Meski berskala
lokal, kiprah perempuan kelahiran 11 April 1970 ini sungguh luar biasa. Sehari-hari
ibu 3 anak ini sibuk mengkoordinir kegiatan-kegiatan yang digerakkan oleh PKK
di lingkungan tempat tinggalnya, RW 009 Kelurahan Semper Barat, Cilincing,
Jakarta Utara. Misalnya, Posyandu balita, Posyandu lansia, kelas ibu hamil,
kelompok pendukung Pemberian Makanan Bayi dan Anak, kegiatan marawis, bank
sampah, dan lainnya. Semua kegiatan tersebut mempunyai porsi yang sama. Jumlah
warga di RW-nya sendiri ada seitar 4.000an jiwa yang berada di 16 RT. Respons warga pun cukup bagus.
Mereka menyambut baik semua kegiatan tersebut. Ini terlihat dari banyaknya
warga yang berpartisipasi dalam program-program yang diadakan.
Widowati mulai
aktif terjun di kegiatan sosial sejak suaminya, Nanang Suwardi, terpilih
menjadi ketua RW tahun 2008 lalu. Otomatis, ia pun menjadi Ketua Tim PKK RW.
Sebetulnya, waktu itu sudah ada kegiatan, seperti Posyandu balita yang memiliki
3 pos. Kemudian Wati, biasa ia disapa, mencoba mensinergikan dengan kegiatan
lain yang turut melibatkan kader Posyandu, khususnya kegiatan-kegiatan yang
menyangkut kesehatan. Salah satunya kelas ibu hamil yang diselenggarakan setiap
bulan secara bergantian. Misalnya, bulan ini diadakan di pos Posyandu balita 1,
dan berikutnya diadakan di posyandu 2 dan 3. Kelas ibu hamil ini diadakan 2
kali dalam sebulan. Agar berjalan lancar, Wati pun bekerja sama dengan pihak
Puskesmas atau bidan di wilayahnya, karena kegiatan ini memang harus melibatkan
fasilitas kesehatan.
Biasanya, ibu
hami kalau datang ke Puskesmas hanya diperiksa saja, tapi tidak mendapatkan
pembekalan yang cukup tentang kehamilan dan persalinan. Oleh karena itu, di
kelas ibu hamil yang diadakan ini, mereka bisa sharing, berkonsultasi dan belajar secara berkala dengan materi
yang sudah disiapkan. Ada 8 materi sebagai bekal ibu hamil agar lebih siap
menghadapi kehamilan, persalinan dan merawat bayi yang baik dan benar.
Kedelapan materi itu antara lain perawatan kehamilan, persiapan persalinan,
bahaya kehamilan, IMD dan ASI Eksklusif, KB, penyakit menular, akta kelahiran,
dan juga senam kehamilan. Sebelumnya kader-kader Posyandu yang terlibat di kegiatan
ini sudah dibekali untuk mendalami 8 materi tersebut agar bisa menjelaskan ke
peserta ibu hamil. Tetapi memang tidak semua materi bisa dijelaskan oleh kader
Posyandu. Bila ada yang berkaitan dengan tindakan-tindakan medis, walau mereka
juga paham, tapi itu sudah masuk ranah Puskesmas untuk menjelaskannya. Karena
bila yang menjelaskannya langsung dari tenaga fasilitas kesehatan, para peserta
tentu lebih yakin.
Sebetulnya,
kelas ibu hamil yang diadakan ini bukan menitikberatkan pada pemeriksaan
kesehatan ibu hamil, tetapi lebih ke pembekalan agar mereka siap menghadapi
kehamilan, persalinan, serta perawatan bayi dan anak. Bila ada ibu hamil yang
bermasalah, biasanya pihak Puskesmas akan langsung merujuk ke layanan
kesehatan. Di setiap pertemuan kelas ibu hamil, petugas Puskesmas pun pasti
hadir. Dalam satu angkatan kelas ibu hamil ada 4 kali pertemuan, masing-masing
2 materi setiap pertemuan, jadi total ada 8 materi. Paling sedikit pesertanya 3
orang, sementara paling banyak pernah sampai 15 peserta. Setelah mengikuti 8
materi itu, maka peserta dinyatakan lulus. Setelah melahirkan, mereka pun terus
dipantau, apakah mengikuti Inisiasi Menyusui Dini (IMD) juga ? Dengan begini bisa
diketahui apakah mereka menjalankan pembekalan yang sudah diberikan. Jika iya,
maka akan diberikan album 1000 hari pertama sebagai tanda lulus sekaligus
kenang-kenangan.
Dampak dari
kelas ibu hamil ini adalah meningkatnya pengetahuan ibu-ibu dan keluarga
tentang kesehatan ibu dan bayi. Ibu hamil jadi lebih siap menjalankan kehamilan
dan persalinannya, keluarga juga lebih terlibat memberikan pendampingan dalam
setiap momen/proses ibu hamil, seperti periksa kehamilan dan melahirkan di
tenaga kesehatan, juga IMD. IMD memang termasuk salah satu materi yang
diharapkan diikuti usai melahirkan. Dan hasilnya memang lumayan, 80% ibu hamil
yang mengikuti kelas ibu hamil mau melakukan IMD. Kebanyakan yang tidak IMD
adalah mereka yang mengalami masalah serius, misalnya dalam kondisi tidak sadar
usai melahirkan. Sebelumnya, mereka memang sudah diberi pembekalan bahwa di RS,
berhak meminta IMD ke dokter.
Sementara
untuk yang terputus program pemberian ASI-nya, diadakan kelompok pendukung Pemberian
Makanan Bayi dan Anak (PMBA). Jadi, begitu kelas ibu hamil selesai, mereka bisa
langsung mengikuti kelas PMBA. Di kelas tersebut dibagi menjadi 2 kelompok.
Kelompok pertama untuk bayi yang masih ASI eksklusif, tujuannya memberikan
dukungan bagi ibu-ibu supaya ASI Eksklusifnya tidak putus. Biasanya akan
dihadirkan tenaga dari Puskesmas dan sharing,
misalnya bagaimana supaya ASI lancar dan pemberian ASI Eksklusif tidak
terhenti. Bahkan, kadang solusi ini juga bisa diberikan oleh ibu-ibu lain yang
pernah mengalami hal serupa. Misalnya, kasus ASI yang tidak banyak keluar, ibu
lain yang sudah mengikuti kelas ibu hamil tahu jawabannya.
Kelompok kedua
adalah untuk bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun, masih ASI tapi sudah diberikan
makanan pendamping. Di kelompok ini peserta bisa sharing misalnya soal porsi makan yang tepat bagi bayi dan anak.
Lalu juga dibuat program makan bersama dengan
porsi, tekstur, dan menu yang sesuai dengan usia dan kebutuhan.
Harapannya, agar anak tidak asal makan, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan dan
usia anak agar tidak terjadi kekurangan gizi. Usia 0-2 tahun adalah proses
pembentukan otak yang tidak bisa digantikan setelah usia 2 tahun. Ini
berhubungan ke 1000 hari pertama kehidupan anak. Ada juga pemberian makanan,
agar para ibu bisa kembali ke makanan lokal yang dibuat sendiri yang tentu saja
lebih terjamin daripada makanan instan. Makanan lokal misalnya nasi, sayur
mayur, singkong, dan lain-lain. Wati menambahkan, RW-nya juga mempunyai kebun
gizi. Kebetulan, ada lahan milik warga yang boleh digunakan. Di sana lalu
ditanami berbagai sayuran dan tanaman bergizi seperti bayam, jagung, labu,
tomat, cabe, sawi, dan sebagainya. Saat panen, hasilnya bisa dibagi-bagikan ke
warga.
Lalu untuk
bank sampah mulai ada sejak tahun 2008. Waktu itu sampah memang menjadi masalah
utama lingkungan. Yang sulit adalah mengubah pola pikir terhadap warga yang
suka buang sampah sembarangan. Awalnya, dibuat tong sampah yang dicat dan
dihias sampai bagus, kemudian diberikan gratis ke warga. Tetapi, tetap saja ada
warga yang membuang sampah sembarangan. Akhirnya, dicobalah dengan membuat bank
sampah. Bank sampah ini dikelola pengurus RW dengan melibatkan warga.
Prinsipnya, bila ingin mengubah sesuatu memang harus dimulai dari para ibunya
dahulu. Pasalnya, yang sering berada di rumah itu memang para ibu. Pertama,
setiap warga diberikan 2 karung sampah basah dan sampah kering. Sampah-sampah
itu kemudian diambil oleh teller
keliling, lalu didata. Para ibu yang menyerahkan sampah itu kemudian dicatat
sebagai nasabah bank sampah. Setelah itu dijadwalkan seminggu 3 kali
pengambilan sampah. Sampah-sampah itu lalu dipisahkan, sampah basah dibuat
kompos, sementara sampah kering dijual ke pabrik atau dibuat produk hasil daur
ulang seperti tas. Intinya, tabungan sampah itu dikelola dan dijadikan uang.
Untuk
dijadikan tas, cara membuatnya cukup mudah. Sampah kering dicacah kecil-kecil
seperti serpihan, kemudian dibungkus dengan kain organdi, lalu dijahit sesuai
pola. Selain proses pembuatannya lebih cepat, hitung-hitungan ekonomisnya juga
masih masuk. Satu tas yang bentuknya cukup bagus itu dihargai rata-rata Rp
150.000, tergantung modelnya. Tanpa disadari, usaha ini warga sendirilah yang
memberikan modalnya. Sementara tim PKK yang mengelolanya. Sampah yang ditabung
tadi pun bisa diuangkan kapan saja. Warga juga bisa meminjam uang di bank
sampah untuk berbagai keperluan, dan membayarnya juga memakai sampah. Misalnya,
bila meminjam uang Rp 300.000, maka pembayarannya dipotong dari tabungan sampah
mereka.
Pengelola bank
sampah sudah punya hitung-hitungannya. Misalnya, untuk sampah kering campuran,
istilahnya satu gabruk, satu kilogramnya dihargai Rp 1500. Sementara sampah
basah tidak dihargai, karena pihak bank sampah hanya membantu membuangnya
dengan menjadikan kompos. Warga boleh mengambil kompos itu secara gratis. Dari
kegiatan ini yang ingin diubah adalah pola pikir warga bahwa sampah itu
sebetulnya bisa menjadi uang, dengan demikian maka tidak ada lagi warga yang membuang sampah sembarangan.
Bahkan saat ini, petugas bank sampah tidak perlu mengambil sampah dari warga
lagi, karena wargalah yang mengantarkannya sendiri.
Sekarang bank
sampah di lingkungan tempat Wati tinggal sudah menjadi percontohan nasional dan
sudah dikunjungi berbagai pihak, antara lain perwakilan 34 provinsi di
Indonesia, ada pula dari Jepang, Kosta Rika, serta diliput berbagai media
nasional dan internasional seperti TV Al Jazeera. Wati sendiri akan terus
berusaha mencoba menjalani perannya sebagai Ketua PKK di lingkungannya sebaik
mungkin.
0 komentar:
Posting Komentar