Minggu, 22 November 2015




Pengalaman membantu TKI yang bermasalah di negeri orang membuat Maizidah Salas mendirikan Kampung Buruh Migran. Ia ingin mengajari para mantan TKI supaya bisa mandiri dan tidak kembali bekerja di luar negeri karena sudah memiliki usaha sendiri. Sukses dengan usahanya, Maizidah pun kini kerap diminta untuk menjadi motivator bagi buruh migran di berbagai daerah.

Maizidah bercerita, ada dua penyebab mengapa ia pernah menjadi TKI, yakni masalah ekonomi dan juga untuk mengobati luka hatinya. Saat kelas 1 SMA, ia mengaku pernah diperkosa oleh seniornya saat sedang mengikuti kegiatan pramuka di sekolah. Saking stresnya dengan pengalaman pahit itu, ia sampai tak mau sekolah lagi dengan alasan sakit. Sampai-sampai wali kelasnya datang ke rumahnya untuk membujuknya agar mau sekolah lagi. Terlebih, meski baru duduk di kelas satu, Maizidah sudah berprestasi di kejuaraan voli dan MTQ tingkat provinsi. Namun, ketika ia kembali berani sekolah, ternyata banyak teman-teman dan guru yang mencibirnya soal keadaan dirinya yang sudah tidak gadis lagi. Maizidah pun makin down hingga betul-betul tak mau sekolah lagi.

Sampai akhirnya keluarga mengetahui pengalaman buruk yang menimpa Maizidah di tahun 1992 itu, dan meminta si pemerkosa untuk menikahinya. Namun, menikah dengan seniornya itu, ternyata malah menjadi neraka kedua bagi kehidupan Maizidah. Selama menikah, ia selalu disiksa, seperti dijambak, dibenturkan ke tembok, ditendang, dan diludahi. Saat ia hamil pun, siksaan itu tak berhenti, bahkan sampai si anak lahir. Sang suami juga tak pernah menafkahi dirinya. Tapi Maizidah masih mencoba bertahan untuk tidak minta cerai, walau sang suami sempat pergi meninggalkannya selama 15 bulan tanpa kabar. Hingga suatu hari, ia mendengar kabar bahwa suaminya sudah tinggal di Jakarta bersama perempuan lain. Kenyataan itu membuat Maizidah tambah stress bahkan sampai sakit dan dirawat di rumah sakit. Sepulang dari rumah sakit, ia pun berpikir sepertinya harus keluar dari kampungnya di Wonosobo, Jawa Tengah, untuk melupakan semua peristiwa pahit dalam hidupnya. Kalau tidak, ia akan terus memikirkan masalah itu. Ditambah lagi, ia juga harus bisa menafkahi anaknya.

Maizidah akhirnya memutuskan menjadi TKI ke Korea pada 1996. Modalnya ia dapatkan dengan berhutang ke bidan desa. Ketika sudah berada enam bulan di Korea, kakaknya memberi kabar bahwa ia sudah dicerai oleh suaminya, karena perempuan yang tinggal bersamanya sudah hamil besar dan minta pertanggung jawaban. Detik itu juga Maizidah merasa ia sudah menjadi perempuan yang merdeka, dan langsung sujud syukur. Tapi tak lama kemudian, ia kembali mendapatkan masalah di Korea. Saat tahun 1998, Korea terkena krisis ekonomi dunia, ia dan para TKI yang lain pun terkena imbasnya. Perusahaan tempatnya bekerja kolaps dan ia harus pindah. Tapi setelah beberapa kali pindah kerja dan akhirnya menganggur kembali, akhirnya ia dan para TKI yang lainnya pun harus mau dipulangkan.

Setahun setelah kembali ke rumah, Maizidah pun makin stress memikirkan siapa yang akan membiayai anaknya, statusnya yang janda, dan lainnya. Ia lantas meminta izin ke orangtua untuk merantau lagi. Apalagi, hutangnya pada bidan juga belum lunas. Orangtuanya mengizinkan, bahkan sampai menjual kebun agar ia bisa berangkat menjadi TKI ke Taiwan. Tapi saat di Jakarta, sebelum berangkat ke Taiwan, ia ditipu orang dan uang Rp 10 juta hasil jual kebun itu pun hilang. Sejatinya uang itu untuk mendaftar melamar kerja di pabrik di Taiwan. Karena tidak berani pulang takut dimarahi orangtuanya, Maizidah lalu pindah ke PJTKI untuk PRT, yang waktu itu, tahun 2001, biayanya masih cukup murah, hanya Rp 1.750.000. Namun pilihannya itu malah mengantarkannya masuk ke neraka berikutnya. Selama tiga bulan berada di penampungan di Jakarta, ia dan calon TKI lainnya dilarang keluar dan menelepon. Tidur pun dilantai tanpa kasur dan bantal. Mereka juga disuruh membersihkan kantor PJTKI dan memasak.

Beberapa bulan setelah di penampungan, akhirnya ia berangkat juga ke Taiwan. Di sana ia dijanjikan untuk merawat seorang nenek yang buta. Tapi ternyata kenyataannya beda. Di rumah majikannya yang memiliki usaha rumah makan itu, ia malah disuruh bekerja penuh dari pukul 04.00 pagi hingga pukul 00.30 tengah malam. Dimulai dari membuat acar kol sebanyak 24 kg, yang membuat tangannya perih. Lalu mencuci usus babi 7 kg, menyangrai daging babi 4 kg, dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Ia juga tidak boleh libur, cuti, menerima gaji, atau bicara dengan orang lain selain keluarga majikan. Suatu hari, karena salah membaca soal penulisan resep, acar kol yang ia buat rasanya tidak karuan. Ia pun harus terima dimaki-maki oleh keluarga majikan dan juga agennya.

Pada bulan ke empat, ia dipindah ke majikan baru. Untungnya pasangan majikan yang tidak memiliki anak ini sangat baik. Tugasnya disana hanya bersih-bersih dan menjaga rumah. Maizidah merasa sangat disayang oleh majikannya yang baru ini. Tapi pada bulan ke empat berada di sana, ia dijemput lagi oleh agennya, karena majikan pertama tak bisa mengambil pembantu baru sebelum ia dipulangkan ke Indonesia. Maizidah berusaha menolak pulang. Dan, atas saran teman-teman sesama TKI ia pun melarikan diri dari kantor agen tanpa membawa apa pun. Sejak saat itu ia menjadi TKI ilegal. Selama seminggu ia menumpang tinggal di mess seorang teman. Ia juga berhutang ke temannya untuk membayar agen ilegal. Setelah mendapatkan pekerjaan kembali, sayangnya ia tak bisa menikmati gajinya karena diambil oleh agennya yang baru. Ia pun kembali melarikan diri dan mencari pekerjaan berikutnya. Beragam pekerjaan pernah Maizidah lakukan, mulai dari bekerja di panti jompo, menjaga lansia, bekerja di restoran, pabrik selimut, pengalengan jagung, dan pabrik VCD. Beruntung, setelah itu ia bisa mendapatkan pekerjaan di pabrik yang hasilnya lumayan. Maizidah lalu menyewa apartemen bersama teman sedesanya yang dulu juga pernah sama-sama tertipu, dan sama-sama bekerja di pabrik. Pada saat itulah, ia teringat kembali akan nasib teman-teman TKI lain di Taiwan yang kurang beruntung. Akhirnya,  apartemen yang ia sewa bersama temannya itu pun ia gunakan untuk menampung teman-teman TKI yang sedang kena masalah. 

Karena apartemennya hanya punya satu kamar, maka ia hanya bisa menampung 1-5 orang. Maizidah juga memberi mereka makan, mencarikan pekerjaan, dan sedikit uang. Meski hanya bisa membantu sedikit, tapi ia senang. Dari situ, Maizidah melihat, banyak pula TKI resmi yang bermasalah. Ada TKI yang mengalami kecelakaan tapi didiamkan saja. Maizidah lalu membawanya ke rumah sakit, memberinya makan dan baju, yang semuanya berasal dari gajinya. Selama empat tahun ia bekerja secara illegal di Taiwan, dan bisa dibilang ia tak mempunyai uang karena habis untuk membantu teman-teman sesama TKI dan dirinya sendiri. Hingga pada suatu hari, ia dijebak oleh polisi yang mengaku calon majikannya. Maizidah pun ditangkap dan harus di sel selama 16 hari lalu dideportasi ke Indonesia. Maizidah pun harus pulang ke Wonosobo dengan perasaan malu karena tidak mempunyai uang. Lalu ia meminjam sertifikat rumah ayahnya untuk mengajukan pinjaman KUR sebesar Rp 5 juta, yang akan ia gunakan untuk membuka usaha counter pulsa.

Waktu itu, sempat pula ia nyaris tergiur ajakan calo-calo yang mengajaknya lagi menjadi TKI. Tapi ia ingat dengan niatnya yang harus melakukan sesuatu seperti yang ia lakukan di Taiwan. Ketika ngobrol dengan teman-teman sekampung yang sama-sama mantan buruh migran, ternyata banyak pula yang memiliki masalah. Akhirnya bersama teman-temannya itu, ia pun membentuk Solidaritas Perempuan Migran Wonosobo (SPMW), dan ia pula yang ditunjuk sebagai ketuanya. Tapi karena waktu itu kegiatan mereka hanya kumpul-kumpul saja, dari 16 orang anggota, akhirnya hanya tersisa 6 orang yang aktif. Lalu Maizidah mengusulkan untuk diadakan arisan dengan mengajak semua anggota termasuk yang sudah tidak aktif. Awalnya, biaya setoran hanya Rp 5000. Namun, makin lama peminatnya makin banyak sehingga dibuatlah beberapa kelompok. Jumlah total pesertanya 229 orang, yang semuanya adalah mantan TKI yang bermasalah. Organisasi itu kemudian diberi nama Kampung Buruh Migran, yang diresmikan oleh Kepala BNP2TKI, Jumhur Hidayat. Dan saat itu, itulah satu-satunya Kampung Buruh Migran di Indonesia yang aktivitasnya dari mantan buruh migran untuk mantan buruh migran dan keluarganya.

Di organisasi itu, Maizidah memberikan pendampingan pada setiap kelompok. Semua anggotanya merupakan korban trafficking buruh migran dan 90 persennya adalah perempuan. Awal mendirikan SPMW, ia belum tahu bagaimana mendampingi banyaknya kasus. Maizidah lalu belajar ke Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) pusat di Jakarta. Sepulangnya dari Jakarta, SPMW berhasil melebur ke SBMI dengan menjadi SBMI DPC Wonosobo. Dan lagi-lagi Maizidah yang dipilih menjadi ketua. Tahun 2008 ia pun berhak untuk mengikuti kongres SBMI di NTB. Pasca kongres, ia diminta bekerja di kantor pusat sebagai ketua divisi pengembangan ekonomi tingkat nasional untuk komunitas buruh migran. Belajar dari pengalaman sebagai perempuan tak berpendidikan serta tak punya keberanian, Maizidah lalu meneruskan sekolah di Kejar Paket C di Jakarta. Setelah lulus, ia kuliah di Universitas Bung Karno, Jakarta, Jurusan Hukum Perdata atas bantuan dana dari teman-teman, termasuk yang sekarang menjadi suaminya. Karena di SBMI memang tidak ada gaji, murni kerja sosial. Oktober 2014 Maizidah pun berhasil diwisuda.

Maizidah menceritakan, saat awal mendirikan Kampung Buruh Migran, banyak suami yang melarang istrinya untuk ikut kegiatan di sana. Tapi sekarang kondisinya sudah terbalik, saat si istri tidak bisa hadir, suaminya justru yang mewakili. Kini para mantan buruh migran yang tadinya hanya lebih banyak diam di rumah, terpuruk, dan menjadi ibu rumah tangga biasa, sekarang jadi berkegiatan, menghasilkan secara ekonomi, dan melupakan pengalaman pahitnya. Kampung tempat Maizidah tinggal memang menjadi salah satu kantong buruh migran karena banyaknya mantan TKI yang berasal dari sana. Dan Maizidah ingin memunculkan citra yang positif dari keberadaan buruh migran.
Untuk kelompok korban trafficking, biasanya sebulan sekali diadakan diskusi atau sharing, misalnya program dari pemerintah, pelatihan, simpan pinjam, laporan keuangan dari usaha-usaha kelompok.


Sekarang ini Kampung Buruh Migran mempunyai 31 kelompok yang masing-masing terdiri dari 15-26 anggota, tersebar di 3 kecamatan di Wonosobo. Setiap kelompok itu kini sudah mempunyai usaha sendiri. Ada yang berbisnis kambing, pisang Cavendish, toko sembako, dan sebagainya. Kampung Buruh Migran pun juga telah dijadikan proyek percontohan komunitas buruh migran di berbagai daerah, termasuk yang dibentuk BNP2TKI, antara lain di Malang, Banyuwangi, Lampung, dan Sukabumi. Maizidah memang ingin bisa mengaplikasikannya di beberapa daerah yang belum memiliki SBMI. Ia berharap Kampung Buruh Migran bisa diaplikasikan di kantong-kantong buruh migran secara mandiri sebagai hal yang positif dan menjadi inisiatif mantan buruh migran atau keluarganya agar imej mereka tidak selalu buruk. Kampung Buruh Migran ini pun awalnya terbentuk atas inisiatif sendiri dan dibiayai sendiri. Setelah mandiri, pemerintah kemudian membantu memberikan pelatihan keterampilan dan program yang bisa dikerjakan bersama.

Kegiatan Kampung Buruh Migran juga Maizidah sebar lewat sosial media, termasuk blog, Twitter, dan Facebook, sehingga banyak orang yang akhirnya tahu. Saat ini Kampung Buruh Migran kerap menjadi tujuan bagi orang-orang yang mengadakan riset atau skripsi, baik mahasiswa lokal maupun luar negeri, di antaranya dari UGM, Unes, UNS, UIN, dan mahasiswa yang datang dari universitas di Prancis, Portugal, Amerika, dan sebagainya. Kira-kira ada sekitar 20 negara yang sudah datang.

Selain menjadi Ketua SBMI DPC Wonosobo, Maizidah juga aktif menjadi pembicara di pelatihan berbagai daerah. Bahkan ia menjadi satu dari 20 master trainer, dari 420 trainer yang dilatih ILO. Di sana ia berada di antara dosen dan profesi lainnya, hanya dirinya sendiri yang satu-satunya mantan buruh migran. Sekarang ia banyak mengajarkan pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS, migrasi yang aman, dan pelatihan manajemen kewirausahaan. Beberapa waktu lalu, Maizidah juga menjadi salah satu pemenang Kartini Next Generation Award 2015 yang diadakan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk kategori Pemberdayaan Perempuan. Tahun 2012, ia juga mendapat penghargaan dari Universitas Indonesia, dan masih ada beberapa penghargaan yang lain. Bersama beberapa LSM lain, ia juga pernah ikut workshop membuat draft untuk revisi UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI.

Maizidah bersyukur mendapat dukungan penuh dari suaminya. Suaminya  yang juga mantan buruh migran, sekarang bekerja sebagai fotografer untuk perhotelan. Harapan Maizidah kepada para buruh migran, sebaiknya sebelum berangkat harus mempunyai skill yang cukup dan siap mental. Dan harus tetap ingat, bahwa suatu saat mereka akan kembali lagi ke Indonesia. Jadi jangan menghambur-hamburkan uang selama berada di negeri orang. Selain itu mereka juga harus tahu betul hak dan kewajibannya.    






1 komentar:

  1. Saya ingin sekali minta alamat dan no tlpon anda ibu salas...
    saya ingin mnceritakan kasus adik prempuan saya yg menjadi tkw di malaysia yang gak di gaji 7 blan oleh majikan nya

    BalasHapus