Sabtu, 26 Maret 2016



Dua minggu sekali, ibu tiga anak ini menaiki motor dari rumahnya di Blitar menuju Dusun Brau, Batu, Malang, Jawa Timur. Tebing tinggi dan jalanan curam sama sekali tak jadi penghalang mantan TKW ini untuk memberdayakan masyarakat Brau demi menyelamatkan lingkungan. Wanita hebat ini adalah Yuli Sugihartati. Latar belakang sebagai sarjana peternakan ia gunakan untuk mendidik warga mengolah kotoran sapi perah menjadi biogas dan bio slurry. Biogas bisa digunakan untuk memasak dan penerangan, sedangkan bio slurry, ampas kotoran yang keluar dari reaktor, setelah diproses bisa dijadikan makanan ternak cacing serta pupuk organik. Meski tidak dibayar, tapi ia sangat bahagia karena ilmunya bisa berguna untuk sesama.


Aktivitasnya bermula di akhir 2013 saat ia diminta LSM Yayasan Alam Bumi Lestari (Yabule) yang bergerak di bidang konservasi alam serta pemberdayaan masyarakat untuk mencari kawasan yang lingkungannya mulai rusak dengan jalan memberdayakan masyarakat untuk melakukan penyelamatan. Dari sekian banyak lokasi akhirnya dipilihlah Dusun Brau. Lokasinya cukup tinggi, sekitar 1400 mdpl, tepatnya di puncak kota Batu. Dulunya Brau adalah kawasan yang sangat indah. Selain udaranya sejuk dan kawasan hutannya cukup lebat, lahan pertanian kentang dan wortel juga cukup luas. Tetapi sekarang sudah tidak ada lagi. Pasalnya, masyarakat setempat suka memotong tanaman untuk dijadikan kayu bakar, baik untuk memasak maupun membuat perapian penghangat tubuh.

Program pemerintah dengan memberikan tabung gas kurang efektif mengingat memotong tanaman sudah menjadi kebiasaan sejak lama. Maka, keadaan yang bisa dilihat sekarang, kawasan Dusun Brau terlihat gersang dan gundul. Namun tak hanya kerusakan hutan saja, tapi masih ada hal lain yang tak kalah merusak. Ketika Yuli memasuki dusun ini, kotoran sapi yang berbau tak sedap berserakan begitu saja di jalan-jalan. Karena kondisi alamnya bertebing, ketika hujan, kotoran itu terbawa air dan meluber ke halaman rumah atau jalan di bawahnya. Kotoran itu berceceran karena para peternak tidak memiliki penampungan, apalagi pengolahan kotoran sapi. Mayoritas warga Brau memang peternak sapi perah dengan populasi sangat tinggi. Warga Brau yang hanya terdiri 60 kelapa keluarga, namun jumlah sapinya sudah mencapai 200 ekor lebih.

Yang perlu diketahui adalah, kotoran ternak sapi itu memiliki dampak merusak lingkungan yang sangat tinggi kalau tidak diolah. Gas metan sebagai perusak ozon yang keluar dari kotoran sapi 60 kali lebih tinggi dari sisa pembakaran yang keluar dari knalpot motor maupun pabrik. Karena itu, dulu tanah di Brau ini sangat subur. Aneka tanaman sayur-sayuran mulai kentang, wortel, kol dan sebagainya tumbuh dengan baik. Tapi setelah air sungai maupun tanahnya tercemar kotoran sapi, kondisinya sekarang jadi rusak.

Bersama Yabule, Yuli lalu melakukan pemetaan. Setelah mendapat izin dari aparat desa setempat, kemudian ditemukan solusi agar masyarakat tidak menebang pohon lagi sebagai kayu bakar. Caranya dengan mengajari mereka membuat biogas. Dengan biogas, ada banyak manfaat yang didapat. Masyarakat juga tak perlu mencari kayu ke hutan serta tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli gas elpiji. Itu belum termasuk manfaat bio slurry yang bisa dijadikan pupuk kompos.

Untuk membuat biogas, tentu dibutuhkan reaktor. Karena reaktor itu sendiri harus dibeli, maka untuk pengadaan pertama kalinya dicari bantuan dari berbagai pihak, termasuk uang patungan dari teman-teman LSM. Setelah terkumpul, Februari 2014 barulah dibeli satu reaktor yang ditempatkan di rumah salah satu warga. Begitu biogas itu berhasil, masyarakat pun mulai melirik teknologi ini. Tapi, menurut Yuli, sebenarnya untuk sampai tahap menerima memang tidak mudah. Sebab sebelumnya sudah ada masyarakat yang membuat biogas tetapi gagal. Mereka kecewa, sudah menghabiskan uang cukup banyak namun tidak berhasil. Maka yang terpenting adalah, dengan terus memberikan pemahaman tentang peralihan dari pemakaian kayu ke biogas demi menyelamatkan lingkungan.


Cara yang Yuli lakukan adalah dengan melakukan pendekatan langsung ke masyarakat. Ia sering ngopi sambil ngobrol dengan bapak-bapak di pinggir jalan desa sampai jam 12 malam. Saat itulah ia mulai melakukan edukasi kepada para bapak-bapak itu. Tentu pendekatannya dengan ‘gaya warung kopi’ alias tidak formal. Semua itu ia lakukan secara pelan-pelan, hingga akhirnya bisa diterima. Saat ini di Brau sudah ada 9 reaktor berukuran 6 m3 dan satu lainnya berukuran 12 m3. Sekarang pun warga sudah mulai sadar sehingga banyak sekali yang mengajukan dibuatkan reaktor. Bahkan warga rela meski harus membayar dengan cara mengangsur. Justru kini Yuli dan teman-teman di Yabule yang kewalahan sebab mereka pun masih berusaha mencari dana bantuan agar masyarakat tidak terlalu berat. Selama ini masyarakat memang hanya menanggung setengahnya, sisanya pihak Yabule yang mencarikan dari berbagai lembaga termasuk BUMN Jasa Tirta yang pernah menyumbang tiga reaktor, dan juga patungan dari sesama teman-teman Yabule.

Reaktor itu sendiri memang bukan buatan Yabule. Untuk satu reaktor berukuran 6 m3 harga sekaligus pemasangannya sekitar Rp 10 juta, dan bisa digunakan untuk dua rumah, di mana masing-masing rumah bisa memakai pagi-siang-sore/malam selama 3 jam. Setiap pagi, peternak mengumpulkan kotoran sapi kemudian memasukkannya ke dalam lubang mirip sumur kecil. Kotoran tersebut lalu dicampur dengan air dengan perbandingan 1 banding 1. Di atas sumur tersebut ada semacam pengaduk yang fungsinya mirip seperti mixer untuk mengaduk kotoran sapi supaya benar-benar hancur. Setelah itu, melalui saluran yang sudah ada, kotoran dimasukkan ke dalam reaktor yang berupa bejana atau tabung yang ditanam dalam tanah. Tabung tersebut hampa udara dan ada mikro organisme yang fungsinya mengubah gas metan menjadi energi. Dari bejana itu ada saluran pipa menuju dapur dan langsung disambungkan ke kompor masing-masing rumah. Sedang ampasnya (bio slurry) yang sudah tidak mengandung gas metan akan keluar dengan sendirinya di saluran yang berbeda. Sejak berdiri sampai sekarang, berarti Yabule sudah menyelamatkan ribuan kubik kotoran sapi yang berpotensi merusak lingkungan karena mengeluarkan gas metan.

Meski melakukan aktivitasnya di Brau, Yuli sendiri sebetulnya tidak tinggal di situ. Ia tinggal di Desa Ngaringan, Gandusari, Blitar, Jawa Timur. Jaraknya sekitar 50 kilometer dari Brau. Minimal dua kali seminggu ia ke Brau menggunakan motor. Kalau tidak ada kegiatan khusus atau sekedar mendampingi warga, biasanya ia berangkat pagi pulang sore. Tetapi, kalau ada acara yang mengharuskannya menginap, ia pun terpaksa menginap.

Yuli adalah tamatan Universitas Brawijaya, Malang. Saat menjadi mahasiswa, ia aktif di Ikatan Mahasiswa Pecinta Alam (Impala) Universitas Brawijaya. Setelah tamat, menikah dan punya seorang anak, ia sempat terbentur keadaan ekonomi sehingga terpaksa menjadi TKW ke Taiwan. Sepulang dari Taiwan, ia hamil lagi dan melahirkan anak kedua. Setelah itu kembali lagi ke Taiwan dan pulang lagi kemudian menyusul hamil anak ketiga. Setelah itu, ia pun masih harus kembali bekerja di luar negeri, tapi kali ini ke Hong Kong. Jadi bila ditotal, ia menjadi TKW selama 13 tahun dan baru pulang pada tahun 2013 lalu. Setelah di rumah, teman-teman di Impala lalu memintanya agar ia tak kembali lagi ke Hong Kong dan menawarkan untuk bergabung dengan Yabule. Setelah sepakat akhirnya Yuli pun bersedia hingga akhirnya menemukan Dusun Brau sebagai salah satu lokasi konservasinya.

Menempuh perjalanan mondar-mandir Blitar-Malang dengan melewati medan yang cukup menantang memang cukup berat. Namun Yuli tetap melakukannya dengan penuh semangat. Di awal-awal memang ada materi yang ia dapatkan dari sana, tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Ia benar-benar menjadi relawan. Namun dengan jujur Yuli mengakui, meski tidak mendapatkan materi, ia sangat bahagia karena bisa berbagi pengetahuan dengan masyarakat tentang bagaimana cara menjaga lingkungan. Lagipula, tambahnya, masyarakat Brau juga begitu baik menerimanya, jadi secara batin mereka sudah sangat dekat. Bila Yuli tidak datang karena sakit misalnya, bapak-bapak warga Dusun Brau bisa berbondong-bondong naik motor menjenguknya ke rumah di Blitar. Demikian pula bila tahu bahwa ia tidak bisa pulang atau harus menginap di Brau. Biasanya para bapak-bapak itu akan langsung kumpul ramai-ramai di rumah kepala desa, tempatnya menginap. Di sana mereka bisa bebas ngobrol sambil ngopi membahas banyak hal. Dari situlah juga Yuli bisa menggali apa saja yang menjadi keinginan mereka yang kira-kira bisa diwujudkan. Dan bagi Yuli momen seperti itu membahagiakan sekali.

Sementara untuk memenuhi kebutuhan keluarga, saat ini Yuli punya usaha kecil-kecilan. Di halaman rumahnya yang cukup luas, ia beternak lele. Sang suami, Supardiono Eko Budoyo, yang menjalankannya. Bila mengulik tentang masa lalunya yang pernah meninggalkan anak-anak saat menjadi TKW, Yuli mengaku tentu ada masa-masa di mana hatinya benar-benar terasa pedih. Apalagi saat itu anak-anaknya masih sangat butuh pelukan ibunya. Namun, semua itu memang harus ia lakukan karena keadaan. Maka sekarang ini, ia pun berusaha memanfaatkan waktunya semaksimal mungkin untuk keluarga demi menebus masa-masa di mana ia pernah berpisah dengan mereka.

Anak pertamanya, Rilly Putri Wantati, dulu sempat menjadi pramugari di sebuah maskapai tetapi sekarang alih profesi menjadi entertainer di Jakarta. Sedang anak kedua dan ketiga, Agung Rahmadya dan Elvira Bekti Kirana, masih duduk di bangku sekolah. Yuli sendiri tidak bisa menentukan sampai kapan ia akan mendampingi masyarakat Dusun Brau, karena ia memang sudah terlanjur cinta dengan daerah dan masyarakat di sana. 

3 komentar:

  1. Saya ingin berbagi cerita kepada anda bahwa dulunya saya ini cuma seorang.
    penjual es kuter kelilin tiap malam. pendapatannya tidak seberapa dan.
    tidak pernah cukup dalam kebutuhan keluarga saya,, suatu hari saya dapat.
    informasi dari teman bahwa AKY GENDENG bisa memberikan angka ritual/goib.100% tembus.
    akhirnya saya ikuti 4D nya dan alhamdulillah memanG bener-bener terbukti tembus.
    saya sangat berterimakasih banyak kpd AKY GENDENG.atas bantuan AKY saya sekarang.
    sudah bisa mencukupi kebutuhan keluarga saya bahkan saya juga sudah buka.
    usaha matrial dan butik pakaian muslim.
    Jika anda mau buktikan
    silahkan bergabun sama AKY GENDENG
    Di:
    No: tlp.0853-1089--8585
    Saya sudah buktikan benar2 tembus 3x permainan

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Terima kasih sudah memuat informasi tentang Dusun Brau dan program pembangunan Biogasnya, informasi terbaru dari Brau saat ini sedang membangun program Ekowisata, Wisata Alam berbasis Masyarakat.

    Puncak Pandawa, bukit di ketinggian 1000 mdpl yang lokasinya tidak jauh dari dusun Brau, dari puncaknya pemandangan kota Batu dan gunung terlihat elok menawan baik saat malam hari atau waktu favorit saat terbit matahari atau sunrise.

    Mari berkunjung ke dusun Brau, belajar bersama warga tentang Biogas, pengolahan Susu Sapi sekaligus berwisata alam. detail info bisa dilihat di lestari dot org

    BalasHapus