jemi layak diikut sertakan dalam kemensos..sayang tim pencari bakat menteri dll dari jkw kurang membaca apa yang sdg trend dilapangan yang mampu menjawsb masalah besar yang dirasakan kalangan bawsh..jemi adalah seorang yang mampu memecahkannya
BalasHapus