Kamis, 18 Agustus 2016



Ia menekuni profesi sebagai seorang human lie detector, sebuah profesi unik yang masih jarang digeluti orang. Pria yang juga suami dari Deborah Dewi, pakar grafologi ini, bahkan merupakan pionir di Tanah Air. Lulusan postgraduate Behavior Analysis and Investigative Interview (BAII) dari Manchester, Inggris, ini memiliki misi membagikan ilmu dan mengenalkannya kepada publik di Indonesia.

Handoko menjelaskan, secara fungsi human lie detector sedikit berbeda dengan lie detector machine atau mesin yang bisa mendeteksi kebohongan. Bila mesin pendeteksi menggunakan alat tambahan, sementara human lie detector memanfaatkan alat indera dan sumber dari diri tanpa bantuan alat sama sekali. Jadi besaran ilmu ini berpusat pada ekspresi wajah. Karena ilmu ini masih terhitung baru, maka Handoko pun harus mempelajarinya dengan pergi ke Manchester, Inggris, untuk mengambil postgraduate di BAII. Dan sampai saat ini, di Indonesia sepertinya hanya ia satu-satunya human lie detector yang lulusan BAII. Karena kebanyakan pakar yang sudah ada sebelumnya, hanya mempelajari ilmu forensik seperti Forensic Emotion Reliability and Deception.

Handoko mengaku, kebetulan ia termasuk orang yang memiliki rasa ingin tahu yang cukup tinggi dan memang tertarik dengan ilmu sosial dan forensik. Sayangnya, dulu ia belum berkesempatan mempelajari ilmu itu karena terlanjur mengambil studi S1 di Universitas Trisakti, jurusan Ekonomi Manajemen, dan melanjutkan program master di Philipina dengan major Marketing. Tapi ternyata, keinginan yang sudah lama itu, kembali hadir saat ia melihat serial teve detektif yang berjudul Lie To Me. Karena penasaran, ia lalu mencari lebih dalam mengenai teknik BAII yang ada pada serial tersebut. Dan akhirnya ia menemukan bahwa ada seorang profesor bernama Paul Ekkman yang secara ilmiah telah menemukan ilmu ini dan ternyata perkembangannya cukup fenomenal, karena kerap digunakan dalam dunia kriminologi. Informasi yang ia kumpulkan melalui browsing pun semakin banyak. Di situ pula ia jadi tahu bahwa Paul Ekkman mendirikan Paul Ekkman International Group yang berpusat di Manchester.

Menurut Handoko, human lie detector merupakan ilmu sosial yang langsung berhubungan dengan manusia yang dinamis. Maka tentu akan banyak hal menarik yang bisa diteliti dengan ilmu ini. Sementara istrinya sudah mempelajari ilmu grafologi yang mampu melihat karakter seseorang melalui medium tulisan tangan, sedangkan ia bisa melengkapinya dengan meneliti dari ekspresinya. Handoko bisa melakukannya dengan tatap muka ataupun dengan bantuan media seperti video. Dan tentu ini lebih paktis dengan tingkat validitas yang juga cukup tinggi. Menariknya lagi, ini adalah hal yang baru baginya, dan lewat ilmu ini ia bisa mengenali sisi tersembunyi manusia. Bisa menemukan fakta yang orang lain tidak tahu juga merupakan kepuasan tersendiri. Singkatnya, ia bisa memastikan apa yang selama ini baru diduga menjadi ke arah yang pasti. Ketika berbicara dengan menggunakan teknik analisa ekspresi, maka akan bisa diketahui apakah ekspersi yang ditunjukkan itu sama dengan emosi yang ada di dalamnya. Juga apakah ekspresi verbal yang diucapkan sama dengan emosi yang berada di dalam. Maka ilmu ini bisa digunakan untuk kepentingan lembaga berkekuatan hukum, sebagai saksi ahli dalam persidangan, dan untuk kehidupan sehari-hari. Namun yang jelas ilmu ini sama sekali bukan bagian dari metafisika.

Saat ini Handoko aktif terlibat di media sosial untuk mengenalkan ilmu ini secara viral dan membuat komunitas Lie Detector. Ia juga memberikan workshop, salah satunya pada Festival Bohong Indonesia (FBI) 2015. Di workshop itu ia mengajarkan bagaimana ilmu ini bisa digunakan dan diterapkan untuk kebutuhan sehari-hari dan membantu tidak hanya pada kasus kriminal. Selain itu, Handoko juga terlibat dalam beberapa pengusutan kasus kriminal, seperti pencemaran nama baik, sebagai sumber pendukung. Idealnya ia memang harus bekerja sama dengan institusi penegak hukum, yang saat ini sedang mengarah ke sana. Sementara ini ia masih sebatas menjadi sumber pendukung dan belum berurusan dengan lembaga berkekuatan hukum secara penuh.

Mengenai FBI, Handoko menjelaskan bahwa sebenarnya itu adalah sebuah solusi untuk menjawab kebutuhan semua orang. Menurutnya, ilmu human lie detector ini tidak bisa dieksklusifkan hanya untuk institusi hukum saja, tetapi juga bisa dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saat memilih Asisten Rumah Tangga (ART), membawa diri di lingkungan kerja agar bisa menjadi teamwork yang baik, dan membaca perilaku pasangan yang berbohong atau selingkuh. Memang, ke depannya, ilmu human lie detector ini akan banyak dibantu oleh teknologi. Tetapi sebelum menuju ke sana, manusianya harus bisa mengenal dan menguasai dasarnya dulu, jadi ketika sudah ada alat yang digunakan bisa lebih dimaksimalkan.

Lewat FBI, Handoko memang ingin orang bisa tahu bahwa ilmu human lie detector bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan saat ini ia masih berusaha mengenalkan ilmu itu ke publik. Ia pun juga harus dinamis karena yang dipelajarinya juga manusia. Jadi tanpa ada passion dan keinginan untuk memahami manusia, tidak akan bisa. Sebagai manusia, tentu ia juga punya rasa takut. Tapi ia tetap termotivasi untuk bisa menunjukkan fakta lain yang orang lain tidak bisa lihat. Di luar negeri, perkembangan ilmu ini diceritakan Handoko sudah sangat luar biasa. Sementara di Indonesia masih baru. Maka sebelum memutuskan untuk mempelajari ilmu ini, ia harus berdiskusi dulu dengan sang istri, dan sudah terbayang kalau nantinya memang akan penuh tantangan. Awalnya, sama seperti cabang ilmu lain, semisal grafologi, belum dilirik dan masih dianak tirikan, tetapi akhirnya bisa berkembang pesat. Perbedaannya pun cukup besar. Kalau di luar negeri sudah mulai digabungkan dengan bantuan teknologi yang makin canggih, bahkan sudah digunakan alat yang bisa membaca gerak-gerik manusia yang diduga akan melakukan tindakan destruktif.

Karena termasuk bidang yang baru di Indonesia, maka ilmu human lie detector ini sebetulnya bisa digabungkan dengan beberapa disiplin ilmu lain, seperti psikologi, neurologi yang terkait dengan otak dan memori khususnya, kriminologi, dan forensik. Positifnya, hasil penggabungan 4 ilmu ini sangat fleksibel dan bisa digunakan lebih banyak dan disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk lembaga yang berkekuatan hukum, tentu ini bisa menjadi tambahan ilmu yang bisa memperkaya penyelidikan. Selain itu bisa juga digunakan oleh perusahaan-perusahaan. Di Indonesia, banyak kasus internal perusahaan yang sungkan dilaporkan ke kepolisian karena beberapa faktor, seperti nilainya terlalu kecil untuk dilaporkan, atau ada hal tertentu yang mereka tidak ingin pihak luar tahu. Jadi peluangnya sangat besar dan prospektif.

Bekal ilmu yang ia dapatkan ini pun, tentu saja Handoko aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, saat mencoba memahami keinginan anaknya, ketika usianya belum genap 2 tahun, dan belum bisa berbicara. Saat itu ia melakukan pendekatan secara psikologi, dengan melihat ekspresi wajah si anak. Ketika si anak mulai memukulkan tangan ke kepala, itu tandanya dia hendak mengutarakan sesuatu. Itu hanya sebatas contoh kecil yang bisa diterapkan. Di kantor pun, ia bisa mendeteksi teman kerja sehingga dirinya bisa bersikap yang sesuai. Juga untuk kepentingan yang lebih besar, misalnya ketika ia harus berurusan dengan orang-orang yang berpotensi melakukan tindakan destruktif. Jadi intinya, banyak keuntungan yang bisa ia dapatkan lewat ilmu ini.

Handoko pun merasa bersyukur sekali mendapat dukungan penuh dari istrinya untuk melakukan pekerjaan ini. Baginya, sang istri tak hanya sekadar menjadi teman hidup, tetapi bisa pula diajak berdiskusi dan bekerja sama. Contohnya saat agenda FBI 2015 lalu, mereka berdua membagikan ilmu lewat workshop sesuai kemampuan masing-masing. Dan justru dengan penggabungan ilmu keduanya, ia dan sang istri bisa melengkapi satu sama lain. Walaupun memiliki medium dan tehnik yang berbeda, tetapi mereka memiliki visi dan misi yang sama, yakni membagikan ilmu yang bermanfaat untuk membuat kualitas hidup menjadi lebih baik. Sejak awal, saat mengambil kelas postgraduate, Handoko pun telah meminta masukan dan berdiskusi dengan istrinya. Jadi kalaupun sekarang ia sibuk dengan kegiatan investigatif, sang istri sudah paham.

Dalam jangka panjang, Handoko ingin membuat pelatihan yang bisa diakses oleh banyak orang dan bisa massal, dengan harga yang terjangkau. Sistem pertama akan dibuat dengan kelas online dahulu. Baru bila ingin lebih serius, masuk pelatihan ke tingkat yang lebih tinggi. Fungsinya pun nanti juga untuk membantu tugas-tugas profesional dalam lembaga hukum seperti hakim, polisi, dan sebagainya. Ke depan, ia juga akan mengawinkan antara teknologi dengan human lie detector. Dan ia juga ingin melanjutkan ilmu ini dengan tingkatan gelar master atau Phd. Jadi ilmu yang ia dapat bisa lebih dalam dan luas dan tentunya semakin bermanfaat untuk orang lain.  

0 komentar:

Posting Komentar