Sabtu, 02 April 2016




Ibu tiga anak ini memiliki tugas berat dan profesi yang jarang dilakoni perempuan pada umumnya. Dialah Endang Istriningsih, Kepala Kantor Pemadam Kebakaran (Damkar) Wonogiri. Hebatnya, perempuan kelahiran Surakarta 19 Desember 1958 ini justru memajukan Damkar lewat hobi seninya. Tak ayal, banyak prestasi yang diraih atas kesuksesannya menjadi pemimpin untuk menanggulangi bencana kebakaran di kota Wonogiri.

Endang sendiri mengaku sebenarnya tidak pernah membayangkan bisa bergabung dengan tim Damkar, karena amat jauh sekali dengan minatnya di bidang seni dan tari. Tapi setelah menjalani masa tugasnya di Damkar ini, ternyata ia merasa di sinilah pekerjaan yang paling bisa dinikmati hingga nanti pensiun. Sebelumnya, Endang bertugas selama 22 tahun di Kantor Pembangunan Desa. Kemudian dipindah ke Inspektorat atau dulu yang dikenal sebagai Badang Pengawas selama 5 tahun, sejak 2003 hingga 2008. Selain itu ia juga pernah mencicipi kurang dari 2 tahun berada di Dinas Olahraga dan Pariwisata Budaya. Di sini sebetulnya ia seperti mendapatkan angin segar, karena mendapatkan beberapa kesempatan di bidang seni. Ia pernah ikut main sinetron, bermain ketoprak, mengikuti lomba putri lurik, sampai menjadi langganan sebagai juri dalam beberapa lomba seni dan budaya tingkat kabupaten.

Namun, saat sedang merasakan nikmatnya berada di dunia seni, ternyata ia diminta bertugas di Kantor Damkar. Hal ini tentu membuatnya kaget, bahkan juga teman-temannya, terutama yang tahu tentang prestasi di kegiatan seni dan tari yang ia tekuni. Tapi setelah dijalani banyak hikmah yang ia dapatkan. Ternyata, kantor Damkar pun juga butuh mendapatkan sentuhan seni melalui dirinya. Karena ia merasa, dibutuhkan keterampilan juga untuk membuat tim Damkar agar menjadi karyawan yang tangguh, cerdas, dan terampil. Tentu di awal tugas banyak sekali adaptasi yang harus ia hadapi. Contohnya, melihat tim yang hanya aktif saat bencana kebakaran terjadi, selebihnya mereka pasif. Di sinilah ia merasa butuh memberikan inovasi dan membuat program penanggulangan bencana.

Tentu prosesnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak kondisi yang Endang temui amat tidak mudah tetapi harus ia hadapi. Pertama, ia bagaikan berada di sarang penyamun, karena memang menjadi perempuan satu-satunya yang berada di Damkar. Ia yang dikenal cukup feminin, akrab dengan dunia seni tari yang lemah gemulai, tiba-tiba harus berhadapan dengan para maskulin dan tangki air. Namun hal ini tidak membuatnya gentar ataupun merasa lebih istimewa. Semuanya harus ia jalani secara profesional. Endang lalu mulai membuat beberapa program inovasi demi kemajuan tim Damkar. Salah satunya yang ia lakukan adalah mengajukan program penanggulangan bencana. Agar berpayung hukum dan aman tentu ia juga harus menyusun atau mengajukannya dalam peraturan daerah. Mulai mengajukan tahun 2009, dan baru disahkan tahun 2013. Hasilnya pun tak sia-sia. Ia bisa membuat banyak pelatihan dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya sadar bencana. Kemudian, ia juga membentuk satuan sukarelawan yang berjumlah kurang lebih 250 orang untuk ditempatkan di 25 kecamatan dan 43 kelurahan.

Sebelumnya ada pendekatan yang ia lakukan kepada tim Damkar. Pertama, ia harus mengenal semua anggota tim terlebih dahulu, kemudian ia juga rutin mengadakan rapat tiap bulan untuk mempresentasikan usulan-usulan kegiatan agar tim tidak jenuh di kantor. Beruntungnya, tim memberikan respons yang sangat positif dan selalu semangat saat melakukan aktivitas sosialisasi di luar kantor. Saat sosialisasi itulah Endang bisa menemukan banyak hal yang harus ia benahi. Misalnya, ia sempat setengah tak percaya saat berinteraksi dengan warga, ternyata banyak yang tidak tahu nomor kontak darurat untuk menghubungi Damkar. Selain itu, ada juga di antaranya yang masih takut dipungut biaya apabila menghubungi Damkar dan tidak tahu kalau layanan itu gratis atau tak dipungut biaya. Lalu ia juga menemukan bahwa tidak semua tim anggota Damkar memiliki mapping yang baik di 25 kecamatan. Bahkan ada yang sama sekali belum pernah mengunjungi beberapa kecamatan dan tidak tahu letak sumber air. Akhirnya Endang pun segera menjadwalkan mereka untuk mengenalkan diri ke 25 kecamatan secara bergantian dan keliling. Untungnya ia pernah berdinas selama 22 tahun di kantor Pembangunan Desa, sehingga 25 kecamatan itu ia tahu betul bagaimana kondisi dan potensinya. Agar tim semakin solid, Endang lalu mengajak mereka mengunjungi tempat wisata terdekat setelah sosialisasi dan memberikan semangat agar tim semakin termotivasi untuk lebih mengenal daerah-daerah yang ada.


Hingga saat ini sosialiasi dan edukasi masyarakat sadar bencana masih terus ditingkatkan. Dan hasilnya sudah banyak kemajuan. Kini masyarakat mau terlibat dalam penanggulangan bencana kebakaran dengan menggunakan alat tradisional yang mereka bisa manfaatkan sambil menunggu kedatangan para tim Damkar. Tak hanya masyarakat yang akhirnya sadar akan bencana, perkantoran dan perusahaan hingga rumah sakit pun ikut menjadi target sasaran sosialisasi. Hal ini juga sudah tertuang di Perda. Di sana Damkar wajib mengawasi dan mengontrol tabung pemadam yang ada apakah layak atau tidak, juga mengadakan pelatihan dan simulasi. Sekarang ini permintaan untuk ikut pelatihan tersebut bahkan sudah antri agar mendapatkan sertifikasi.

Selama bertugas di Damkar, Endang bercerita tentu banyak menemukan pengalaman yang tak bisa dilupakan. Misalnya ketika ada kebakaran di tengah kota dan api sudah menyala di tiga rumah. Saat ia turun ke lapangan, tentu ada teknis dan strategi, mana yang diprioritaskan agar api bisa cepat dipadamkan. Namun saat itu semua korban justru heboh memintanya untuk mendahulukan rumahnya masing-masing. Endang pun harus tetap tegas, karena bila tidak akan semakin banyak korban kebakaran. Tentu saat itu ada yang marah-marah, tetapi ia berusaha memahami bahwa mereka memang tengah panik dan kalut. Keesokan harinya, Endang mendatangi para korban itu untuk memberikan penjelasan mengenai kondisi dan strategi yang harus dilakukan. Kemudian ia juga memberikan dukungan dan empati agar mereka tabah menghadapi bencana kebakaran yang tengah dialami.


Selama bertugas di Damkar tentu banyak suka duka yang Endang alami. Dukanya adalah, ketika di awal banyak yang meragukan kemampuannya karena dirinya seorang perempuan. Apalagi Wonogiri memiliki tingkat rawan bencana kebakaran yang cukup tinggi sehingga timnya harus terus standby. Saat musim kekeringan dan kemarau panjang misalnya, dalam satu hari saja bisa dua kali terjadi kebakaran hutan. Endang bahkan sampai terkena paru-paru basah karena selalu bertemankan dengan asap dan debu, meski kini sudah masa pemulihan dan tinggal kontrol saja. Sementara sukanya, di sini ia bisa berekspresi lewat dunia yang jauh berbeda dari yang ia geluti sebelumnya. Di sini pula Endang bisa mengejar prestasi dan melejit namanya karena semakin mudah dikenal. Dari semua dinas yang ada yang pernah ia masuki, entah mengapa Endang mengaku betul-betul bersyukur pernah berada di posisi yang sekarang karena bisa belajar banyak. Apalagi pekerjaannya ini sifatnya bisa menyelamatkan hidup orang lain dan menolong orang lain.

Masih ada beberapa program yang ingin terus Endang lakukan di Damkar ini. Saat ini ia masih terus menyasar teman-temannya di Dinas Kehutanan dan Babinsa supaya bisa ikut terlibat dan membantu tim Damkar. Agar semua pihak bisa saling bersinergi dan tidak hanya menunggu petugas pemadam kebakaran saat terjadi musibah, maka tentu lebih baik apabila semua elemen bisa ikut membantu. Itulah mengapa sosialisasi itu sangat penting bagi Endang. Masyarakat memang harus dilibatkan, karena ia dan timnya mungkin tidak bisa naik ke hutan, tetapi masyarakat yang akrab dengan hutan dapat membantu. Sementara untuk kebutuhan alatnya, biar jadi tugas tim Damkar yang menunjukkan dan mengajarkan. Endang pun juga harus mengejar SPM (Standar Pelayanan Minimal) yang memiliki rumus. Misalnya, untuk mendapatkan jumlah mobil pemadam, dimulai dengan menghitung jumlah penduduk dibagi 30 ribu. Dan untuk mendapatkan jumlah petugas pemadam yang dibutuhkan, rumus menghitungnya adalah jumlah penduduk dibagi 5 ribu jiwa. Semua itu masih terus ia kejar. Endang juga masih berharap Damkar ke depannya sudah tidak berupa UPT dan di bawah Dinas PU lagi. Bahkan kalau bisa punya kantor sendiri, dan punya UPT-UPT sendiri, jadi tidak hanya punya pos wilayah saja, supaya geraknya bisa lebih luas. Namun ini memang masih terkait dengan kebijakan daerah dan otonomi daerah.

Endang juga bersyukur pekerjaannya ini mendapatkan dukungan dari keluarganya. Ketiga anaknya sudah paham dengan aktifitas ibunya yang memang dikenal tidak bisa diam, dan mereka pun siap menjadi teman diskusi untuk Endang kapan saja. Saat ini Endang hanya tinggal satu kota dengan anak keduanya, Yoanna Dewi Listria Sari, sehingga mereka sering menghabiskan waktu bersama. Sementara anak pertamanya, Ayiep Doni Listria Sakti, berada di Bandung dan biasanya mereka bergantian untuk saling mengunjungi. Lalu yang bungsu, Hengki Listria Adi, saat ini tinggal di Surabaya.

Di luar pekerjaannya di Damkar, Endang juga menekuni beberapa bisnis. Karena menurutnya sebagai seorang perempuan juga harus produktif, mandiri, dan bisa membantu ekonomi keluarga. Sejak tahun 2003 ia menekuni bisnis salon dan rias pengantin. Ini karena dulu ibunya memang seorang perias, maka tak heran bila sejak kecil ia pun sudah akrab bermain dengan makeup. Saat ini ia hanya bisa mengekspresikan passion-nya untuk merias hanya di hari Sabtu dan Minggu saja. Kemudian ia juga punya bisnis konveksi yang baru ditekuni sejak 2013. Menurutnya lagi, berbisnis itu tidak hanya untuk diri sendiri, maka dengan membuka usaha konveksi ini ia bisa memberikan lapangan pekerjaan kepada orang lain. Saat ini Endang sudah memiliki kontrak dengan beberapa sekolah dan dipercaya untuk mengerjakan seragam sekolah. Untungnya di bisnis ini semuanya sudah terstruktur dan ada bagiannya, jadi ia tidak terlalu repot dan hanya memantau saja. Sedangkan untuk usaha rias pengantin, memang harus ia sendiri yang turun tangan. Dan kini Endang juga sedang berminat untuk mendirikan bisnis EO.

Endang sadar, masa tugasnya di Damkar hampir habis, maka ia ingin meninggalkan kesan dan program yang tentunya bisa dilanjutkan oleh penerusnya. Impian ke depannya, bila sudah purna tugas, sepertinya ia akan lebih banyak menghabiskan waktu di salon dan lebih banyak merias. Karena ini memang hobi yang sudah sejak kecil ia minati. Selain itu ia juga jadi bisa lebih fokus mengembangkan bisnis konveksi dan EO yang akan dirintis. Prinsipnya, di manapun dirinya berpijak, ia hanya ingin bisa terus produktif dan mengekspresikan kemampuan diri tanpa ada batasan umur. Dan tentu saja, ia juga ingin bisa menikmati waktu bersama keluarga lebih banyak.  

0 komentar:

Posting Komentar