Senin, 23 Juni 2014




Menjadi seorang peneliti membuat Fenny merasa lebih ‘hidup’. Selama 10 tahun, ia asyik mengutak-atik gen pisang agar menghasilkan varietas yang berkualitas. Ia tergabung dalam proyek riset antar benua dan bermimpi suatu saat bisa membuat tanaman pisang hasil rekayasa genetika. Selain menjadi peneliti, kegiatan Fenny yang lain adalah mengajar di Sekolah Ilmu & Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung. Bidang keahliannya adalah Genetika dan Biologi Molekuler. Ia juga melakukan pengabdian di luar kampus, seperti membuat pelatihan, space research bersama LAPAN, membantu bidang biologi di beberapa perusahaan, dan menjadi juri di berbagai lomba. Salah satunya, dalam kompetisi For Women in Science tingkat nasional yang diadakan oleh L’Oreal dan UNESCO sejak 2010.

Alasan memilih pisang sebagai objek penelitiannya didasarkan pada keluarganya yang memang senang buah, terutama pisang. Kemudian berdasarkan penelusurannya, Fenny menemukan fakta bahwa ternyata Indonesia adalah pusat keaneka ragaman pisang dunia. Ada sekitar 1.500 jenis pisang, dan yang baru teridentifikasi sekitar 200 jenis. Semua peneliti pisang dari luar negeri sering dibuat terkagum-kagum kalau datang ke Indonesia.

Fenny memulai penelitiannya setelah menyelesaikan pendidikan S3 di bidang Biologi Molekuler di The University of Melbourne tahun 2004. Saat pulang ke Bandung, ia sering melihat penjaja pisang keliling yang kualitas pisangnya jelek sekali. Permukaan kulitnya lebam dan hitam. Fenny berpikir, bagaimana caranya supaya kulit pisang itu bisa bagus, seperti antiaging untuk manusia. Ia membandingkan dengan pisang impor yang dijual di supermarket yang bentuknya bagus, dengan kulit yang mulus, meski rasanya sebetulnya lebih enak pisang lokal.

Di Bandung pun juga banyak perusahaan bakery yang menggunakan bahan baku pisang, salah satunya untuk molen. Masalahnya, perusahaan-perusahaan tersebut membutuhkan 6 ton pisang per minggu, dan yang sering terjadi jumlah 6 ton itu terbuang percuma karena pisangnya terlalu matang dan rusak. Mereka sering bingung dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Sampai kemudian mereka meminta tolong pada Fenny untuk bisa meningkatkan kualitas pisang lokal.

Fenny pun meneliti tentang proses pematangan pisang, mulai dari gen pisang hingga penyimpanan buah pisang. Ia mencari faktor apa saja yang bisa menyebabkan buah itu bisa cepat rusak atau matang. Dan ternyata, masalahnya sangat kompleks. Pertama, soal gen. Pisang mengandung hormon etilen (berbentuk gas) yang mempengaruhi proses pematangannya. Ketika pisang dipetik dari pohon dalam kondisi masih hijau, akan tetap bisa matang. Dan proses pematangan ini tidak bisa berhenti meski pisang dimasukkan dalam lemari es. Fenny lalu meredam kerja hormon etilen pada pisang dengan cara memodifikasi gen-gen yang berperan dalam produksi etilen.

Kedua, soal penyimpanan. Berawal dari hulu ketika petani panen dan tidak tahu bagaimana menyimpannya agar tidak rusak. Akhirnya ditumpuk, tergencet, kena gores, dan sebagainya. Padahal kulit pisang kalau ‘terluka’ sedikit saja akan membuat buah cepat matang. Dan itu bisa menulari pisang lain yang disimpan bersamaan. Misalnya ada satu kontainer pisang yang masih setengah matang lalu dikasih satu tandan pisang yang matang, maka semuanya bisa tertular matang.

Fenny lalu berpikir harus ada teknologi untuk menyimpan pisang dengan aman. Teknologi itu harus murah agar bisa menjangkau petani-petani pisang yang ada di seluruh Indonesia. Akhirnya ia berkolaborasi dengan teman-teman fakultas lain di ITB, termasuk Fakultas Seni Rupa, untuk membuat packaging yang cocok untuk menyimpan pisang agar lebih tahan lama. Packaging ini terbuat dari bambu yang dikemas cantik, tidak pakai listrik, mudah dibawa dan disimpan, serta harganya terjangkau. Ukuran packaging juga beragam, mulai dari ukuran 1 sisir pisang, 5 kilo, 20 kilo dan seterusnya. Jadi bisa digunakan mulai dari skala rumah tangga, warung, penjual pisang keliling, petani pisang, toko buah, hingga industri. Untuk dana membuat packaging ia mendapat bantuan dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.




Setelah itu, Fenny mengedukasi masyarakat berkaitan dengan faktor-faktor yang menyebabkan pisang cepat matang. Ia terjung langsung ke pasar induk, ke tengkulak, dan ke petani-petani untuk melihat langsung bagaimana mereka menyimpan buah. Ternyata memang banyak yang belum paham. Lalu Fenny menerangkan dengan gambar sederhana agar lebih mudah dipahami. Ia juga membuat seminar buah lokal di ITB yang mengundang mulai dari perusahaan buah besar, KADIN, dan pedagang. Lalu perusahaan-perusahaan tersebut membuat iklan untuk mengedukasi para pedagang kecil dan kelompok taninya.

Selain kulit tergores, sebenarnya masih ada faktor lain yang menyebabkan pisang cepat matang. Jamur, virus, bakteri, suhu yang terlalu panas atau dingin, dan cahaya matahari juga dapat mempengaruhi cepat matangnya pisang. Jadi tempat penyimpanan pisang harus dibuat sejuk, tidak kena cahaya, dan kondisi pisang juga tidak terluka. Selain itu kulit pisang juga harus dibersihkan, sebab kotoran dapat merusak dinding kulit dan mempercepat pematangan.

Fenny fokus meneliti pisang-pisang yang fresh dimakan, seperti pisang ambon hijau (ambon lumut), pisang kuning cavendish, dan pisang emas. Ia berpikir ketiga jenis pisang itu yang paling banyak dikonsumsi. Dan jika masalah pisang ini bisa ditangani dengan baik, maka Indonesia tidak perlu impor pisang.

Sejak SMA Fenny memang sudah tertarik dengan Biologi. Baginya ilmu tersebut sangat menarik karena mengurusi soal mahluk hidup. Lalu saat menempuh pendidikan S1 dan S2 di ITB, ia juga mengambil bidang Biologi. Demikian pula ketika melanjutkan ke jenjang S3. Dan hingga kini, sudah lebih dari 10 tahun Fenny mengutak-atik gen pisang. Ia bahkan berkolaborasi dengan teman-teman dari negara lain dalam konsorsium pisang dunia untuk melakukan riset.

Ketika melakukan riset di Quensland University of Technology, Brisbane, Australia, Fenny sempat bertemu dengan seorang ahli pisang dunia yang menawarkannya bergabung dengan proyek riset antar benua (Asia, Afrika, Australia) tentang studi tanaman pisang. Tujuannya untuk menghasilkan varietas pisang yang tahan penyakit. Sebetulnya, pisang yang tahan penyakit di Indonesia jenisnya banyak, tapi tidak laku dijual karena rasanya tidak enak dan penampilannya jelek. Jadi, Fenny berpikir bagaimana caranya agar para peneliti bisa menghasilkan varietas pisang yang rasanya enak, penampilannya bagus dan tahan penyakit sehingga laku dijual.

Karena cukup lama fokus pada penelitian pisang, banyak orang-orang dari negara lain yang ingin meneliti pisang di benua Asia datang kepadanya. Bahkan ia sampai dijuluki Banana Lady. Dan, apa yang diperolehnya itu bukan diraih dalam satu-dua tahun. Baginya itu merupakan sebuah apresiasi. Jadi meskipun ada beberapa orang yang suka mencibir pekerjaannya, Fenny tetap jalan terus. Menjadi peneliti membuatnya merasa lebih ‘hidup’ dan enjoy. Ia tidak peduli meski orang bilang, menjadi peneliti itu tidak bisa membuat kaya, bergaji kecil, dan sebagainya.

Hasil penelitian Fenny pun sempat diganjar penghargaan For Women in Science International dari UNESCO dan L’Oreal International tahun 2007. Saat itu, hanya 15 orang perempuan peneliti dari seluruh dunia yang terpilih. Dan Fenny mewakili benua Asia Pasifik. Ia menerima award itu di Paris dan ditreat bagaikan artis Hollywood menerima Oscar. Perhelatan yang juga disebut Celebrity Science itu pun turut menyediakan bentangan karpet merah. Selain itu, perempuan kelahiran Bandung 18 April 1972 ini juga mendapat penghargaan For Women in Science Nasional dari Unesco dan L’Oreal Indonesia (2006), Hayati The Best Paper Award dari Hayati Journal of Bioscience (2009), Australia Award (Endeavour Research Award) dari Pemerintah Austarlia (2010), Schlumberger Faculty for The Future Award dari Schlumberger Foundation, Belanda (2011), The Asahi Glass Foundation Award (2012), Anugerah IPTEK-RISTEK untuk Wanita Peneliti Bidang Biologi Molekuler dari Pemerintah RI (2012), dan Satyalancana Karya Satya, dari Pemerintah RI.

Yang menakjubkan, Fenny juga sempat menyuplai buah ke luar angkasa. Berawal ketika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mendapat tawaran dari Asia Pasific Space Agency Forum untuk menggunakan laboratorium biologi milik Jepang yang ada di stasiun ruang angkasa. Fenny lalu membuat proposal yang bertema proses pematangan buah di luar angkasa. Riset tersebut bisa diaplikasikan untuk pertanian luar angkasa dan untuk suplai kebutuhan buah-buah segar para astronomi saat berada di ruang angkasa. Walaupun sebetulnya itu hanyalah ide ‘gila’ dirinya saja yang ingin mengirim pisang ambon ke luar angkasa, tapi ternyata proposalnya diterima. Bahkan dijadikan riset luar angkasa hasil kerja sama antara ITB, space agency di Jepang, dan LAPAN.

Ternyata sebelum ke luar angkasa, ia harus melalui serangkai penelitian yang panjang. Ia harus membuat ground based experiment, yaitu membuat simulasi kondisi luar angkasa dan melakukan eksperimen di sana. Artinya, ia harus bisa menciptakan ruangan yang bisa membuat pisang melayang-layang seperti di luar angkasa, seperti di NASA (National Aeronautics and Space Administration, space agency milik Amerika Serikat). Namun Fenny sadar semuanya itu membutuhkan biaya yang mahal sekali. Akhirnya, bersama tim peneliti yang lain, ia membuat alat yang lebih sederhana. Dengan alat tersebut pisang bisa dikondisikan melayang. Namun, sebetulnya Fenny sedikit kecewa karena akhirnya pisang ditolak masuk luar angkasa karena menyisakan sampah kulit. Ia lalu menggantinya dengan mengirim buah tomat.

Pada 2011 ada program Space Seed for Asian Future. Di sini Fenny bisa mengirim biji-biji tomat ke luar angkasa. Ternyata tanpa ada gravitasi dan orientasi, biji tomat yang ditanam di luar angkasa lebih lambat matangnya. Setelah ditanam selama 6 bulan di luar angkasa, lalu tanaman tomat itu dibawa kembali ke bumi. Sebagian untuk diteliti, sebagian lagi dibagikan ke pelajar SD, SMP, dan SMA. Dengan begitu para pelajar diharapkan bisa tertarik menjadi peneliti.

Impian Fenny selanjutnya adalah membuat tanaman pisang rekayasa genetika yang buahnya bisa dikontrol. Fenny sadar biayanya memang sangat besar, waktu risetnya lama, dan izin rilis ke lapangannya juga sulit. Bahkan tak jarang orang banyak yang meng-underestimate-kan dirinya dengan mempertanyakan, waktu 10 tahun yang digunakan untuk mengurusi pisang, tidak bisa menghasilkan bukti rekayasa genetika sampai sekarang. Namun Fenny tetap percaya diri sebagai peneliti di Indonesia. Dan ia pun juga bisa mendorong generasi muda, terutama para perempuan, untuk menjadi peneliti. Bahwa peneliti itu prospektif dan keren.        

1 komentar: