Kamis, 10 Maret 2016



Pada mulanya, orangtua menyarankan dirinya menekuni ilmu ekonomi. Namun kesukaannya akan beladiri malah memberi pilihan yang lebih menarik baginya, dengan menjadi sutradara film di Hollywood. Livi Zheng, gadis kelahiran Blitar, Jawa Timur, 3 April 1989 ini adalah sutradara muda yang sempat menjadi buah bibir karena karya perdananya, Brush with Danger produksi Sun and Moon Films, menjadi salah satu judul film yang masuk daftar pilih Academy Award ke 87 (Oscar 2015). Lulusan sekolah seni sinematik di University of Southern California ini pun menginginkan kelak bisa membuat film internasional yang mengambil lokasi di Indonesia.

Kecintaannya pada Tanah Air sebenarnya sudah ia tuangkan dalam film karyanya, Brush with Danger, yakni dengan memasukkan unsur suara gamelan sebagai latar musik. Film tersebut menjadi film perdananya yang ia bintangi bersama sang adik, Ken Zheng. Siapa sangka film yang bercerita tentang kakak beradik yang datang ke Amerika Serikat sebagai imigran gelap dan berusaha bertahan hidup itu dinyatakan layak masuk daftar pilih untuk Academy Award ke 87 (Oscar 2015) bersama 322 film dari 40 ribu film produksi Amerika, di antaranya The Hobbit, Interstellar, Transformers: Age of Extinction.


Menghasilkan sebuah karya film yang masuk dalam nominasi Oscar, menurut Livi banyak tantangannya. Livi bercerita, untuk membuat filmnya bisa masuk bioskop di Amerika itu cukup sulit, karena harus melawan film-film lokal yang pemain dan film maker-nya sudah senior. Dan memang, tidak semua film yang diproduksi di sana bisa masuk bioskop, sementara untuk bisa masuk Oscar, setidaknya film itu harus sudah tayang di bioskop dulu. Setelah itu barulah pihak yang membawahi Oscar mengundang film-film yang sudah masuk bioskop itu, untuk mereka masukkan ke ajang Academy Award.

Setelah debut film laga Brush with Danger yang disutradarainya itu mendapat sambutan hangat di Amerika, tentu saja banyak peluang yang menghampiri Livi. Sebulan setelah film itu tayang di bioskop Amerika, ia mendapat kiriman script yang jumlahnya sampai 800 buah. Produser dan kru film pun juga berdatangan. Sebelumnya, hal yang demikian sangat sulit bagi pemula di industri film Hollywood. Bagi Livi, kesuksesan itu datangnya dari kerja keras, barulah setelah itu diikuti dengan keberuntungan. Sebaliknya kalau kita kerja malas, maka keberuntungan pun tidak mungkin datang. Karena sebuah keberhasilan juga tidak mungkin diraih secara instan.


Anak kedua dari tiga bersaudara ini, mengawali karirnya di dunia film sebagai stunt person bersertifikat dan produser. Saat hendak menjadi sutradara, Livi sempat mempunyai tiga hal yang membuat pelaku industri film di Hollywood mengerutkan dahi, yakni : Asia, perempuan, dan muda. Namun kerutan dahi itu dihadapi Livi dengan keyakinan dan kegigihan, seperti yang ia praktikkan dalam seni bela diri yang diajarkan ayahnya dan dicintainya sejak kecil. Karena kecintaannya pada bela diri ini, setelah lulus dari SMP Pelita Harapan, Jakarta, Livi berangkat ke Beijing pada usia 15 tahun bersama Ken yang berusia 9 tahun, untuk berlatih di Shi Cha Hai Sports School, tempat yang sama di mana bintang laga Jet Li dulu berlatih Wushu.

Tinggal di apartemen bersama adiknya, di sana Livi melanjutkan sekolah SMA nya di Western Academy of Beijing. Hidup terpisah dari orangtua mengajarkannya kemandirian dan disiplin ketat. Lucunya, Livi bercerita, ketika kali pertama mendarat di Beijing dan selama sekolah di sana, ia dan adiknya tidak tahu dan paham dengan bahasa Mandarin. Bahkan mereka berdua sempat membiarkan listrik di apartemennya padam, karena bingung bagaimana cara membayar tagihan bulanannya. Yang jelas, selama di sana segala kebutuhan ia urus berdua dengan adiknya. Selepas SMA di Beijing, Livi ke Amerika Serikat untuk kuliah ekonomi di University of Washington-Seattle. Ia berhasil menyelesaikan pendidikannya di sana selama tiga tahun dengan predikat excellence dan masuk International Honors Society in Economics. Alasannya memilih jurusan Ekonomi saat itu adalah, karena kemungkinan untuk berkariernya lebih luas.


Sambil kuliah, di sana Livi juga aktif bertanding sebagai atlet wushu, karate, dan taekwondo. Sebagai atlet, ia telah mendapat lebih dari 26 medali dan trofi untuk pertandingan antar klub, antar kota, antar negara bagian, dan tingkat nasional di Amerika Serikat. Namun Livi menyadari, sejak awal passion-nya berada di film. Saat sekolah ekonomi, ia juga sempat mengambil kursus film dan banyak membantu di set/lokasi film. Livi kemudian sadar, bahwa karier di film itu tidak bisa dilakukan secara part time. Ia harus memilih, apakah melanjutkan berkarier di bidang ekonomi, atau terjun ke industri film. Akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke film, karena di film ini dia sangat mencintai dunianya, bukan sekedar menyukainya saja. Livi pun lantas segera mengambil master tentang produksi film di University of Southern California (USC).

Selain memiliki fasilitas yang komplit dan dosen-dosen yang berpengalaman, Livi mengetahui pula bahwa tokoh film idolanya, Bruce Lee, juga menimba ilmu di USC. Bahkan Livi mengaku, ia pernah melakoni pekerjaan sebagai aktris, sutradara dan penulis skenario sekaligus, didasarkan atas kecintaannya pada aktor kawakan serba bisa itu. Menurut Livi, Bruce Lee adalah pionir untuk orang Asia yang masuk ke industri film di Hollywood. Untuk itulah, Livi bercita-cita dirinya bisa menjadi wanita Asia yang menjadi pionir di industri perfilman Hollywood, yang bisa mengerjakan tiga pekerjaan sekaligus, yakni sebagai pemain, sutradara, dan penulis cerita, seperti halnya yang pernah dilakukan Bruce Lee. Livi ingin bisa seperti sosok Bruce Lee yang bisa mengerjakan segalanya. Dan apa pun peran yang dimainkan selalu menampilkan yang terbaik.


Di universitas itu, sebelum melahirkan film perdananya, Livi langsung dihadapkan pada tantangan paling sulit untuk membuat film di Amerika, yaitu mengumpulkan tim profesional, terutama yang mau percaya dengan passion-nya. Banyak yang bertanya, film apa yang hendak dibuat Livi ? Untung saja saat itu skenarionya sudah selesai. Ujian selanjutnya adalah saat hendak syuting di Seattle. Ia harus meminta izin keramaian pada penduduk tempat di mana lokasi syuting dilakukan. Paling tidak, harus ada 75 persen tanda tangan warga yang mengizinkan syuting di lokasi itu.

Singkat cerita, ketika kru berhasil didapatkan dan restu penduduk telah dikantongi, maka proses produksi pun bisa dimulai. Lucunya, karena sebagai sutradara, ia juga merangkap sebagai pemain, maka ia harus cepat berlari ke teve monitor begitu adegan yang dilakukannya berakhir, untuk menyaksikan akting pemain yang lain. Karena cukup repot mendobel pekerjaan sebagai sutradara sekaligus pemain itulah, di film selanjutnya Livi memilih bertindak sebagai sutradara saja. Livi mengaku, berhasil membuat film, yang sepengakuannya mendapatkan sambutan positif publik di Amerika Serikat, karena dukungan eksekutif produsernya dan stunt coordinator senior di sana yang bernama David Bousheg. Dialah, menurut Livi, yang  mengkoordinasi sejumlah stunt man dan pernah membantu 8 peraih piala Oscar. Film Brush with Danger sudah diputar di sejumlah kota di Amerika Serikat, seperti New York, LA, Dallas, San Francisco, Ohio, dan beberapa kota besar lainnya.


Sampai sekarang Livi memang belum tahu pasti berapa banyak jumlah penontonnya, tapi film perdananya itu berhasil bertahan dua bulan penayangan. Merasa berhasil di Amerika, Livi pun masih bercita-cita untuk pulang ke Indonesia dan membuat film di Indonesia. Apalagi ia sudah beberapa kali mengajak eksekutif produsernya ke Indonesia, dan beliau sangat tertarik dengan beberapa lanskap di Indonesia untuk dijadikan latar cerita film. Dan, meski cukup lama menjalani kehidupan di Beijing dan Amerika Serikat, Livi mengaku tetap mencintai tanah kelahirannya. Oleh sebab itu tidak pernah terpikir sedikit pun baginya untuk mengganti kewarga negaraan. Ia akan selamanya tetap menjadi WNI. Livi pun masih menyukai beberapa makanan Indonesia, seperti abon, nastar, rawon, dan durian. Setiap hari ia juga masih makan nasi. Kalau orangtuanya sedang mengunjunginya, pasti sang ibu akan memasak rawon segantong, lalu disimpan di freezer. Hingga, sampai sebulan setelah orangtuanya balik ke Indonesia, ia masih bisa merasakan makanan yang enak khas Indonesia. 

0 komentar:

Posting Komentar