Senin, 17 Maret 2014




Bang Din, begitu sapaannya. Selain dikenal sebagai pemilik rumah makan di kota Pontianak, ia juga dikenal sebagai praktisi budaya, jawara situs bersejarah, hingga akademisi di ibukota provinsi Kalimantan Barat itu. Pria bernama lengkap Syafaruddin Usman Mhd, ini mempunyai banyak kawan. Ia hafal luar kepala tempat-tempat yang bersejarah, yang masuk cagar budaya, bahkan yang tak banyak diketahui orang sejarahnya. Juga tentunya soal wisata kulinernya.

Begitu banyak teman yang dimilikinya, membuat Bang Din menjadi orang yang paling asyik dihubungi bila kita mencari informasi tentang Pontianak, bahkan juga Kalimantan Barat. Ia boleh dibilang sahabat orang-orang yang ingin mengenal Pontianak. Di rumahnya, ia pun sering didatangi peneliti ataupun tamu tak hanya dari dalam negeri saja, tapi juga kerap disinggahi tamu dari luar negeri, seperti dari Cina dan Brunei, yang ingin mengajaknya berdiskusi tentang sejarah budaya, tak hanya lingkup Kalimantan Barat saja, tapi juga Nusantara.

Kegemaran blusukan dan sejarah itu tak lepas dari pengalamannya yang sejak kecil dekat dengan sang kakek. Kakek Din amat senang bercerita, berkisah tentang pengalaman masa lalu. Din selalu mengingat dan mencatat apa yang diceritakan kakeknya. Saat ia memasuki bangku kuliah, sang kakek telah almarhum. Din pun lantas tertarik untuk menelusuri melalui dokumen dan arsip apa-apa yang pernah dikisahkan kakeknya. Kemudian, ia menuangkan kisah-kisah itu dalam tulisan dan buku-buku. Bersamaan dengan itu, sejak SMP, Din juga sangat suka bergaul dengan orang-orang tua. Dari mereka, ia pun mendapat cerita-cerita lagi dan juga buku-buku kuno. Sejak itu pulalah, Din mulai suka mengkoleksi buku-buku kuno dan melestarikannya.

Dunia Din memang tak lepas dari buku. Ia mengoleksi buku sejarah dan menerjemahkan buku-buku yang berkaitan dengan sejarah kawasan Kalimantan dan Pontianak. Maka tak mengherankan, bila berkunjung ke rumahnya, kita akan dihadapkan pada begitu banyak buku dan bundelan naskah-naskah. Total ada 8.275 judul buku menghuni rumahnya yang sudah berdiri sejak zaman kolonial Belanda itu. Tak hanya buku tua, Din juga memasukkan buku-buku mutakhir ke dalam koleksi pribadinya. Ada 1.745 buku kuno terbitan abad XVIII hingga XX. Buku tertua koleksinya adalah karya WG Earl tentang Borneo Barat yang dibelinya pada 1994. Waku itu, buku itu ia beli seharga Rp 350 ribu.





Lelaki kelahiran Ngabang, 29 Maret 1974 ini juga mengoleksi surat kuno yang kini berjumlah 178 surat. Semuanya terpelihara rapih, meskipun kondisi kertasnya sudah sangat lapuk. Surat tertua koleksinya tentang perdagangan emas di Kalimantan Barat tahun 1793. Din juga mengoleksi ratusan surat kabar dari tahun 1920-an hingga 1950-an. Putra pengusaha angkutan umum itu juga mengoleksi kain kuno yang diakuinya jumlahnya ‘baru’ 121 helai. Ada lagi uang-uang kuno, logam abad ke 17 dan 18, uang kertas, foto-foto, dan perangko dari tahun 1800-an.

Din mengakui perawatan aneka koleksi itu menyedot banyak dana. Tiap bulannya ia membutuhkan minimal Rp 3 juta untuk biaya listrik. Tak termasuk honor dua karyawan. Jadi totalnya, dalam sebulan ia bisa mengeluarkan Rp 4 juta-Rp 5 jutaan untuk perawatan benda koleksinya. Untuk berbagai pengeluaran itu, Din mengaku masih ‘jalan’ sendiri. Belum ada  dari pihak Pemda yang mau membantu mengurusinya. Hinga kini, seluruh koleksi yang dimilikinya, bila dinilai dengan uang besarnya sekitar Rp 3,5 miliar. Buku termasuk benda antik yang harganya paling mahal. Sayangnya, pria yang juga menjabat sebagai Sekjen Dewan Harian Nasional Angkatan 45 yang berpusat di Jakarta ini, belum mengasuransikan semua koleksinya.

Sejarah yang terangkum dalam berbagai bentuk benda di rumahnya itu merupakan sumber tulisan yang kaya. Lelaki yang menulis sejak di bangku SD ini juga menerjemahkan sebagian dari koleksinya. Karier sebagai penulis ia awali dari menulis puisi dan cerpen di koran lokal, Akcaya Pontianak pada 1988. Selain itu ia juga suka membuat karikatur.

Din mengaku, ia memang selalu menulis naskah buku setiap saat. Anak pertama dua bersaudara pasangan Daen Usman Mahmud dan Fatimah Abang Nour ini mencatatkan Peristiwa Mandor 1944 menjadi ikon penulisannya. Royalti buku dan honor menulis itu digunakan untuk membangun galeri, yang belakangan dikenal sebagai rumah budaya pribadi. Hingga kini, Din sudah menulis 45 judul buku. Dengan pengetahuannya tentang Pontianak dan Kalimantan yang luas, Din pun kerap menjadi narasumber penulisan skrispi dan juga tesis mahasiswa. Ia juga sering menjadi narasumber pada seminar-seminar mulai tingkat lokal hingga regional.

Belum lama ini, pria tamatan Universitas Tanjungpura ini meluncurkan Rumah Budaya Nusantara. Berbagai koleksinya bisa diakses oleh umum di galeri yang terletak di lantai tiga rumahnya di Jalan Imam Bonjol 9a, kawasan Tanjungpura, Pontianak. Di rumah budaya itu ada tiga kamar berisi koleksi Dayak, Melayu dan Cina. Lantai duanya berisi delapan ribuan buku, di antaranya 1.200-an buku tentang Bung Karno, Pak Harto, dan sejumlah tokoh nasional lainnya. Rumah Budaya Nusantara itu, menurut Din, kebanyakan dikunjungi mahasiswa, dosen, guru, dan pelajar. Ada juga kalangan politisi yang ingin membuka-buka soal politik tempo dulu di dokumen statis.

Atas semua kegiatannya itu, suami dari Isnawita Yahya ini mendapat perhatian dari Kerajaan Mempawah, Kalimantan Barat. Ia kini beroleh gelar Datuk Sri Duta Astana, atas jasanya melestarikan budaya setempat. Namun, meskipun sudah hafal luar dalam tentang sejarah, Din tak mau beroleh julukan macam-macam. Ia hanya ingin dirinya cukup dikenal sebagai penyuka budaya, penulis lepas, atau freelancer saja.

__________________
advetorial :

BOLU KUKUS KETAN ITEM, OLEH-OLEH KHAS JAKARTA DENGAN CITA RASA LEZAT DAN MENGGUGAH SELERA. PESAN DI 085695138867 ATAU KLIK DI SINI
  

   

2 komentar: