Senin, 20 Juni 2016



Terlahir dengan nama Sonta Leonarda boru Situmorang, asal Dusun Huta Raja, Desa Lumban Suhi-suhi, Kecamatan Pangururan, Samosir, Sumatera Utara, perempuan kelahiran 15 April 1954 ini lebih suka disapa dengan Ompu Valentina (neneknya si Valentina) boru Situmorang. Sejak belia, ia sudah mendedikasikan dirinya untuk tenun ulos. Niat untuk mempertahankan salah satu kebudayaan Batak itu tak pernah padam, hingga kini, meski ia mengaku sedang dilanda kegundahan.

Lugu dan sederhana, nampak terlihat pada kehidupan janda dengan satu anak dan dua cucu ini. Padahal, ia adalah ‘mutiara’. Sang Empu pembuat ulos yang kini kian langka di Tanah Batak. Kegiatan menenun ulos dikenal Ompu Valentina secara turun temurun dari ibunya, Mahanna boru Simarmata. Demi menenun ulos pula, ia harus melepas keinginannya untuk mencicipi pendidikan yang lebih tinggi, dan merelakan abangnya yang terus melanjutkan sekolah. Jadilah, Ompu Valentina harus puas hanya mengecap pendidikan sampai kelas 1 SMP. Selanjutnya, sang ibu membimbing Ompu Valentina menenun ulos sejak usia 15 tahun. Sang ibu pun tak salah pilih. Ompu Valentina semakin mencintai pekerjaannya sebagai penenun ulos, meski teman sepermainannya menjauh.

Menurut Ompu Valentina, ulos adalah warisan orangtua dan ciri khas orang Batak yang selayaknya dilestarikan hingga ke anak cucu. Ompu Valentina pun juga mahir menjelaskan filosofi yang terkandung dalam setiap motif pada kain yang biasanya dibuat dari benang tiga warna, yakni hitam, putih, dan merah itu. Ia juga sangat paham kegunaan setiap ulos serta proses membuat sehelai ulos berikut peralatannya yang dipakai. Ada 11 tipe ulos Batak. Semuanya sudah pernah ia buat, di antaranya tipe Mangiring, Suri-suri Ganjang, Bintang Maratur, Harangguan, Bolean, Ragi Idup, Sibolang, Sadum Angkola. Berbeda tipe ulos, berbeda pula makna dan penggunaannya. Ulos tipe Mangiring, misalnya, diberikan seorang kakek kepada cucunya yang menikah, dengan harapan agar segera punya anak. Kain ulos itu pula yang nantinya akan dipakai untuk menggendong bayi yang lahir. Romantis sekali dan sarat dengan ikatan kekeluargaan yang indah. Dan dari semua jenis ulos yang tadi disebutkan, hanya tipe Ragi Idup yang paling sukar pembuatannya. Proses menenunnya harus sampai tiga kali.


Ompu Valentina bercerita, ia mempunyai kenangan manis sekaligus kebanggaan yang tidak terlupakan selama hidupnya sebagai penenun ulos saat didatangi seorang pastor yang memintanya untuk menenun sebuah ulos yang akan diberikan kepada Paus Johannes Paulus II menjelang kunjungan kenegaraan ke Indonesia, Oktober 1989 silam. Tentu saat itu ia sangat senang, walau agak bingung menentukan ulos seperti apa yang kira-kira pantas untuk Paus. Karena memang tidak bisa sembarangan. Ia pun berdoa dulu sebelum menentukan tipe ulos. Akhirnya, ia memilih Sadum Angkola, karena paling anggun dan pemakaiannya lebih umum dibanding tipe ulos lainnya. Warnanya hitam dengan kombinasi merah hati.

Ulos sepanjang 3 m dan lebar 80 cm itu dikerjakannya selama dua bulan dan selesai dua minggu sebelum kedatangan Paus di Indonesia. Bagi Ompu Valentina, karyanya itu merupakan ulos terbaik yang pernah ia buat serta paling lama pengerjaannya. Kegembiraannya memuncak saat menyaksikan sendiri Paus mengenakan ulos bertuliskan Ad Multos Annos buatannya saat memimpin Misa Agung di Medan, 13 Agustus 1989 silam. Ulos itu sekarang menjadi koleksi Sri Paus, dan masih disimpan di Museum Vatikan.

Ompu Valentina semakin menekuni tenun ulos sepeninggal sang suami, Kamis Naibaho, pada pertengahan 1980-an. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, ia menggarap sebidang tanah yang ditanami padi dan memelihara dua ekor kerbau. Memulai aktivitas menenun ulos sejak pagi, ia baru berhenti menjelang tengah malam. Ompu Valentina hanya berhenti menenun sejenak saat memasak, makan, hari Minggu, atau membersihkan rumah. Perempuan yang juga aktif berorganisasi dan di gereja sebagai pemimpin lagu ini pun masih menempati rumah Batak peninggalan orangtuanya yang tak jarang dijadikan sebagi tempat pertemuan bersama 20 rekannya sesama penenun ulos tradisional di Lumban Suhi-suhi, yang tergabung dalam Kelompok Penenun Ulos Santo Yosef. Mereka bisa saling berbagi cerita susah dan senang, agar tetap ada yang mencintai budaya seperti menenun ulos. Kalau mendapat pesanan ulos dalam jumlah besar, misalnya saat Vicky Sianipar memesan 100 helai ulos, mereka membagi-bagi pekerjaannya.


Bagi Ompu Valentina, upaya berkelompok ini, yang tadinya merupakan gagasan salah seorang pastor di gerejanya, lambat laun menjadi obat untuk mengatasi kegundahan di benaknya. Ompu Valentina mengaku cemas, ulos tak lagi sakral seperti sebelumnya. Semakin banyak ulos yang dibuat dengan mesin sehingga ulos makin mudah didapat. Bahkan, orang Batak sendiri semakin banyak yang meninggalkan ulos, termasuk untuk menggendong anak. Kini, ulos digantikan alat gendong buatan luar negeri. Ini juga membuat penghasilannya ikut menurun. Kalaupun ada yang memesan ulos yang mahal, keuntungan bersihnya hanya setengah dari harga ulos. Karena harga benang dan pewarna ulos memang sudah mahal. Alhasil, keuntungan yang didapat merupakan upah kerja paling tidak selama 3 minggu. Dalam sebulan praktis ia hanya mengerjakan satu ulos. Sementara harga ulos di Lumban Suhi-suhi rata-rata berkisar Rp 5-7 juta, tergantung jenis dan tingkat kesulitannya.  Kenyataan itulah yang membuat minat generasi muda di Lumban Suhi-suhi terhadap tenun ulos semakin meredup. Mereka lebih suka pekerjaan yang cepat mendapatkan uang. Membuat ulos pun asal jadi, tanpa memikirkan budaya. Itu membuat Ompu Valentina semakin khawatir pada nasib ulos. Kegiatan menenun ulos secara tradisional bisa-bisa tinggal cerita saja bagi anak cucu.

Kini, selain berbagi dengan kelompoknya, Ompu Valentina menjalin kerja sama dengan desainer Merdi Sihombing, mengajari kaum perempuan di Lumban Suhi-suhi cara berkreasi membuat ulos. Hasilnya mulai sedikit melegakan Ompu Valentina. Kalau dulu ulos dikenakan dalam bentuk selendang dan sarung, dan digunakan pada upacara adat Batak, kini ulos banyak dijumpai dalam bentuk suvenir, ikat pinggang, tas, dasi, gorden, dan taplak meja. Ompu Valentina juga tidak pernah bosan menjelaskan setiap simbol dan warna ulos kepada kaum muda. Tujuannya agar mereka tidak asal menenun ulos. Paham makna tentu akan mendorong mereka lebih mencintai ulos dari sekadar mementingkan uang.

Ompu Valentina kini juga sering tampil sebagai narasumber dalam seminar untuk menjelaskan makna dan jenis ulos. Sepak terjangnya yang demikian gencar memasyarakatkan ulos diam-diam dipantau oleh warga lain di Lumba Suhi-suhi. Rupanya, para warga memperhatikan kehidupannya, yang cuma menenun ulos, tetapi bisa hidup layak. Sejak saat itu, warga yang tadinya sudah enggan menenun, kini mulai menggelar alat tenun dan menenun ulos di rumahnya masing-masing.  

0 komentar:

Posting Komentar