Senin, 08 Agustus 2016



Melalui Woman Self Defense of Koporyu (WSDK), asisten dosen teknik arsitektur di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung ini ingin mengubah pandangan perempuan yang kerap dianggap lemah. Beberapa teknik beladiri sederhana, praktis dan efektif diajarkan ibu beranak dua yang pernah menjadi juara satu sebuah ajang peragaan busana ini demi melindungi perempuan dari kejahatan. WSDK adalah teknik beladiri yang menekankan pada gerakan sehari-hari, memanfaatkan alat-alat yang ada di tas perempuan sebagai senjata untuk beladiri, dan menamakan jurus dengan nama yang mudah diingat. Misalnya seperti teknik dorong, kepret, cubit, bercermin, dan lain-lain. 

WSDK dibentuk pada tahun 2006 di Kopo, Bandung, Jawa Barat. Berawal dari keprihatinan Abah Shihan Sofyan Hambally, seorang ahli beladiri Karate dan Jujitsu (DAN VI). Ia melihat bertambah banyaknya kejahatan terhadap perempuan sehingga menimbulkan kegelisahan. WSDK saat ini beranggotakan sekitar 3 ribu perempuan, tersebar di berbagai daerah di Indonesia maupun di luar negeri. Tempat latihan rutin baru berada di Bandung.  

Menurut Shinta, salah satu kesulitan dalam merintis kegiatan ini adalah mengubah mindset perempuan tentang konsep beladiri yang pada umumnya berkesan seram, susah dan lama. Sementara WSDK adalah suatu kegiatan latihan beladiri yang menyenangkan dan mudah diikuti. Terutama pada perempuan usia dewasa yang sudah merasa tidak punya waktu lama dan energi yang terbatas untuk mengikuti kegiatan beladiri seperti pada umumnya. Sehingga pada awal perjuangan memperkenalkan WSDK, sempat kurang mendapat respons. Namun sekarang masyarakat dapat lebih menerima kehadiran WSDK dan mengerti pentingnya membekali diri dengan ilmu beladiri praktis ala WSDK. Tim WSDK juga tidak pernah letih untuk terus bergerak memperkenalkan WSDK kepada organisasi, komunitas, sekolah, kampus, kantor, maupun instansi-instansi pemerintahan.

Semua perempuan bisa ikut belajar dan menjadi anggota WSDK. Syaratnya hanya satu, mau ikut berlatih. Tidak ada batasan usia, yang mempunyai riwayat sakit tertentu pun bisa mengikuti latihan WSDK. Karena latihannya bisa disesuaikan dengan kondisi peserta. Hal ini karena tim WSDK berpikir bahwa kejahatan tidak pernah memandang usia, sakit, atau sehat. Sehingga siapa pun dan bagaimana pun kondisinya, perempuan harus bisa membela dirinya. Ini dibuktikan dengan adanya cancer survivor yang menjadi anggota WSDK dan instruktur WSDK. Dengan mengikuti kelas Basic 4 kali latihan, masing-masing 1,5 jam, peserta diharap sudah bisa menguasai teknik dasar dan beberapa teknik pelepasan atau kuncian dengan menggunakan senjata. Senjata yang dimaksud adalah botol mineral, lipstik, ponsel, atau alat khas perempuan lainnya. Setidaknya, teknik yang diajarkan ini membuat perempuan dapat memberikan efek perlawanan, memberikan efek jera yang selanjutnya bisa lari menyelamatkan diri atau meminta bantuan orang lain.


Menurut Shinta, pada umumnya perempuan sering dianggap sebagai mahluk yang lemah. Mindset itulah yang membuat kejahatan terhadap perempuan tidak pernah turun bahkan meningkat. Ditambah lagi, saat ini perempuan banyak yang aktif, dan terkadang mengharuskannya keluar rumah seorang diri. Kejahatan yang menimpa dapat terjadi kapan saja dan di mana saja. Bahkan bisa pula terjadi di lingkungan terdekat seperti rumah, sekolah atau tempat kerja. Oleh karena itu sangat penting bagi perempuan untuk belajar beladiri.

Suasana latihan di WSDK sendiri tidak terlalu formal. Ini yang menjadi salah satu pembeda WSDK dengan latihan beladiri lainnya. Peserta bisa menggunakan pakaian sehari-hari untuk latihan, seperti rok atau baju dinas masing-masing. Di WSDK kita dilatih seperti berada dalam keadaan sebenarnya atau kejadian nyata. Peserta bisa langsung mempraktikkan tanpa sungkan dan ragu. Bahkan dengan busana rok sekalipun. Ada beberapa gerakan yang diberikan. Salah satu teknik dasar yang diberikan adalah teknik mendorong dengan telapak tangan menuju ke arah dagu lawan, atau teknik mencubit ke arah lengan bagian bawah dekat ketiak. Atau ketika ada tamparan bisa ditangkis dengan teknik seperti menggaruk punggung. Dengan cara mengangkat tangan menekuk ke bagian punggung, lengan atas menutupi bagian telinga.   

Sampai saat ini jumlah instruktur WSDK ada sekitar 25 orang. Terdiri dari berbagai macam profesi, seperti dokter, oditur militer, arsitek, pengusaha, dosen, ibu rumah tangga, guru olah raga, peneliti tsunami dan gempa, wartawan, bahkan mahasiswa. Dari semua instruktur ini, beberapa di antaranya memiliki dasar beladiri seperti karate, jujitsu dan aikido. Bahkan ada beberapa di antaranya merupakan juara di level nasional maupun internasional.


Yang Shinta rasakan, banyak sukanya dibanding dukanya selama bergabung dan berlatih dengan WSDK. Seperti ketika melihat antusias para peserta ketika berlatih walau di usia yang sudah tidak muda lagi. Selain itu, tim WSDK juga memiliki ikatan kekeluargaan yang sangat kuat dengan berbagai macam profesi. Hal ini justru menjadikan WSDK saling melengkapi dan semakin hebat. Dukanya mungkin hanya cedera pada saat melatih akibat kurang hati-hati. Karena instruktur memang acap jadi sasaran latihan. Tapi sejauh ini, Shinta mengaku tidak pernah mengalami cedera yang serius.

Shinta mulai bergabung dengan WSDK di awal tahun 2013. Bermula dari rasa kangen berlatih beladiri yang sudah lebih dari 20 tahun ditinggalkan. Tahun 1985-1993, ia aktif di karate dan merupakan Best Female Black Belt ( DAN I). Tetapi untuk kembali aktif berlatih karate ia selalu terbentur pada waktu dan tenaga. Hingga suatu hari ia iseng browsing tentang Women Self Defense di Bandung, dan yang pertama keluar adalah WSDK. Setelah ia teliti lebih lanjut, Shinta pun jadi tertarik untuk ikut berlatih hingga akhirnya menjadi instruktur WSDK.

Namun, meski telah mempelajari WSDK dan telah menjadi instruktur, Shinta mengaku belum pernah menggunakan ilmu beladiri ini secara langsung, dan ia memang berharap jangan pernah sampai mengalaminya. Tapi pernah suatu saat ketika ia dan anak bungsunya berada di sebuah lokasi di Bandung Utara yang cukup sepi, mobilnya ditabrak seorang pengendara motor. Shinta lalu protes, dan pengendara motor itu menghentikan motornya tepat di samping pintu sehingga tidak memungkinkan bagi Shinta untk membuka pintu mobil. Pengendara motor itu kemudian mendekatkan wajahnya ke kaca pintu. Dari napasnya Shinta tahu orang itu sedang mabuk. Sesaat sempat timbul rasa takut, kaget, dan panik. Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Otaknya seperti berkata pada diri sendiri dan seperti langsung membuat skenario bahwa ia bisa beladiri dan harus berani.

Setelah menenangkan diri, Shinta yakinkan bahwa ia tidak takut. Ia segera mencabut kunci mobil. Dalam benaknya kunci itu bisa digunakan sebagai senjata. Seketika muncul skenario apa yang akan ia lakukan jika tangan atau kepala orang itu masuk ke mobilnya, lalu menyerang, dan seterusnya. Semua skenario itu membuatnya yakin bisa membela diri dan menjaga dirinya. Tapi ternyata, ketika ia bisa membawa diri dengan tenang, yakin, dan tidak memperlihatkan rasa takut, justru orang itu yang melembut. Semua akhirnya bisa diselesaikan dengan baik dan aman. Intinya, kata Shinta, kita harus percaya dan yakin akan kemampuan diri yang nantinya akan menciptakan aura positif. Ini yang membuatnya mampu bersikap lebih tenang dan berfikir jauh dan jernih ketika berada di posisi terancam.

Menjadi instruktur dan aktif di WSDK sungguh membuat Shinta merasa bangga, terlebih ketika melihat dan mengetahui secara langsung peserta yang awalnya kurang percaya diri, bahkan menganggap remeh dirinya sendiri, menjadi lebih yakin akan kekuatan dirinya. Ada korban KDRT yang setelah berlatih WSDK jadi berani bersikap tegas dan melawan ketika kembali menjadi korban kekerasan. Rencana ke depan, menurut Shinta, WSDK ingin bisa lebih bersinergi dengan berbagai kalangan, baik dari pemerintahan, pendidikan, pekerja sosial, dan sebagainya. Hal itu dilakukan demi semakin mengenalkan konsep kewaspadaan dan teknik beladiri praktis ini. Sebagai contoh, pada November 2015 WSDK bekerja sama dengan Disnakertrans melatih beberapa orang instruktur. Instruktur ini nantinya akan mengajarkan teknik beladiri kepada Tenaga Kerja Indonesia yang akan dikirim ke berbagai negara. Kerja sama ini diharap menjadi salah satu program pemerintah dan memberikan tambahan solusi untuk pembekalan TKI agar lebih berkualitas dan disegani.


Awal Desember 2015 WSDK bekerja sama dengan Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB) melatih 250 perempuan di Jawa Barat dari berbagai organisasi dan komunitas. Selain itu juga tim WSDK akan terus aktif melakukan road show Goes to Campus, Goes to School, bahkan Goes to Masjid kepada ibu-ibu Majelis Taklim, arisan, atau komunitas lainnya. Dari sini diharapkan akan muncul bibit baru perwakilan WSDK di tempatnya masing-masing dan menyuarakan semangat WSDK lebih luas lagi.

Yang membuatnya terus termotivasi untuk menyebarkan WSDK adalah rasa empati, rasa sayang, dan rasa pedulinya terhadap kaum perempuan. Perempuan yang teraniaya, tersakiti, dan tertindas oleh orang yang seharusnya menyayangi dan melindunginya. Shinta juga berharap, kelak angka kekerasan dan kejahatan terhadap perempuan menurun dan para pelaku kejahatan jera. Karena kini perempuan telah berani bersikap dan melawan ketika kejahatan menimpanya. Tentunya, tanpa meninggalkan kodratnya sebagai seorang perempuan yang lembut, keibuan, dan penuh kasih sayang.

Selain aktif di WSDK, Shinta adalah seorang ibu rumah tangga dengan dua putri. Ia juga menjadi Asisten Dosen Teknik Arsitektur di sebuah perguran tinggi swasta di Bandung, pemilik Jahara Homey Boutique dan pengelola TC-8 Community, rumah pemberdayaan perempuan yang banyak menyelenggarakan kegiatan positif seperti pengajian, kajian muslimah, cooking class, beauty and hijab class, kursus bahasa Inggris, belajar hidroponik, dan berbagai keterampilan lain. Di luar segala macam aktivitasnya itu, Shinta selalu menjadikan weekend sebagai family day. Jadi ia sangat jarang melakukan kegiatan di luar rumah ketika weekend. Kalau pun ada kegiatan yang mengharuskannya meninggalkan keluarga, tentu atas izin suami dan anak-anaknya. Bahkan jika memungkinkan, ia juga mengajak keluarga ke lokasi kegiatannya. Sementara waktu me time-nya biasanya dilakukan saat anak-anaknya sekolah dan kuliah, suaminya bekerja di kantor, pekerjaan rumah sudah beres, yang akan ia isi dengan berbagai macam kegiatan untuk sedikit memanjakan diri. Mulai dari fitnes, berenang, refleksi atau ke toko buku, dan browsing mencari ide kreatif atau yang berkenaan dengan pembelajaran diri. Shinta mengaku sangat jarang memanjakan diri ke salon atau spa.

Saat dirinya mulai menggeluti WSDK, Shinta bercerita awalnya memang ada sedikit penolakan dari keluarganya. Saat itu ia juga masih belajar mengatur waktunya. Tetapi seiring berjalannya waktu, ia bisa mengatur dengan baik antara rumah dan kegiatan-kegiatannya. Support keluarga pun akhirnya terasa maksimal. Salah satu support suami terhadap kegiatannya adalah kesediaannya menjadi pembina dan penasehat dalam kepengurusan WSDK pusat.



0 komentar:

Posting Komentar