Rabu, 22 Juni 2016


Ibu tiga orang anak ini menyebut dirinya sebagai ‘UGD 24 Jam’. Ia bukanlan perawat, apalagi dokter. Namun kiprahnya tak kalah mulia dari dua profesi tadi. Yuli Supriati merupakan relawan yang mendampingi pasien agar mendapat hak-hak dan fasilitas kesehatan yang semestinya. Setiap hari ia harus selalu stand by. Begitu ada telepon masuk, ia langsung menuju ke rumah sakit yang disebutkan. Telepon yang dimaksud adalah telepon dari orang-orang, baik yang ia kenal maupun tidak, yang meminta pendampingan agar bisa mendapat perawatan kesehatan di rumah sakit.

Kebanyakan mereka butuh bantuan untuk dicarikan ruang ICU. Seringkali, pasien memang tidak terlayani dengan baik, terutama di ruang UGD. Meski kondisinya kritis, tapi terkadang tak bisa cepat ditangani dengan alasan ruang UGD penuh. Selain kasus seperti itu, kebanyakan orang yang meneleponnya juga sedang dalam keadaan kalut atau bingung. Mereka peserta BPJS, tapi saat di RS dikatakan bahwa kepesertaannya tidak berlaku. Atau ada keluarga yang sakit, tapi mereka tak punya uang, bingung harus bagaimana. Oleh karena itu, Yuli bertekad teleponnya memang tidak boleh mati, harus stand by terus, seperti halnya UGD 24 jam. Ia pun kerap dihubungi orang selepas tengah malam. Ada yang telepon pukul 01.00-02.00 dinihari. Kadang ia yang baru tidur 15 menit, tiba-tiba ada telepon masuk dari orang yang melapor sedang berada di RS, tapi tidak mendapatkan tempat di UGD, lalu minta tolong dicarikan tempat di UGD RS lain. Biasanya Yuli akan menanyakan dokumen-dokumen, KTP, Kartu Keluarga (KK) atau kalau ada, kartu BPJS. Kalau si penelepon tidak membawa, ia akan meminta anggota keluarga yang lain untuk ambil ke rumah, sembari dirinya meluncur ke RS tersebut.


Kemudian semuanya Yuli yang mengurus, mulai administrasi, pendaftaran, sampai memastikan pasien tertangani dengan baik di UGD. Kalau memang harus dirawat, ia juga memastikan pasien mendapat kamar. Begitu pasien sudah dapat kamar, barulah Yuli bisa pulang. Saat ini Yuli memiliki area kerja di seputar daerah Ciledug, Tangerang, dekat dengan tempat tinggalnya. Tapi tidak menutup kemungkinan juga ia harus ‘menyeberang’ ke Jakarta. Pasalnya, untuk kasus-kasus berat biasanya harus dirujuk ke RSCM atau RS Dharmais.

Jiwa suka menolong itu berawal dari sifat Yuli yang memang mudah penasaran dan selalu ingin tahu. Misalnya, pernah ada pembantu tetangganya yang mencoba bunuh diri dengan minum racun serangga. Bila orang lain hanya senang menonton saja, ia tidak. Ia akan menerobos masuk ke kerumunan, dan mengatakan bahwa korban harus dibawa ke dokter atau RS. Hal yang sama pun ia lakukan ketika mengetahui tetangga di belakang rumahnya jatuh sakit. Meski sudah lama tergolek lemah, namun tak kunjung dibawa berobat. Mungkin mereka memikirkan biayanya. Akhirnya, Yuli mencoba menolong dengan membawanya ke RS. Tapi, karena waktu itu ia bertindak sendiri, atas nama pribadi, ia sering kesulitan mencari ruang ICU. Menurutnya, bila menggunakan BPJS, mencari ruang ICU di RS memang ibarat mencari jarum dalam jerami, sangat sulit.

Dua hari mencari ruang ICU di seluruh RS di Tangerang, Yuli tak kunjung berhasil. Akhirnya, ia dikenalkan dengan Dewan Kesehatan Rakyat, organisasi yang isinya para relawan dan bisa mencarikan ruang ICU. Dari situlah, Yuli langsung tertarik bergabung. Hal ini sangat bagus baginya, dan Yuli ibaratkan seperti panci yang bertemu penutupnya. Yuli yang memang suka menolong pasien, akhirnya menemukan wadah yang tepat untuk melakukan misinya, dengan masuk ke DKR. Di sana ia juga mencoba beraudiensi dengan pihak-pihak terkait seperti dinas kesehatan, Pemkot Tangerang, dan sosialisasi ke masyarakat. Perempuan yang pernah berdemo di depan kantor BPJS Pusat ini menjelaskan, DKR adalah lembaga masyarakat nasional yang dibentuk Menteri Kesehatan era Presiden SBY, Siti Fadilah Supari. DKR bertujuan agar kalau kita sakit, untuk biaya berobatnya tidak usah harus sampai menjual rumah atau kendaraan. Karena pemerintah punya anggaran untuk biaya kesehatan masyarakat, tapi memang hanya di RS tertentu. Sayangnya, informasi itu tidak sampai ke masyarakat. Kadang, pihak Puskesmas juga tidak memberi tahu. Dan orang jarang pula yang tahu bahwa sebenarnya mereka punya hak di situ karena membayar pajak.


Masuk DKR bukan berarti perjuangan Yuli jadi mudah. Ia justru menemukan banyak kasus yang rumit. Ia pernah menangani seorang ibu yang sakit kanker paru-paru namun ditolak oleh tiga RS di Jakarta Timur. Ibu tersebut kemudian diterima di RS Persahabatan, tetapi harus masuk ruang ICU. Sementara pihak RS mengatakan bahwa ICU-nya sedang penuh. Hal seperti itu sudah sangat sering Yuli jumpai. Setelah mencari sana-sini, dapatlah ICU di sebuah RS di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Ibu itu lalu dirawat di sana selama 10 hari, dan menghabiskan biaya Rp 120 juta. Sedangkan si ibu juga harus dioperasi. Untuk membiayai operasi di RS itu tidak memiliki uang, karena perawatannya saja sudah mahal. Anak lelaki ibu itu lalu menghubungi Yuli. Yuli pun mengakui bahwa kasus seperti ini sangat sulit, apalagi untuk penyakit berat. Tapi anak itu terus memohon sambil menangis, sampai-sampai Yuli pun ikutan menangis. Segera Yuli menghubungi Dinkes DKI Jakarta. Ketua DKR pun juga mengirimkan SMS ke Gubernur DKI, Basuki Tjahaya Purnama, agar pasien itu dibantu. Yang jelas, Yuli ingin agar ibu itu bisa cepat diterima di RS pertama yang menerima BPJS. Esoknya, pasien pun pindah ke RS Persahabatan dan langsung dioperasi. Biaya perawatan sebesar Rp 120 juta di RS tadi juga dicover BPJS karena itu memang sudah haknya.

Kasus lainnya, Yuli menyebutnya dengan istilah ‘kecebur’. Pasien dengan kartu BPJS harus dirawat disebuah RS mewah lantaran tak mendapat perlakuan yang layak dari RS Kabupaten. Ceritanya, pasien itu sudah mendapat tanggal operasi pengangkatan mioma di rahimnya. Tapi ketika mau dioperasi, mendadak badannya demam. Seharusnya, demam itu diobati dulu baru dioperasi. Tapi pasien itu malah disuruh pulang dulu. Dan tentu saja, bila harus pulang dulu maka ia harus memulainya dari awal lagi, mulai mendaftar, antre dan segala macam. Sampai di rumah pasien ini semakin parah kondisinya. Karena bingung dan panik, sang suami membawanya ke RS elit. Saat itu dia hanya punya uang Rp 5 juta, tapi dengan nekat uang itu dibayarkan untuk DP. Total semua biayanya Rp 30 juta. Suaminya pun kaget dan menangis saat bercerita kepada Yuli. Suami pasien itu mengatakan bahwa hanya punya angkot satu-satunya, yang demi kesembuhan istrinya, ia merelakan akan menjual angkot itu. Yuli pun berusaha menenangkan si suami tadi. Harga angkot pun pasti belum cukup untuk menutup biaya perawatan di RS elit itu, yang bisa Rp 100 juta lebih. Akhirnya, Yuli memberanikan diri menghadap direktur RS itu meminta keringanan biaya. Kemudian pasien itu ia pindahkan lagi ke RS Kabupaten. Suaminya pun langsung menangis terharu. Menurut perempuan kelahiran Jakarta, 21 Juli 1970 ini, momen itu adalah salah satu yang paling membahagiakannya. Rasanya luar biasa. Ia bercerita, kadang ada orang yang usianya lebih tua darinya, tapi sampai mau mencium tangannya, atau memeluknya. Mereka sangat berterima kasih karena merasa terbantu. Dan menurut Yuli, ternyata memang tidak perlu menjadi seperti artis di tayangan TV, yang bisa dipeluk setelah membantu orang lain.


Meski menghadapi berbagai masalah di UGD dan rumah sakit, Yuli mengaku senang melakukannya. Ia dan rekan-rekannya di DKR memiliki moto, pantang pulang sebelum sembuh, atau kalau pulang harus sudah tinggal nama. Jadi, bila membawa pasien, sesulit apa pun, harus ia tembus untuk mendapatkan hak-haknya. Kendati demikian, Yuli merasa usahanya akan sia-sia jika pemerintah tak segera berbenah diri. Contohnya, soal sosialisasi UU Rumah Sakit yang masih belum banyak diketahui oleh masyarakat. Misalnya, bayi yang lahir dengan cacat bawaan, praktis semua biaya ditanggung pemerintah. Dan orang banyak yang belum tahu soal itu. Belum lagi, perihal penanganan pasien di UGD yang selama ini tak sesuai dengan UU RS. Jika sesuai dengan UU, di UGD kita punya waktu 8 jam untuk ditangani tanpa ditanya mau membayar pakai apa ? Karena memang tidak boleh bicara soal uang di UGD. Yuli membayangkan UGD di Amerika Serikat, yang menurutnya sangat keren sekali. Saat pasien didorong, semua dokter akan mengerubuti dan menangani. Sementara di sini, tidak begitu. Begitu masuk UGD, diminta daftar dulu, lalu ditanya soal mau membayarnya pakai apa ?

Yuli juga mengaku iri jika mendengar berita tentang rumah sakit yang didirikan tim Indonesia di daerah berkonflik di luar negeri. Di jalur Gaza, Indonesia mempunyai RS yang begitu besar. Di Nepal, tim rescue Indonesia berada di nomor dua terbesar setelah Inggris. Itu tentu dengan dukungan tim medis dan obat-obatan yang luar biasa komplet. Jadi, miris sekali bila kita bisa berkembang sebegitu besarnya di dunia, tapi di dalam negeri sendiri, masih ada pasien yang tidak diurusi. Umur memang ditangan Tuhan, tapi paling tidak, ia sudah maksimal mengusahakan, dan memanusiakan pasien. Yuli juga tidak ingin, jangan karena mentang-mentang kondisinya sudah seperti ini, maka akan terus begini-begini saja. Ia memberikan semangat untuk mau berubah. Oleh karena itu ia sering menghimbau agar aparat pemerintah mau turun melihat ke UGD-UGD, agar tahu apa yang mesti dibenahi. Yuli yang selalu menggunakan sepeda motor untuk mobilitasnya ini pun, senang karena kiprahnya selama ini mendapat dukungan penuh oleh suami dan anak-anaknya.



0 komentar:

Posting Komentar