Selasa, 23 Agustus 2016


Di dunia kerajinan kain ikat celup (tie dye), nama ibu tiga anak ini sudah tidak asing lagi. Selain menulis buku, ia juga aktif memberikan pelatihan pada perempuan di berbagai daerah agar mandiri secara ekonomi. Menurut perempuan yang lebih dikenal dengan panggilan Heny Hasyim ini, para perempuan itu sebetulnya memiliki potensi besar, hanya saja selama ini tidak pernah ada kesempatan.

Sebenarnya, budaya ikat celup sudah ada sejak sekitar tahun 1800-an, berasal dari deretan Afrika. Namun, karena belum ada jenis teknik yang bagus, banga Afrika waktu itu menggunakan tenun hasil karya mereka untuk menutup tubuh. Sementara untuk pewarnaan mereka menggunakan warna alami dari dedaunan yang diperoleh dari hutan Afrika yang memang sangat luas. Supaya kain tenun tersebut mempunyai pola warna yang indah, sebelum dicelup dibentuk dulu dengan cara mengikat bagian-bagian kain, baru kemudian dicelupkan ke pewarna sehingga menghasilkan pola gambar yang berwarna-warni. Setelah peradaban makin berkembang, budaya tersebut bergeser ke Amerika. Saat itu di Amerika sudah mulai ada tekstil, sehingga makin halus bentuk dan polanya. Demikian pula bahan pewarnanya, bukan bahan alami lagi, tetapi sudah mulai merambah ke kimia. Ikat celup lalu makin berkembang di Inggris. Oleh karenanya, negara-negara jajahan Inggris seperti India, ikat celupnya sangat bagus, dan kemudian masuk ke negara Asia lainnya. Bahkan, menurut Heny, setelah Afrika, India menduduki rangking berikutnya.


Di Indonesia, ikat celup datang dari Lombok. Hanya pada awalnya teknik yang digunakan masyarakat Lombok tidak mencelup kain tenun untuk memberi pola warna, tetapi dengan mewarnai benang tenunnya. Jadi, untuk menciptakan gradasi warna, sebelum ditenun oleh perajin tradisional, benang di bagian-bagian tertentu dicelup dengan bahan pewarna, sehingga ketika menjadi lembaran kain membentuk sebuah pola warna. Dari Lombok, lalu bergeser ke Kalimantan yang terkenal dengan jenis sasirangan, dan sebagainya. 

Heny mulai berkecimpung di dunia fashion sejak tahun 1998, tetapi mulai menekuni ikat celup tahun 2007. Ceritanya, saat itu ia memiliki wadah yang ia beri nama Rumah Terampil Mandira (RTM). RTM ini menjadi tempat bagi siapa saja untuk belajar berbagai keterampilan, mulai sulam benang, sulam pita, rajut, serta ikat celup sebagai salah satu materinya. Mereka yang belajar, datang dari berbagai daerah, termasuk dari luar Pulau Jawa. Saat itu, Heny mulai melakukan pengembangan. Semula, gradasi warna ikat celup sangat tegas saat dicelup bagian-bagian tertentu yang diikat dengan tali. Pengembangan yang dimaksud Heny adalah, dengan meniru ikat celup yang berkembang di Inggris atau Amerika. Antara satu bagian dengan bagian lain gradasi warnanya samar-samar atau tidak tajam. Caranya, bagian yang sudah digambar sesuai pola yang diinginkan disulam dengan benang nilon kemudian bagian ujung benang tersebut ditarik sehingga kain mengerut mengerucut. Selain itu, pewarnaannya tidak dengan cara direndam ke bahan pewarna, tetapi warna dimasukkan ke dalam pipet kemudian diteteskan di bagian permukaan kain yang sudah diberi pola.


Cara seperti ini hasilnya akan berbeda dengan cara celup asli. Kalau dengan celup asli tidak bisa kaya warna, paling banyak hanya tiga warna. Pasalnya, setiap kali akan diwarnai, kain harus dicelup dalam pewarna, mirip proses membatik. Sementara pada pengembangan yang Heny lakukan, yang diwarnai cukup bagian tertentu dengan pipet sehingga warnanya lebih ekspresif. Teknik ini digunakan oleh para perajin tie dye di Amerika. Tetapi, Heny juga tidak meninggalkan celup yang asli, untuk pola-pola tertentu ia masih menggunakannya.

Karyanya ini lalu tidak sekadar ia ajarkan secara langsung kepada mereka yang belajar di RTM, tetapi ia juga membuat buku. Kebetulan saat itu ada penerbit yang memintanya membuat buku tentang ikat celup. Di dalam buku tersebut, Heny memperkenalkan berbagai macam teknik. Setelah itu, atas permintaan walikota Surabaya, Ibu Risma, Heny diminta mengajari ibu-ibu di berbagai kelurahan dan kecamatan di Surabaya, yang ternyata hasilnya cukup memuaskan. Ia kemudian menjalin kerja sama. Para ibu-ibu itu yang membuat, lalu Heny yang menjualkan karena ia sudah memiliki showroom. Untuk awalnya, agar cepat berkembang, hasil kerajinan tersebut tidak Heny beli dalam bentuk uang, tetapi ia ganti dengan bahan. Misalnya, satu potong ikat celup ia ganti dengan dua potong kain beserta bahannya. Begitu selesai dua potong, ia ganti dengan 4 potong bahan, demikian seterusnya sampai masing-masing perajin memiliki 50 potong kain dengan omzet per bulannya Rp 5 juta. Setelah mulai besar dan mandiri, para perajin tersebut ia minta membuat kartu nama, serta mengajukan ke dinas perindustrian daerah sehingga suatu saat bisa mengikuti pameran secara mandiri.

Selain di Surabaya, Heny juga pernah diundang untuk mengajar di Jakarta, Balikpapan, Lampung, dan Maluku. Karena Maluku merupakan daerah pantai, jadi untuk pewarnaannya menggunakan pewarna kimia yang cenderung ngejreng. Sementara untuk luar negeri, pernah ada orang Malaysia yang khusus belajar kepadanya.

Saat ini, Heny juga memiliki dua sentra binaan. Yang pertama di Kelurahan Sidokare, Sidoarjo. Di sana ia melatih dan memberdayakan sekitar 40 perempuan. Hasil karya mereka inilah yang memasok kebutuhan showroom-nya. Yang kedua, di Desa Wonorejo, bersebelahan dengan Taman Nasional Baluran, Situbondo. Khusus untuk Desa Wonorejo ini ia mengajar sekitar 50 perempuan, khusus menggunakan pewarna alami, yang bahan-bahannya bisa diambil di alam sekitar, mengingat mereka tinggal bersebelahan dengan hutan. Di antaranya mereka memanfaatkan kulit buah naga, daun pandan, secang, mahoni, kunyit, juga tanaman tinta-tintaan dan sebagainya. Dan ternyata, hasilnya pun sangat bagus. Untuk tinta-tintaan yang tumbuh liar di semak-semak misalnya, kain yang diwarnai menjadi jenis indigovera, biru blue jeans khas Jepang. Dan para konsumen, terutama orang asing, pilihannya cenderung menyukai kain yang menggunakan pewarna alami dari pada bahan kimia. Setelah banyak melakukan pelatihan kepada kaum perempuan, Heny pun menyadari ternyata perempuan Indonesia memiliki potensi yang besar. Hanya saja selama ini tidak pernah ada kesempatan. Terbukti, ketika diberi ilmunya, hasilnya luar biasa. Dengan keterampilan barunya ini, diharapkan kelak mereka bisa mandiri secara ekonomi.

Latar belakang pendidikan Heny sebenarnya tidak ada kaitannya dengan dunia yang ia tekuni sekarang ini. Dulu, ia memang ingin sekali bisa sekolah desainer. Tetapi dengan berbagai pertimbangan, oleh sang adik ia malah didaftarkan ke Akademi Sekretariat. Tamat kuliah, barulah ia kemudian mengikuti kursus fashion desainer di Surabaya. Sempat pula ia menjadi PNS di TVRI Surabaya. Di TVRI itulah ia bertemu dengan suaminya, Hasyim Rosidi. Setelah menikah, Heny lalu keluar dari PNS dan memilih berkarier menjadi sekretaris di sebuah perusahaan swasta. Namun saat itu, hasrat untuk berkecimpung di dunia fashion sudah tak terbendung. Heny lalu membeli kain-kain kemudian memotongnya, lalu mencari penjahit yang dipekerjakan di rumahnya, untuk mengerjakan produksi pakaian. Dari sanalah usahanya lalu berkembang sampai saat ini.

Sebetulnya, sebelum berkecimpung di ikat celup, Heny mengawalinya dengan membuat bordir sejak tahun 1998. Namun, bordir yang ia pelajari itu bukanlah bordir biasa, melainkan bordir kuno. Ia mempelajarinya dari orang Jepang yang tinggal di Bali. Mempelajari bordir kuno menurutnya membutuhkan keterampilan lebih, karena sangat rumit. Motif bordir kuno sendiri ada dua, yang pertama yang berkembang di Asia dengan ciri gambar bunga berukuran besar. Tetapi, yang ia dalami adalah motif dari penjajahan Inggris, yang sebenarnya memang meninggalkan budaya motif bordir yang sangat cantik. Ciri-cirinya pola bunganya kecil-kecil. Untuk membuat bordir ini, mesin yang digunakan bukanlah mesin bordir biasa, tetapi mesin yang kecil, lebih kecil dari mesin jahit pada umumnya.

Heny pun bersyukur, karena passion-nya di dunia fashion sepertinya menular kepada anak kedua dan ketiganya. Anak pertamanya, Nafis Arozani saat ini bekerja di perusahaan Koran Asahi Shimbun di Jepang, sedang anak kedua, Nabilah Arozini saat ini bekerja di bank pemerintah, dan si bungus Raisa Chilmia, masih duduk di bangku SMA. Bila Nabila menyukai bordir kuni yang diterapkan pada busana berpotongan modern, sebaliknya, si bungsu Raisa, justru menyukai batik kuno dengan gaya potongan klasik pula.







0 komentar:

Posting Komentar