Sabtu, 21 Mei 2016



Membantu sesama bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya menjadi relawan kemanusiaan seperti yang dilakukan Nonis Murwanika Sari. Perempuan kelahiran Wonogiri ini aktif membantu warga tak mampu penderita penyakit kronis hingga ke pelosok. Akses yang sulit tak menghalangi langkahnya. Ia pun juga aktif mengadvokasi dan memberikan pendampingan bagi perempuan dan anak-anak korban kekerasan di kota kelahirannya.

Sebelum terjun di bidang kemanusiaan, awalnya Nonis menjalani harinya sama seperti orang kebanyakan. Ia sempat bekerja di sebuah kantor. Selain itu, ia juga aktif menulis di media sosial. Dari situlah ia menemukan banyak sekali informasi tentang warga tidak mampu di Wonogiri yang mencari dana untuk pengobatan. Namun sayangnya, banyak orang yang hanya sekedar berkomentar atau berwacana, namun tidak melakukan sesuatu. Sampai kemudian, Nonis menemukan sebuah komunitas yang selalu membagikan info tentang masyarakat yang membutuhkan pertolongan, dan juga ikut membantu mencarikan dana. Nonis pun tertarik dan bergabung dengan komunitas yang bernama Pawon Mas (Paguyuban Wonogiri Manunggal Sedya) itu. Ia kemudian aktif di komunitas ini dan ikut terjun membantu warga tidak mampu yang butuh pertolongan.

Setelah terjun langsung ke lapangan, Nonis mendapati fakta bahwa ternyata banyak sekali warga tidak mampu yang harus segera dibantu. Karena merasa terpanggil, akhirnya ia pun memutuskan keluar dari pekerjaan agar punya waktu lebih banyak untuk aktivitas sosial ini. Belakangan, ia pun menyadari bahwa kendala utama dalam aktivitasnya adalah mencari dana. Ia butuh wadah yang bisa ikut membantu masalah pendanaan. Setelah melihat aktivitas sosial yang dilakukannya di Wonogiri, Nonis pun akhirnya ditarik untuk bergabung dengan komunitas SR (Sedekah Rombongan). Tak hanya membantu soal pendanaan, lewat SR pula, akhirnya jadi semakin banyak warga yang bisa ia bantu. Selain itu, di SR Nonis juga menemukan teman-teman yang sevisi.

Kegiatan yang dilakukan Nonis di SR adalah memberikan pendampingan untuk warga tidak mampu yang punya penyakit kronis sejak awal. Sebelumnya, ia mencari informasi siapa saja warga tidak mampu yang tinggal di pelosok Wonogiri yang butuh bantuan dana untuk pengobatan. Setelah survei dan melihat kondisi, ia pun kemudian segera bergerak membantu membujuk dan mengantarkan ke rumah sakit. Dan ia akan terus mendampingi hingga pasien sembuh dan kembali ke rumah. Di samping itu, Nonis juga bergabung dengan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak). Ia ikut mengadvokasi perempuan dan anak korban kekerasan. Nonis menilai, biasanya di daerah yang miskin itu cukup rawan dan memiliki angka KDRT yang tinggi. Karena itulah, ia siap membantu mereka yang tidak mengerti soal hokum. Salah satu kasus yang pernah ia tangani adalah, seorang anak umur 3 tahun yang jadi korban kekerasan orangtuanya. Nonis dan teman-teman di P2TP2A pun mengawal kasus ini dan ikut membantu pemulihan kondisi korban.

Nonis sadar menjadi relawan itu berarti harus rela atau ikhlas tanpa meminta imbalan alias tidak dibayar. Ia merasa ini adalah panggilan jiwanya. Ia seperti disadarkan, kalau memang mau menolong, tidak harus menunggu kaya dulu. Karena menolong juga tidak hanya melulu soal materi. Bahkan sebenarnya ia yang justru banyak belajar dari mereka yang jadi pasien dampingannya. Nonis belajar bersyukur, bersabar, dan bersemangat di tengah keterbatasan. Ia juga makin tertantang membantu banyak warga lainnya. Secara demografis, 25 kecamatan di Wonogiri merupakan hutan dan gunung. Maka medan area yang ditempuhnya pun cukup menantang. Pasien yang ia damping kebanyakan tinggal di pelosok yang jauh sekali dari kota dengan akses dan medan yang susah dijangkau.

Nonis menjelaskan, bahwa Wonogiri dikenal memiliki kasus penyakit kronis paling ekstrem di antara daerah-daerah sekitarnya. Ia pernah menangani seorang ibu yang sudah 11 tahun terkena tumor kandungan dan menanggung beban 16 kg di perutnya. Untuk makan saja ibu itu merasa kesusahan, apalagi pergi ke Puskesmas yang aksesnya tidak mudah. Nonis pun juga harus belajar secara otodidak soal penyakit, istilah medis, dan memperbanyak informasi dengan bertanya ke dokter dan pakar. Ia harus bisa menenangkan pasien dan keluarga apabila mendapatkan kabar tidak menyenangkan dari dokter, ikut memotivasi dan memantau sampai pasien sembuh dan pulang dalam kondisi yang lebih baik.

Untungnya, Nonis termasuk perempuan yang tahan dan tidak gampang jijik. Padahal pasien yang ia dampingi biasanya kondisinya sudah parah, bahkan dikucilkan oleh keluarga karena keadaannya. Nonis juga harus bisa berkomunikasi dengan berbagai pihak mulai dari tingkat desa, kecamatan, hingga provinsi untuk mengurus administrasi kependudukan. Karena biasanya, warga yang tidak mampu tidak memiliki administrasi kependudukan yang lengkap, misalnya KTP, sehingga untuk mengurus BPJS juga sulit. Belum lagi, ia juga masih harus menghadapi pihak rumah sakit dan melobi meminta penanganan yang cepat apabila ada kondisi gawat darurat, termasuk meminta keringanan pembayaran. Untungnya, semua masalah tersebut bisa ia hadapi. Dan dengan niat baik, ada saja kemudahan yang ia terima. Sekecil apa pun bantuan selalu datang. Karena itulah, Nonis pun semakin termotivasi untuk terus membantu.

Sibuk dengan kegiatan kemanusiaan, membuat Nonis sering pulang malam. Nonis pun mengaku sempat mendapatkan cibiran oleh lingkungannya dan dikira perempuan nakal. Untungnya, orangtuanya sudah tahu betul sifat dan karakter anaknya. Mereka jutsru terus mendorong Nonis dan mendukung semua aktivitas sosialnya. Hingga suatu ketika, Nonis sempat menyewa mobil salah satu tetangganya untuk membantu mengantarkan pasien dampingannya. Ternyata, pasien dampingannya ini bercerita banyak mengenai aktivitas Nonis kepada tetangga yang ia sewa mobilnya. Kabar bahwa ia pulang malam karena sering ke rumah sakit dan membantu para pasien tidak mampu, akhirnya menyebar. Pandangan negatif atas dirinya pun akhirnya hilang sendiri. Bahkan sekarang banyak tetangganya yang justru ikut bangga dan memberikan informasi pasien mana yang perlu ditolong.

Dari aktivitasnya, setiap hari Nonis selalu menemui cerita penuh suka duka yang tidak bisa ia lupakan. Sukanya, tentu bila ia bisa melihat pasien dampingan pulang dalam kondisi lebih baik dan kembali menjalani kehidupannya. Melihat keluarga pasien yang bahagia itu merupakan bayaran untuknya. Ini juga bisa menjadi refleksi dalam kehidupannya dan ia benar-benar bisa belajar dari pasien dan keluarganya yang ia dampingi. Setiap pasien dampingan dengan kondisi yang berbeda itu memang memiliki ceritanya masing-masing. Ada yang mulus-mulus saja tanpa hambatan, ada yang dari awal mendapatkan pendampingan harus penuh perjuangan, bahkan sampai sembuh pun masih berjuang. Salah satunya, ada pasien yang tinggal di puncak gunung, dan karena tidak ada akses transportasi, pasien itu kemudian terpaksa ditandu melewati jalan setapak. Kadang Nonis juga merasa heran dan ikut sedih, melihat warga yang sudah tidak punya, tapi masih dikasih penyakit yang berat.

Nonis bercerita, ada satu pengalaman yang menjadi bukti bahwa apabila kita bersungguh-sungguh dan mau berusaha, pasti akan diberikan jalan. Waktu itu ia punya satu pasien dampingan yang harusnya melahirkan pukul 09.00, tapi karena tidak memiliki dana, pasien itu harus menunggu hingga pukul 21.00. Ketika sudah tidak kuat, barulah pasien itu menelepon Nonis dan meminta bantuan malam itu juga. Akhirnya, masalah itu berhasil ditangani. Tapi, karena penanganannya cukup lama, bayinya pun mengalami sesak napas hebat. Bahkan dokter memvonis kesempatan bayi hidup hanya 30%. Begitu sang bayi lahir, langsung dibawa ke ruang NICU selama 38 hari. Keadaan itu sempat membuat si ibu down. Di situlah Nonis berusaha menguatkan dan memberikan motivasi. Dan benar saja, bayi yang kemudian ia usulkan diberi nama Bagas Putra Aprilio ini ternyata sekarang sehat dan tumbuh baik. Kebetulan, karena prinsip Nonis adalah, “hadapi, sikat, selesaikan, dan menghilang dalam kesenyapan”, jadi ia tidak lagi melakukan kontak setelah pasien dan bayinya itu pulang. Hingga setahun kemudian ketika ia mencoba berkunjung, si bayi itu seakan-akan sudah mengenali dirinya. Memang, ketika dulu berada di ruang NICU, setiap hari Nonis selalu membisikkan ditelinganya, supaya si bayi bertahan dan menjadi anak yang kuat. Dan saat bertemu kembali, ternyata anak itu nempel dan lengket betul dengan Nonis. Kebanyakan anak-anak dari pasien yang pernah didampinginya memang sudah seperti menjadi anak angkatnya. Nonis pun kerap disapa Bunda.

Nonis mengaku, untuk mencari orang yang mau terjun membantu orang sakit dan langsung mendampingi seperti dirinya memang tidak mudah. Untuk kegiatannya ini, biasanya Nonis dibantu tim yang menyurvei begitu ada informasi masuk. Paling tidak ia memiliki satu orang rekan di setiap kecamatan untuk membantu informasi dan pengecekan. Tetapi, belakangan ini banyak juga yang langsung menghubunginya di kontak pribadi. Bahkan sekarang, justru pihak kecamatan yang malah menghubungi Nonis dan meminta bantuan untuk mendampingi warganya. Untungnya bagi Nonis, saat ia butuh bantuan soal administrasi kependudukan, pihak kecamatan jadi kooperatif dan mau bekerja sama.

Saat ini Nonis masih punya impian, nantinya satu desa bisa memiliki satu ambulans. Karena itu bisa sangat menolong. Bisa dibayangkan, betapa beratnya bila ada pasien yang tinggal di pelosok dan mengalami sakit berat, lalu harus dirujuk ke Solo. Kadang Nonis meminta mereka mencari carteran mobil sampai Wonogiri, dan nanti ia yang akan membayarnya. Tapi masalahnya ternyata tidak semua desa ada tempat pemnyewaan mobil, bahkan kepala desanya saja pun hanya punya motor dinas, bukan mobil. Selain itu Nonis juga masih memendam mimpi, ingin memiliki yayasan sendiri, agar ia makin leluasa menolong, tidak cuma di Wonogiri saja, tetapi juga kota-kota sekitarnya. Ia juga berharap bisa memiliki pasangan hidup yang memahami aktivitas sosialnya, bahkan syukur-syukur juga ikut terlibat dan mau membantu.

1 komentar: