Menyerap ilmu
pertanian secara otodidak, perempuan kelahiran Garut, 23 Februari 1972 ini bahu
membahu bersama sang suami mendirikan Pesantren Ath Thariq, sebuah pesantren
berkonsep ekologi. Di sini, selain belajar mengaji, para santri juga belajar
cara bertani organik dengan memelihara berbagai habitat di dalamnya untuk
menjaga ekosistem. Misalnya kunang-kunang atau capung. Mungkin bagi masyarakat
yang tinggal di lingkungan kota besar seperti Jakarta, kedua serangga ini sudah
jarang ditemukan. Namun, di Pesantren Ath Thaariq, yang kerap disebut Pesantren
Alam, Pesantren Kebun Sawah, atau Pesantren Ekologi, kunang-kunang, capung, dan
kupu-kupu masih bisa dengan mudah ditemukan. Kehadiran mereka memang begitu
penting karena menunjukkan bahwa pertanian di sana dikelola dengan benar, dan
daerahnya sehat.
Nissa sendiri
dulunya adalah seorang aktivis, yang hampir 20 tahun bergabung di Serikat
Petani Pasundan, sebuah lembaga advokasi yang bergerak di bidang penyelesaian
sengketa tanah. Dari pengalamannya di sana, Nissa menemukan bahwa hampir
sebagian besar petani atau sistem pertanian di Indonesia tidak melakukan tata
produksi secara benar. Dari referensi dan pengalaman bergaul dengan para petani
itulah, ia lantas memutuskan membuat sebuah sekolah berbentuk pesantren, namun
pesantren ini harus berbeda dari pesantren lainnya.
Nissa
berpikir, sebenarnya sejak dulu negara kita adalah negara agraria, tetapi
sekarang ini sudah meninggalkan sifat agrarisnya dan tengah memasuki tahap
industrial, yang menurutnya sangat rawan. Banyak terjadi alih fungsi lahan
untuk dijadikan pemukiman dan pabrik. Padahal, tanah dan iklim kita sangat
bagus untuk pertanian. Jadi, pendirian pesantren ini sebetulnya juga merupakan
otokritiknya terhadap sistem pertanian di Indonesia dan juga lembaga pendidikan
yang ada. Ia menginginkan anak-anak di pesantrennya ini bisa menjaga hubungan
baik dengan Tuhan, dengan sesama, dan juga dengan alam.
Nissa juga
merasa banyak aspek pendidikan yang juga hilang dewasa ini. Anak-anak saat ini
sudah tidak lagi mengenal tanah dan keanekaragaman hayati. Mereka tidak tahu
lagi seperti apa tanaman wortel, kenikir, dan lain-lain. Dan, itulah yang akan
diperkenalkan Nissa di pesantren yang dibangunnya, dengan membuat sistem pertanian
berbasis agroekologi yang memperhatikan ekosistem. Dilihatnya, hasil pertanian
kita sekarang ini sangat kacau karena siklus ekosistemnya terganggu. Sekarang
ini, sudah tidak ditemui lagi burung elang, ular, atau ulat di lahan pertanian.
Padahal mereka ini adalah sebuah ekosistem yang saling melindungi. Nissa pun
berusaha memperbaiki siklus itu. Contohnya, dengan menyediakan ‘rumah-rumah’
untuk ular, yaitu semak-semak dan sebagainya.
Tepat di tahun 2009, Pesantren Ath Thaariq pun berdiri dengan konsep yang kekeluargaan. Di sini para santri tinggal di pesantren dan tidak ada gap antara kyai dan santri. Mereka menyatu dengan para pengurus sebagai sebuah keluarga. Lewat cara itu, Nissa ingin memperlihatkan sebuah penggabungan sistem pertanian dan pendidikan pada sebuah keluarga. Ia menyebutnya keluarga agraria. Di sini para penghuni pesantren bersama-sama menjaga ekologi dengan kajian ilmu agama sebagai pijakan. Mereka bertani menggunakan cara yang kuno dan tradisional, karena model pertanian tersebutlah yang mampu menjaga lingkungan, ekologi, dan hubungan manusia dengan alam.
Banyak
kegiatan yang dilakukan di pesantren ini. Salah satunya, setiap hari Minggu
para santri diajak bertani berbagai jenis pangan untuk memenuhi kebutuhan
pangan seluruh anggota keluarga pesantren. Lahan seluas 7500 m2 yang ada
dimanfaatkan menjadi beberapa zona, antara lain zona sawah, zona kolam ikan,
kebun tanaman pangan, tanaman obat, seed
drier, peternakan dan pembenihan. Di zona kolam ikan misalnya, kolam akan
dibersihkan dengan tanaman penyerap air alami seperti rumput paris. Itu untuk
menyaring air supaya bersih dan bebas dari kandungan kimia. Hasilnya, mereka
pun mampu mendapatkan ikan organik yang bisa dimakan dengan aman. Hal ini juga
berarti telah melakukan proses rehabilitasi air, yakni memperbaiki air dari
paparan bahan kimia. Dan ini adalah bagian dari agroekologi. Contoh lain, kawasan
pesantren ini juga menjadi rumah bagi burung. Para santri yang masih anak-anak
pun jadi lebih mengenal hewan unggas ini. Selain itu juga menjadi rumah
kupu-kupu. Perlu diketahui, kupu-kupu adalah salah satu indikator terkecil
bahwa pertanian yang ada di situ dikelola secara benar, sama seperti
kunang-kunang dan capung tadi. Di sini ulat tidak dibunuh tapi dibiarkan
menjadi kepompong dan kemudian menjadi kupu-kupu, tanpa menganggu tanaman lain.
Seluruh
tanaman yang ditanam di pesantren ini dipilih tanaman lokal, bukan tanaman
hibrida, dengan memakai benih Open
Pollinated Organis Seed (OPOS) yang sangat mempertimbangkan keterjagaan
ekosistem, sebagai bentuk ketundukan terhadap alam semesta. Selama ini mereka
telah berhasil mengumpulkan 45 benih lokal, dengan lebih dari 400 jenis
tanaman. Maka keanekaragaman pangan di pesantren ini bisa dibilang cukup,
termasuk tanaman obatnya. Dari pertanian yang sangat sederhana itu, pesantren
akhirnya berhasil mempunyai perpustakaan benih, perpustakaan herbal,
perpustakaan tepung, dan lainnya. Para santri kini juga terbiasa mengkonsumsi
umbi-umbian, pisang, dan pangan selain nasi untuk memenuhi kebutuhan
karbohidrat. Mereka juga mengkonsumsi sayur-sayuran yang mereka tanam di kebun
sendiri.
Seluruh hasil
pertanian di lahan pesantren memang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
pangan keluarga pesantren. Jika hasil panen berlimpah, baru kemudian dijual
untuk menumbuhkan kehidupan perekonomian pesantren. Nissa menilai bahwa konsep
pertanian yang baik itu seharusnya memang mengutamakan kebutuhan pangan sendiri
terlebih dahulu sebelum kemudian berpikir untuk menjual hasil pertanian
tersebut. Maka, pesantren ini pun akan memenuhi dulu kebutuhan akan nutrisi,
vitamin, karbohidrat, dan sayurannya. Hasil yang ada akan diamankan dulu, kalau
berlebih baru dikeluarkan. Jadi, kalau bicara soal ketahanan pangan mereka
sudah unggul. Memang masih ada beberapa yang belum diunggulkan, misalnya garam
dan minyak goreng, karena belum bisa membuat sendiri. Begitupula dengan gas
elpiji, meskipun saat ini mereka sedang menginisiasi sekam dari kotoran kuda,
yang ke depannya diharapkan bisa menjadi energi alternatif.
Para santri yang berasal dari warga sekitar, banyak yang merupakan anak dari keluarga petani yang sudah bergaul lama dengan Nissa. Mereka sangat welcome dengan kehadiran Pesantren Ath Thaariq. Secara formal, para santri ini juga bersekolah di sekolah umum, namun pulangnya mereka ke pesantren. Di pesantren, setelah pulang sekolah, makan, dan istirahat, mereka mengaji seperti biasa dan usai itu langsung bertani di kebun pukul 17.00. Tentu setiap hari juga ada bagian piketnya. Pesantren Ath Thaariq identik pula dengan pesantren perempuan karena banyaknya santri perempuan yang belajar di sini. Yang jadi masalah adalah, saat ini jumlah santri sedang menurun karena masih ada yang menganggap pesantren pertanian ini tidak keren, dibandingkan sekolah yang lain. Lagipula, sebetulnya tak seorang pun petani yang menginginkan anaknya juga menjadi petani. Mereka selalu menginginkan anaknya menjadi PNS, pegawai bank, dan sebagainya. Tantangan itu kemudian berusaha Nissa jawab dengan mengupayakan agar anak-anak santri itu bisa mendapatkan insentif. Bahwa dengan bersekolah di sini, mereka bisa juga mendapatkan uang dengan cara bertani yang benar.
Para santri di
pesantren ini akan dibimbing untuk berwirausaha. Salah satunya dengan menjual
benih lokal. Misalnya, mereka menanam 50 pohon jagung, yang mana dalam satu
pohon biasanya ada sekitar 3-4 buah jagung. Dari sana, 1 jagung yang paling
bagus akan dibiarkan untuk menjadi benih, 2 lainnya diambil untuk dimakan. Dari
1 jagung yang bagus tadi bisa menjadi sekian ribu benih. Bila dijual, satu
bungkus yang isinya 500 biji benih, seharga Rp 12.500. Tak hanya jagung, banyak
lagi yang lain seperti sorgum, rosella, seledri, ketumbar, dan sebagainya.
Benih-benih lokal itu memang gampang sekali ditanam dan dirawat. Mereka tidak
perlu beradaptasi lagi karena sudah tumbuh di habitas aslinya. Iklimnya pun kondusif, begitu pun dengan
cuacanya. Ada pula tanaman obat yang dijual dalam bentuk rajangan. Di sebutnya
Teh Nusantara, yang terdiri dari 15 jenis. Salah satu contoh, daun bambu muda
yang bisa jadi obat antikolesterol. Daun itu dikeringkan, lalu dirajang, dan
dijual dengan harga Rp 12.500. Proses pembuatannya dikerjakan sendiri oleh para
santri karena memang tidak repot. Contoh lainnya adalah, empon-empon seperti
temulawak. Prosesnya juga sama, tinggal dirajang kecil-kecil dan dikeringkan,
lalu dijual. Untuk penjualan mereka telah bekerja sama dengan lapak organik di
Jakarta. Mereka memang selalu mencari teknologi yang tidak rumit, tidak banyak
mengeluarkan tenaga tetapi menghasilkan.
Dalam
keseharian pun, pesantren ini juga menerapkan gaya hidup organik. Misalnya,
para santri wanita tidak memakai pembalut busa, tetapi pembalut kain. Kebetulan,
mereka juga memang tidak suka dengan pembalut busa karena tidak sehat dan
gatal. Selain itu para santri juga harus memisahkan sampah organik dan
anorganik. Sampah itu dikumpulkan lalu diolah. Yang organik dimasukkan ke tong
sampah. Setelah membusuk, kemudian disimpan di pinggir sawah untuk menjadi
pupuk. Untuk sampah anorganik, dibakar atau dimasukkan ke bawah tanah. Sampah
anorganik pun tidak banyak jumlahnya, seminggu paling hanya terkumpul dua dus.
Sehari-hari mereka juga tidak memakai tas plastik, tidak makan mi instan,
kecuali kalau pas ada yang mengirim atau kepepet sekali. Untuk makan siang dan
makan malam, ada petugas piket yang tugasnya mengambil bahan makanan di kebun
sayuran. Sementara stok beras organik mereka punya cukup. Mereka juga sangat
menjaga kesehatan. Jadi tidak boleh memakai handuk sama-sama, harus punya
piring dan gelas sendiri. Obat-obatan pun juga memakai yang alami.
Cita-cita
Nissa berikutnya adalah ingin mempunyai sekolah formal dengan kurikulum
agroekologi dan wirausaha. Apalagi di catatannya, jarang sekali ada isu
lingkungan yang bisa dijual, terutama produknya. Tapi ternyata di Pesantren Ath
Thaariq ini Nissa bisa melakukannya. Nissa sendiri berasal dari keluarga guru. Suaminya,
Ibang Lukmanuruddin juga berasal dari pesantren. Jadi ia dan sang suami memang
dilahirkan dari keluarga pengajar. Mereka dipertemukan di sebuah organisasi
tani setelah keluar SMA, yaitu Serikat Petani Pasundan. Setelah menikah, kini
mereka dikaruniai 3 anak, 2 putri dan satu putra. Selain mengurus pesantrennya,
Nissa juga sering diminta menjadi narasumber untuk berbagi pengalaman, termasuk
memberikan pendidikan tentang agroekologi.
0 komentar:
Posting Komentar