Sabtu, 08 Maret 2014




Dara asli Aceh ini aktif dalam pengembangan masyarakat terutama untuk kaum wanita dan anak-anak di desanya di Provinsi Aceh. Lebih jauh tujuannya adalah ingin mengembalikan jiwa gotong royong yang sempat terkikis akibat bencana dahsyat tsunami, beberapa tahun lalu. Program community development yang ia gagas bersama teman-temannya ini memang dilakukan usai bencana Tsunami di Aceh, mulai tahun 2005.  Saat itu, tempat tinggalnya di Desa Nusa, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, juga terkena tsunami. Desanya memang dekat dengan laut, hanya saja kebetulan lokasi desanya agak tinggi, sehingga air pasang akibat tsunami cepat surut.

Setelah sempat tiga bulan tinggal di tenda pengungsian, ia beserta para tetangganya pun kembali ke desa dengan segala keterbatasan. Mereka sempat kesulitan air bersih, ditambah lagi tidak ada pula aliran listrik. Setelah sekitar dua tahun, barulah kehidupan mulai normal kembali. Rumah-rumah yang rusak sudah diperbaiki.

Pada saat itu, ada ratusan NGO yang datang memberi bantuan. Namun, Rubama merasakan bantuan yang begitu besar justru membuat masyarakat seperti dimanjakan, kemudian apatis dengan gotong royong. Padahal, budaya gotong royong di masyarakat Aceh sebenarnya kuat sekali. Akhirnya, Rubama bersama teman-teman yang seide pun ingin membangkitkan kembali semangat gotong royong itu.





Kebetulan ia melihat, akibat yang ditimbulkan dari bencana tsunami adalah banyaknya sampah. Ia pun berpikir bagaimana cara mengelola sampah itu agar bisa kembali membangkitkan semangat gotong royong masyarakat. Ia ingin masyarakat bisa turun tangan untuk ikut mengelola sampah. Langkahnya dimulai dengan mengajak para ibu untuk mendaur ulang sampah menjadi produk yang bermanfaat. Sebelumnya, Rubama bersama kawan-kawannya memang sudah memiliki bekal keterampilan membuat berbagai kerajinan dari sampah.

Bermula, ketika di tahun 2005 mereka mengikuti program green, health, clean yang diselenggarakan oleh salah satu NGO. Salah satu programnya adalah pemberdayaan masyarakat tentang pengolahan sampah. Selain bekal dari program itu, saat itu Rubama yang masih kuliah Biologi, Universitas Islam Negeri Ar Raniry, Banda Aceh juga rajin membaca berbagai macam buku, termasuk buku-buku tentang kerajinan. Dan semasa menjadi mahasiswa, ia juga sudah menaruh perhatian pada persoalan lingkungan.

Dengan bekal inilah, ia dan kawan-kawannya mengajak ibu-ibu berkumpul untuk membuat aneka kreasi dari sampah. Awalnya, ada seratusan ibu-ibu yang datang. Karena di Aceh banyak sekali warung kopi, maka ia bersama kawan-kawan mulai mengajari para ibu membuat aneka kerajinan dari bekas sachet kopi. Misalnya saja membuat tas. Sejak itulah kemudian akhirnya terbentuk Nusa Creation Community. Selanjutnya, semua kegiatan yang ia lakukan selalu memakai nama desanya, Nusa. Jadi bisa dibilang Nusa Creation Community adalah bagian dari community development untuk kembali memupuk jiwa gotong royong.

Awalnya, seluruh kegiatan yang ia lakukan dananya disokong penuh oleh sebuah NGO. Setiap peserta yang datang mendapatkan uang konsumsi sebesar Rp 5 ribu. Tapi di tahun kedua ketika NGO pergi dan sudah tidak lagi memberikan uang konsumsi, banyak di antara ibu-ibu itu yang tidak mau datang lagi. Inilah yang menurut Rubama menjadi bagian dari sisi negatifnya, bahwa ada sebagian masyarakat yang mau datang ke pelatihan yang diadakannya, hanya karena ada imbalan uang.

Namun, sisi positifnya ia makin paham siapa-siapa saja yang memiliki kepedulian serius untuk bersama-sama mengatasi persoalan lingkungan. Akhirnya, terjadi seleksi alam. Seiring perjalanan waktu, kini tinggal 17 orang yang masih berkomitmen dengan Nusa Creation Community. Meski awalnya sempat kecewa karena banyak peserta yang mundur, namun melihat kesungguhan ibu-ibu yang masih bertahan, ia dan kawan-kawannya pun jadi kembali senang. Apalagi para ibu itu sesungguhnya sudah banyak makan asam garam kehidupan, sehingga ia bersama rekan-rekannya pun banyak belajar juga dari mereka.

Mereka pun terus berkreasi menghasilkan produk. Masing-masing anggota memang tidak mendapatkan gaji. Mereka baru mendapatkan penghasilan kalau produknya laku. Tapi, sesugguhnya kegiatan ini pun hanya sekedar usaha sampingan saja. Karena setiap harinya, para ibu itu lebih mengutamakan kegiatan turun ke sawah. Mereka juga rutin mengadakan pertemuan setiap minggu, biasanya pada hari Rabu. Yang mereka bicarakan misalnya tentang pengembangan produk.

Kini, mereka sudah menghasilkan berbagai macam produk, misalnya aneka bunga kering dan tas. Skala usaha mereka memang masih rumahan, tapi sebagai tambahan penghasilan, bis dibilang cukup lumayan. Rubama bersama teman-temannya pun rajin menitipkan aneka kerajinan itu di beberapa toko. Saat ini pemasarannya memang masih di sekitar Aceh saja. Selain itu, ia juga mempromosikannya lewat jejaring sosial seperti Facebook. Setiap kali ada produk baru yang dihasilkan, akan langsung mereka unggah di Facebook.





Ternyata upaya yang ia lakukan mendapatkan respons yang bagus dari masyarakat. Ia pun sering diminta sharing pengalaman di lingkungan Kabupaten Aceh Besar. Terkadang, Nusa Creation Community juga bekerja sama dengan tempat Rubama bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang konservasi. Rubama mulai bekerja di sana sejak 2003, sebagai staf dan juga menjadi tim peneliti.

Menurut Rubama, tidak mudah juga untuk mengajak para ibu di desanya bergabung dengan Nusa Creation Company. Maka, sebelum mengajak mereka, ia terlebih dahulu membuat aktivitas yang ditujukan untuk anak-anak. Kebetulan, Ayah Rubama termasuk tokoh masyarakat setempat. Di rumahnya selalu ada pengajian yang diikuti 40-60 anak-anak. Akhirnya, Rubama pun memulainya dengan melakukan pendekatan pada anak-anak itu. Ia mengajak anak-anak dari mulai yang masih duduk di bangku TK untuk mencintai lingkungan dengan menanam pohon di sekitar rumah.

Memang akibat tsunami, banyak pepohonan yang rusak di desanya. Untuk pengadaan bibit, ia dan kawan-kawannya meminta bantuan Dinas Pertanian setempat. Mereka lalu menanam seribu pohon, antara lain pohon mangga dan rambutan. Dan saat ini, pepohonan itu sudah berbuah. Masyarakat pun sudah menikmati hasilnya. Sebagai proses menanamkan kepedulian lingkungan pada anak, masing-masing pohon itu pun dicantumkan nama anak-anak yang menanamnya. Sehingga mereka punya rasa memiliki dan akan rajin merawatnya, dari mulai memberi pupuk sampai menyiram. Anak-anak itu pun juga diajarkan membuat pupuk organik. Dan karena melihat anak-anaknya sudah peduli pada lingkungan, akhirnya ibu-ibu mereka pun bersedia untuk terlibat dalam kegiatan ini juga.





Selain memberdayakan para ibu, kegiatan untuk anak-anak pun masih tetap berjalan sampai sekarang. Salah satunya dengan membuat festival kampung yang ia beri nama Nusa Festival. Event yang dimulai tahun 2007 ini sebagai refleksi dua tahun setelah tsunami. Rubama bersama teman-teman NGO yang peduli anak, memberi kegiatan pada anak-anak untuk melupakan trauma akibat bencana. Mereka selalu berusaha memberikan kegiatan yang menyenangkan buat anak-anak.

Salah satu rangkaian acara Nusa Festival ini adalah Nusa Award yang semua konsepnya digagas oleh anak-anak. Kegiatan yang diselenggarakan di bulan Desember ini adalah upaya bagaimana mengajak anak-anak berpartisipasi dalam kegiatan desa. Ternyata, ide anak-anak itu pun sangat kreatif. Ada beberapa kategori yang mereka lombakan. Antara lain, orang yang paling disegani anak, orang yang paling lucu, rumah paling bersih, dan anak kreatif. Untuk pemilihan pemenang, anak-anak sendiri yang juga menjadi jurinya.





Anak-anak itu pun juga punya ide yang menarik saat pengumuman pemenang, yakni dengan menampilkan acara kesenian di atas panggung. Mereka tampil menyuguhkan berbagai atraksi seperti tarian. Acara ini juga melibatkan para pemuda, warga, dan tokoh masyarakat. Mereka yang bersama-sama membuat panggung sederhana. Sebelum pengumuman pemenang, disebutkan pula nominatornya. Kebetulan di desanya ada seorang warga yang berprofesi sebagai fotografer. Dialah yang diam-diam memotret para nominator. Dan saat pembacaan nama nominator, foto mereka pun juga ditampilkan.

Seluruh dana untuk menyelenggarakan Nusa Festival ini sumbernya dari masyarakat. Bantuan juga tidak hanya berupa uang, tapi ada pula barang. Ada yang menyumbang semangkuk beras, sebutir telur, dan buah kelapa. Nantinya barang sumbangan itu akan dijual oleh anak-anak.  Ada juga sumbangan roti dari sebuah perusahaan roti yang cukup terkenal di Aceh. Dan berkat partisipasi masyarakat, semua proses acara pun berjalan dengan baik.

Respons dari masyarakat juga rupanya sangat besar. Kebetulan, di tahun 2013 acara ini sempat tidak diselenggarakan. Pertimbangannya, menjaga agar masyarakat tidak bosan dengan kegiatan seperti ini. Namun rupanya, banyak warga yang menanyakan mengapa acara festival ini tidak diadakan.

Kegiatan Rubama bersama Nusa Creation Company tidak berhenti sampai di situ. Bersama kawan-kawan di desanyanya, termasuk kakaknya, ia ingin mewujudkan desa ramah anak. Dalam masyarakat Aceh, ada budaya yang melarang anak-anak ikut campur dengan persoalan orang dewasa. Banyak juga anak yang suka dipukul orang tuanya atau dimarahi kalau berbuat salah. Rubama pun ingin mengubah pola pendidikan yang salah terhadap anak itu. Cara yang ia lakukan adalah dengan mengajak anak-anak terlibat dalam membangun desa, salah satunya dengan menggelar Nusa Festival.

Dengan Nusa Festival ini anak-anak juga bisa terlibat ikut membangun ruang dunia, dalam hal ini desanya. Anak-anak pun juga bisa bergabung dalam kegiatan Nusa Bike Community. Setiap hari Minggu, anak-anak secara bersama naik sepeda keliling kampung. Kegiatan ini sekaligus untuk lebih memperkenalkan anak-anak pada kampungnya. Pada kegiatan ini mereka tidak hanya bersepeda, tapi juga melakukan suatu kegiatan lain. Idenya pun juga berasal dari mereka. Misalnya saja membersihkan sampah di pantai.



Kini, selain di desanya, Rubama juga sudah mulai melibatkan desa lain dengan membuat acara Nusa Karnaval. Rubama sadar, masalah sampah tidak hanya dialami desanya saja. Maka, lewat acara Nusa Karnaval yang juga melibatkan anak-anak dengan usia maksimal 18 tahun ini, ia mengadakan acara pawai dengan kreasi sampah. Rutenya dengan melewati lima desa. Ia lalu mengundang desa lain untuk mengirimkan perwakilan anak-anaknya dalam acara ini.

Ternyata responsnya juga sangat bagus. Banyak masyarakat yang menyaksikan acara ini. Desa lain pun tak menolak untuk ikut berpartisipasi. Di tahun pertama, pesertanya terdiri dari 12 desa dari 28 desa di Kecamatan Lhoknga. Dan di tahun berikutnya peserta meningkat menjadi 20 desa.

Dalam acara Nusa Festival ini, anak-anak diberi kebebasan berkreasi dengan sampah. Misalnya saja, menggunakan busana dari bahan daur ulang sampah. Soal busana kreasi anak-anak itu, sangat susah sekali digambarkannya dengan kata-kata. Karya mereka terlihat unik. Selain itu, anak-anak itu juga menampilkan aneka kerajinan dari sampah.

Upaya lain yang sedang dilakukan Rubama dan kawan-kawannya adalah merintis desa wisata di kampung mereka. Idenya bermula dari banyaknya turis yang datang ke desanya. Para turis itu kerap menginap di rumah penduduk, dan mereka mengaku tertarik dengan masyarakat Aceh yang bersifat terbuka. Meski ada kendala bahasa karena banyak warga yang tidak bisa bahasa Inggris, tapi para turis asing tersebut sudah nyaman dengan memakai bahasa isyarat saja. Nantinya, saat turis datang, Rubama dan kawan-kawannya ingin memberi suguhan yang menarik untuk mereka. Terlebih, desanya yang dekat dengan laut membuat penduduk anak-anaknya pandai bermain surfing. Ini tentunya akan menjadi tontonan yang menarik untuk para turis.

__________________
advetorial :

BOLU KUKUS KETAN ITEM, OLEH-OLEH KHAS JAKARTA DENGAN CITA RASA LEZAT DAN MENGGUGAH SELERA. PESAN DI 085695138867 ATAU KLIK DI SINI
  







0 komentar:

Posting Komentar