Minggu, 19 Juni 2016

foto : tabloidnova.com
Awalnya tak banyak yang tahu jika anak kedua dari tiga bersaudara kelahiran Jakarta, 15 Juli 1982, ini menjadi bagian dari kesuksesan atlet atletik spesial Indonesia di tingkat dunia. Berjuang tanpa pamrih, nama ibu dua anak ini mulai dikenal seiring prestasi yang ditorehkan atlet-atlet spesial binaannya.

Latar belakang pendidikan Marini memang sebagai guru olahraga atletik. Di tahun 2003 ia mengawali kariernya menjadi pelatih bagi anak-anak spesial. Saat itu ia masih tercatat sebagai mahasiswi Jurusan Olahraga di Universitas Negeri Jakarta. Kebetulan, di kampusnya itu memang ada mata kuliah paralympic, yang khusus untuk melatih anak-anak spesial, seperti tuna grahita, tuna netra, tuna rungu, dan lain-lain. Namun Marini kemudian lebih mengkhususkan diri untuk melatih anak-anak tuna grahita, atau adaktif. Karena ia melihat anak-anak tuna grahita ini kalau berlatih terlihat sangat bahagia. Latihan digelar setiap hari Sabtu, dan hari itu menjadi hari yang ditunggu-tunggu oleh mereka. Karena di hari itulah selain bisa berlatih mereka juga bisa bertemu teman-temannya, hingga betul-betul terlihat lebih segar dan bahagia. Bahkan, menurut para orangtua, kalau tidak ada yang mengantar mereka untuk berlatih di hari itu, mereka bisa marah dan sedih. Dari situlah, Marini jadi bersemangat melatih mereka dan berusaha tidak mengecewakan mereka.

Awalnya, Marini hanya melihat salah seorang dosennya yang menjadi pelatih bagi anak-anak spesial ini. Marini sendiri ketika itu masih menjadi atlet. Dan karena seringnya melihat mereka berlatih, Marini pun semakin ingin untuk ikut melatih mereka. Karena menurutnya, dengan melatih mereka bisa menjadi sumber semangatnya untuk berlatih sendiri menjadi atlet. Kalau anak-anak spesial itu saja bersemangat, mengapa ia tidak ? Walau akhirnya, seiring berjalannya waktu, Marini memang lebih tertarik menjadi pelatih, dan mundur menjadi atlet. Ia ingin membantu anak-anak spesial ini untuk berprestasi. Di awal menjadi pelatih, ia berkesempatan bertemu dengan Bapak Soerjadi Soedirdja, pelindung dan pembina Special Olympic. Dalam sebuah kesempatan, istri dari Soerjadi Soedirdja pernah mengatakan padanya, bahwa dengan menjadi pelatih bagi anak-anak spesial, mungkin akan menjadi kunci surga baginya. Di situlah mata hati Marini semakin terbuka, dan ia ingin menjadikan dirinya berguna bagi orang lain.

Menurut Marini anak-anak spesial itu sebetulnya manusia yang suci, namun orang lainlah yang mengotori mereka. Marini pun dengan ikhlas membantu mereka, meski saat itu statusnya hanya menjadi relawan, dan tanpa digaji. Ternyata, ia mendapat kesempatan melatih tim atletik anak-anak spesial ini untuk menghadapi Special Olympics tahun 2007 di Beijing, Tiongkok. Ia menganggapnya ini adalah buah dari keputusannya, dan hadiah dari apa yang ia lakukan. Marini makin merasa bahwa Tuhan memang tidak pernah tidur. Ketika kita sudah ikhlas dalam melakukan sesuatu, balasan yang baik pasti ada.


Dari Special Olympics inilah ia kemudian mendapat jalan untuk menjadi PNS di Kemenpora tahun 2008 melalui jalur prestasi. Ia berhasil lulus dari berbagai tes dan kemudian ditugaskan pada bidang Olahraga Layanan Khusus. Dengan menekuni profesi ini, Marini merasa hidupnya jadi semakin berwarna. Dengan adanya anak-anak special itu, ia bisa berkarya. Dan turut bangga ketika anak-anak itu bisa berprestasi di tingkat dunia. Misalnya, belum lama ini anak-anak binaan Marini ketika mengikuti ajang Special Olympics di Los Angeles, Amerika Serikat, berhasil pulang membawa 19 medali emas, 12 perak, dan 9 perunggu. Khusus atletik, mereka berhasil menyumbang 1 emas, 2 perak, dan 3 perunggu. Sementara pada Olimpiade sebelumnya di Yunani, mereka bisa membawa 15 medali emas. Imbasnya, selain pemerintah, berbagai pihak pun juga mulai melirik keberadaan atlet-atlet spesial ini. Pada Olimpiade yang diselenggarakan di Amerika Serikat, mereka yang meraih emas mendapat bonus Rp 200 juta. Tak pelak orangtua mereka pun turut bangga dan terharu. Lebih-lebih ada anak yang mendapat 3 medali emas, hingga total bonusnya Rp 600 juta.

Walau bonus sebagai pelath tidak sampai sebesar itu, tapi Marini tidak mempermasalahkan. Baginya, masih mendapatkan bonus pun ia sudah bersyukur, tidak pernah melihat nominalnya. Dan melihat murid-muridnya berprestasi, sehat dan bugar saja, sudah membuatnya senang. Marini menyatakan, ada dua penyebab kapan lagu Indonesia Raya dikumandangkan di negara lain. Pertama yaitu ketika Presiden datang berkunjung ke sebuah negara, dan kedua adalah ketika atlet Indonesia menjadi juara dalam sebuah pertandingan olahraga internasional. Dan ketika melihat atlet-atletnya naik ke podium dalam kejuaraan yang diikuti, itu saja sudah membuatnya sangat bangga. Pun, Marini juga senang dengan menjadi pelatih ia bisa mengunjungi beberapa negara. Ketika mengikuti Olimpiade di Los Angeles, bahkan ia bisa bertemu dengan artis-artis kelas dunia. Karena ajang Special Olympics itu memang dihadiri oleh artis-artis papan atas Hollywood seperti Oscar de la Hoya, dan Keanu Reeves. Bahkan acara itu juga dibuka oleh Ibu Negara Amerika Serikat, Michelle Obama. Marini sudah cukup bahagia bisa melihat mereka dari dekat, walau tidak bisa bersalaman.

Sejak menjadi pelatih, Marini pun juga beberapa kali menyabet penghargaan, di antaranya Penghargan dari Kemenpora sebagai Pelatih Olahraga Prestasi dan salah satu dari 9 Pahlawan Untuk Indonesia dari MNC TV. Padahal ia sama sekali tidak pernah terpikir bakal mendapat penghargaan, dan tidak tahu dari mana mereka bisa memasukkannya sebagai kandidat. Karena semua yang ia lakukan didasari dengan rasa ikhlas. Jadi, penghargaan itu bagaikan mimpi bagi Marini.

Menjadi pelatih bagi anak-anak spesial tentu butuh kesabaran yang ekstra. Banyak suka dan duka yang dirasakan Marini. Ia menjelaskan, kadang mood dari anak-anak muridnya tidak bisa ditebak. Kalau mereka sedang kesal, tidak jarang ia sering kena pukul. Dan cukup sulit untuk membuat mereka kembali mood dan mau berlatih kembali. Pun, mereka juga suka berbuat usil. Marini bercerita, saat pertami kali menjadi pelatih, celananya sampai ditarik hingga kedodoran. Tapi Marini tidak menyerah. Ia justru bersyukur banyak pelatih senior yang membantunya beradaptasi. Memang, berbeda dengan melatih atlet normal, para atlet spesial ini harus mendapat perhatian lebih. Apalagi saat mereka harus masuk training centre untuk persiapan bertanding. Mereka harus diperhatikan sejak bangun tidur sampai tidur lagi. Sementara atlet lain mungkin bisa dikasih tahu jam berapa harus tidur dan sebagainya, tapi atlet spesial ini tidak bisa.

Belum lagi masing-masing atlet juga punya kebiasaan berbeda saat bersiap tidur. Contohnya, ada atlet yang sebelum tidur harus bernyanyi dulu, menelepon orang tuanya, harus dipegang telinganya saat mau tidur, dan macam-macam lainnya. Marini juga tidak bisa memaksa atlet-atlet ini. Karena ada yang bila dikerasi justru akan marah dan mogok berlatih. Jadi, dibutuhkan formula berbeda antara atlet yang satu dengan yang lain, supaya mereka mau berlatih dan termotivasi. Tapi justru itu yang membuatnya suka kangen bila lama tidak melatih atlet-atlet spesial itu. Marini juga mengaku, kadang sebagai pelatih ia juga pernah merasa tidak mood untuk melatih. Tapi seringnya, rasa bad mood-nya langsung hilang ketika melihat wajah dan tingkah laku murid-muridnya. Kalau pun masih tidak mood, ia lebih baik mengambil waktu sebentar untuk istirahat, misalnya dengan pergi karaoke, atau sekedar bernyanyi di kamar mandi.

Memegang atlet dengan low ability, juga tidak boleh lepas dari pengawasan. Ada cerita saat ia mengikuti Special Olympics di Beijing. Suatu ketika saat sedang jalan-jalan, sambil membawa dua anak yang low ability, Marini merasa tiba-tiba perutnya mulas sekali sehingga harus segera ke toilet. Sayangnya, tidak ada orang lain yang bisa menggantikannya untuk menjaga dua anak itu. Akhirnya, terpaksalah ia membawa mereka ke toilet, daripada mereka sampai hilang. Pengalaman lucu juga kerap dialami Marini. Pernah kejadian, ada atlet yang buar air besarnya berantakan dan tidak bisa cebok. Akhirnya, Marini yang harus membersihkan sekaligus mengajarkan agar ke depannya atlet itu bisa mandiri.

Kini di Jakarta, sudah ada sekitar 300-an atlet spesial dari tujuh cabang olahraga yang ikut dalam Special Olympics. Cabang olahraga yang diikuti oleh atlet Indonesia itu adalah atletik, bulu tangkis, renang, tenis meja, sepak bola, bola basket, dan boci, yakni olahraha serupa bowling tapi khusus untuk atlet yang low ability. Sementara untuk nomor atletik yang biasa diikuti adalah nomor lari, lompat, dan lempar.

Marini bercerita, awalnya kedua orangtuanya sempat meragukan keputusannya menjalani profesinya saat ini, terlebih ia memulainya dengan hanya menjadi relawan. Jadi tidak ada pemasukan finansial, sebelum akhirnya ia menjadi PNS. Ketika menikah di bulan November 2008, sang suami pun juga sempat bertentangan dengannya. Namun setelah melihat kesungguhan Marini, ia bersyukur sekarang keluarganya merestui dan mendukung langkahnya. Ia juga bahagia karena keluarganya mendukung dirinya untuk membuat hidupnya berguna bagi orang lain dan negara. Marini pun berusaha untuk membagi waktu antara profesi dan keluarga. Di sinilah, menurut Marini, pentingnya kerja sama tim antara dirinya, suami, dan orangtuanya. Juga dibutuhkan keikhlasan dan kepercayaan dari sang suami. Marini masih selalu berusaha ada waktu untuk keluarga. Kadang ia jalan-jalan, atau mengajak anak-anak untuk melihatnya melatih.


Harapan Marini, ke depan akan semakin banyak atlet spesial dan di Olimpiade yang diikuti, prestasi mereka semakin meningkat. Selain itu juga semakin banyak orang yang mau meluangkan waktu dan tenaganya menjadi relawan, bergabung bersama dengannya melatih atlet spesial. Apa pun latar belakangnya, tidak harus selalu dari bidang olahraga. Marini mengaku sudah tidak ada keinginan untuk menjadi atlet lagi, karena merasa sepertinya nasibnya kurang beruntung jika menjadi atlet. Terakhir, ia menjadi atlet lontar martil dan pernah mengikuti PON, tapi ia hanya sampai di urutan ke 4 atau 5. Sebelumnya ia juga pernah menjadi atlet sprinter dan jalan cepat. Meski begitu, dengan menjadi pelatih, ia pun tetap bisa berada di lapangan. Dan ternyata, Tuhan memang memberikan kesempatan agar dirinya menjadi seperti sekarang ini.



1 komentar:

  1. Siang, sy boleh mendapatkan no kontak ibu Rini atau lokasi tempat berlatih? Thanks

    BalasHapus