Jumat, 25 September 2015



 
foto : dok Liputan 6
Pengalaman menjadi korban eksploitasi dan kekerasan di usia anak-anak amat membekas bagi ibu tiga anak ini. Namun, hal itu justru menginspirasinya untuk berbuat sebaliknya. Yuliati senang berkumpul dengan anak-anak jalanan, bahkan rela ikut ‘menggelandang’ di depan pertokoan. Ia merasakan ada kebahagiaan luar biasa ketika berkumpul bersama mereka. Kini, melalui Yayasan Alit yang didirikannya, ia memberdayakan anak-anak dari kalangan marjinal itu menjadi lebih terampil di berbagai bidang, termasuk sukses menjadi atlit. Motivasinya mendirikan Yayasan Alit adalah sebagai bentuk pengobat hatinya. Ia memang punya pengalaman masa lalu yang menyakitkan dan tak ingin ini terjadi pada anak-anak yang lain. Yuliati ingin semua anak mendapat perlakuan yang baik dari orangtua maupun lingkungannya, sehingga mereka bisa tumbuh dan berkembang dengan baik.

Yuliati adalah anak keempat dari lima bersaudara. Mendiang ayahnya, M. Solihan Manan, adalah seorang guru besar di Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya (sekarang Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya) Ibunya, Siti Mahilah meninggal tahun 1982 ketika usianya masih 7 tahun. Setahun setelah ibunya meninggal, ayahnya mengalami kebutaan karena glaukoma. Oleh Menteri Agama saat itu, Alamsyah Ratu Prawiranegara, ayahnya yang akhirnya menikah lagi, sempat dibawa berobat ke Jepang, tetapi tetap tidak berhasil.

Namun biarpun demikian, ayahnya masih menjadi dosen aktif. Akhirnya, sejak kelas 4 SD sampai duduk di bangku kuliah, Yuliati harus menjadi ‘mata’ ayahnya. Setiap hari selepas sholat Shubuh dan sore hari ia harus membacakan buku-buku literatur. Saat ia membaca, ayahnya mendengarkan. Lalu apa yang telah dibacanya itu akan menjadi bahan mengajar ayahnya di kampus. Buku yang ia bacakan itu bermacam-macam, mulai dari filsafat, sastra, novel, dan lain-lain. Jadi, sejak kecil otaknya memang sudah dipenuhi berbagai macam pengetahuan.

Saat itu, memang hanya Yuliati yang bisa membantu ayahnya, karena ia adalah satu-satunya anak perempuan, sementara kakak laki-lakinya selalu menghindar. Jadi, ia hanya berpikir bahwa jalan hidupnya memang seperti itu. Yuliati menceritakan, ayahnya adalah sosok yang sangat keras, demikian pula dengan ibu tirinya. Ia sering mendapat perlakuan sangat kasar baik secara fisik maupun verbal. Kalau ia melakukan kesalahan sedikit saja, ia langsung diusir, dimarahi dengan kalimat yang kasar bahkan terkadang ditempeleng. Sebagai anak yang setiap hari mendapat doktrin agama bahwa melawan orangtua adalah dosa, maka ia tidak berani berbuat apa-apa kecuali hanya diam meski itu sangat menyakitkan.

Keadaan seperti itu memang membuat Yuliati tidak bisa merasakan indahnya masa kanak-kanak seperti anak-anak lain yang bisa bermanja-manja dengan orangtua, atau bermain dengan teman sebaya. Pekerjaan sehari-harinya, pagi membacakan buku, kemudian sekolah, sorenya dilanjutkan lagi membacakan buku.  Bila main keluar sebentar saja ia sudah dicari, begitu seterusnya. Jadi setiap hari ia memang hidup selalu dalam tekanan. Tidak hanya membacakan buku, tapi Yuliati juga merangkap sebagai tukang ketik. Apa yang ayahnya bicarakan, kemudian langsung ia ketik menjadi sebuah makalah. Karena itu, sejak kelas 4 SD, ia sudah lancar mengetik dengan 10 jari. Semua aktivitas akademik itu ia yang membantu sampai akhirnya ayahnya menjadi guru besar.

Tapi derita masa lalu itu kini telah membuatnya memiliki banyak pengetahuan. Bahkan sampai saat ini pun ia tidak bisa tidur kalau tidak membaca buku terlebih dulu. Semua itu tak lepas dari kebiasaan masa lalunya. Namun menurut Yuliati, itu sebenarnya tidak boleh terjadi. Karena anak sebaiknya difasilitasi membaca buku sebanyak-banyaknya tetapi tidak dengan cara dipaksa seperti itu. Karena apa yang dialami Yuliati adalah bentuk dari eksploitasi, di mana ia selalu sambil dimarahi dan sebagainya. Dan trauma itu sampai sekarang tidak bisa hilang dari ingatannya. Sampai detik ini bahkan, kalau ia pulang ke rumah agak malam karena banyak pekerjaan di kantor, dalam perjalanan terkadang jantungnya mendadak deg-degan, takut jangan-jangan di depan rumah ia akan ditempeleng lagi, seperti ketika ia masih anak-anak atau remaja dulu.

Luka hati yang dialaminya memang sempat hanya ia simpan sendiri. Tetapi, setelah ayahnya meninggal tahun 2011, Yuliati mulai berani terbuka dan mau bercerita kepada orang lain. Tujuannya hanyalah satu, agar hal ini tidak menimpa anak lain sekaligus menjadi pelajaran bagi orangtua. Kedekatan Yuliati dengan anak jalanan dimulai ketika ia kuliah di Fisip Unair, Surabaya. Saat itu ia melakukan penelitian, salah satunya pada anak-anak jalanan di tempat pembuangan sampah Keputih, Surabaya. Topiknya adalah, “Kegiatan Belajar Efektif Tanpa Marah”. Hasil penelitiannya lalu ia ikutkan lomba dan berhasil menang.

Yuliati merasa ada kepuasan tersendiri ketika ia bisa berkumpul bersama para anak jalanan. Sebab, hidup mereka itu pada dasarnya tak beda jauh dengan apa yang pernah ia alami. Mereka juga banyak sekali yang mendapat kekerasan dari keluarganya. Kekerasan itu banyak ragamnya, mulai kekerasan fisik, kekerasan verbal, sampai kekerasan ekonomi karena mereka dieksploitasi untuk bekerja dan menghidupi keluarga. Kedekatannya dengan anak jalanan makin intens tahun 1998. Saat itu Yuliati sempat mengikuti aksi demo di depan Gedung Grahadi, Surabaya. Ia kebagian mengurusi logistik. Nah, saat sedang berjaga, setiap sore ada 10 atau 20 anak jalanan yang meminta nasi bungkus. Tentu saja ia kasih. Dan ini terjadi terus menerus sampai akhirnya ia jadi kenal dekat.

Sore atau malam harinya para anak jalanan itu berkumpul sambil tiduran di rumput di dekat taman kota. Mereka banyak yang curhat pada Yuliati, mulai dari persoalan keluarga, kekerasan yang mereka alami, sampai perilaku seks anak-anak ketika di jalanan. Secara jujur, Yuliati mengaku saat itu merasa kasihan dan jatuh hati kepada mereka. Ia merasa nasib mereka lebih berat dari yang pernah ia alami. Akhirnya, setiap hari ia selalu ikut kumpul dengan mereka di depan Tunjungan Plaza, Surabaya. Bahkan ia rela ikut menggelandang, termasuk makan nasi satu bungkus bersama mereka. Bisa dibayangkan, anak-anak jalanan itu kalau masuk ke dalam mal, untuk berjualan koran misalnya, pasti akan dikejar-kejar satpam. Kalau tertangkap, mereka akan dipukuli, ditendang, bahkan kadang juga disetrum. Mendengar itu Yuliati sampai menangis mendengarnya.

Belum lagi persoalan keluarganya. Misalnya anak yang berjualan koran, hidupnya pun dilematis. Sering tidak berani pulang ke rumah kalau korannya tidak laku. Mereka talut dimarahi orangtua karena tidak bisa memberi uang ke ibunya. Akhirnya, dengan penuh rasa cinta kasih, Yuliati pun berusaha menemani mereka. ia juga mengarahkan dan memberi harapan pada mereka soal hidup yang lebih baik. Para anak jalanan itu ia ajak berkarya membuat kue kemudian dijual, membuat kerajinan dari kertas koran, dan sebagainya. Nanti hasilnya dikembalikan lagi kepada mereka. Dan ternyata mereka pun bisa. Yuliati percaya Tuhan memang selalu punya cara untuk  membantu umatnya. Ia juga tidak pernah memberi anak-anak jalanan itu uang. Ia hanya memberi keterampilan sesuai keinginan dan kemampuan mereka.

Sejak sering menghabiskan waktu bersama anak jalanan, Yuliati pun jadi jarang pulang dan memilih bertempat tinggal di mana saja bersama anak-anak jalanan tersebut. Bahkan ia pernah menempati salah satu rumah kosong dan terpaksa mencuri aliran listrik sebagai penerangan. Sebetulnya, sang ayah sempat memintanya untuk melanjutkan kuliah di Michigan, USA, tetapi ia tidak tertarik. Baginya, untuk apa kuliah tinggi sementara banyak anak-anak di sekelilingnya yang menderita.

Lalu pada 1999 Yuliati mendirikan Yayasan Alit dan tinggal bersama anak-anak jalanan dengan mengontrak sebuah rumah di Jalan Kebangsren, Surabaya. Kemudian ia menikah dengan Gunardi Aswantoro, rekannya sesama aktivis meski berlainan bidang. Sejak mendirikan yayasan itu, anak-anak jalanan jadi makin nyaman bersamanya dan selalu berkumpul setelah mereka melakukan aktivitasnya masing-masing. Pekerjaan mereka macam-macam, ada yang berjualan koran, pengamen, semir sepatu, dan lain-lain. Setelah berjalan sekian tahun, Yayasan Alit pun makin berkembang. Saat ini Yayasan Alit sudah melebarkan sayapnya ke Jakarta dan Flores.
 
Showroom hasil kerajinan anak-anak Yayasan Akit di Royal Plaza Surabaya

Anak-anak yang semula hidup di jalanan kemudian diarahkan sesuai dengan bakatnya masing-masing, agar tidak mencari uang di jalanan lagi. Yayasan Alit memiliki shelter tempat berkumpul anak-anak itu sekaligus tempat mereka berkreasi. Dan Yuliati sangat bersyukur, kerajinan karya anak-anak itu seperti tatakan gelas, tempat tisu, bisa diekspor ke Venezuela, Jepang, dan lain-lain. Sedangkan yang ada di Jakarta, sebagian anak jalanan diarahkan ke dunia fashion. Kebetulan, instruktur yang saat ini mengajar anak-anak tersebut adalah transgender yang dulunya pengamen jalanan di Jakarta, namun punya keterampilan di bidang fashion. Ada juga yang punya kemampuan di bidang olahraga atletik, pun turut diarahkan. Pelatihnya adalah anak-anak mantan juara nasional atletik yang dipulangkan karena cedera. Sekarang sudah ada 30 atlit yang berada di bawah naungan Yayasan Alit, sebagian telah berhasil menjadi juara tingkat provinsi maupun Kodya Surabaya.

Untuk mengelola yayasan sekaligus membantu anak-anak jalanan itu, kebetulan Yuliati banyak mendapat pekerjaan dari berbagai lembaga nasional maupun internasional untuk urusan anak-anak. Contohnya, melakukan kerjasama dengan sebuah NGO dari Jerman. Biasanya ia juga melibatkan anak-anak yang berada di Yayasan Alit ke dalam proyek yang sedang ia kerjakan.


Meski punya pengalaman masa kecil yang kurang baik, dalam kehidupan pribadinya saat ini, Yuliati berjuang keras untuk tidak melakukan kekerasan kepada anak-anaknya, Slamet Santoso, Mohamad Ranau, maupun Mohamad Ranah. Demikian pula dengan anak-anak jalanan yang lain. Ia juga tidak melakukan perbuatan menyimpang lainnya, misalnya seks bebas, narkoba, minum-minuman keras, dan lain-lainnya. Ia memperlakukan ke ketiga anaknya seperti seorang sahabat. Ketiga anaknya pun sering curhat padanya, dan juga Yuliati ajak ikut terlibat di Yayasan Alit. Sementara suaminya, yang pekerjaannya tak jauh beda dengan dirinya sebagai aktivis, bekerja di LSM yang lebih banyak mengurusi soal pertanian. Selain aktif di LSM, suaminya juga memiliki pekerjaan sesuai profesinya. Jadi, bila di proyek tujuan bekerjanya untuk mencari uang, sedangkan bagian sosialnya ketika terjun di LSM.

1 komentar:

  1. saya bisa minta kontak person nya? Saya pribadi tertarik utk membagi ilmu saya di bidang multimedia utk pendidikan Dan pengembangan anak" jalanan, trimakasih

    BalasHapus