Senin, 05 Maret 2018


Terpesona pada segala kelebihan sagu yang menjadi penelitiannya, perempuan lulusan program doktoral Universitas Indonesia ini memilih menekuni sagu. Kini, Saptarining Wulan tak henti mengenalkan sagu sebagai pengganti beras dan terigu dalam menu makanan dengan tetap mengedepankan rasa yang enak. Perempuan yang akrab disapa Nining ini telah diganjar penghargaan Tokoh Muda 2015 sebagai Pelopor Pemasyarakatan Sagu oleh sebuah majalah berita.

Ketertarikan Nining pada sagu dimulai ketika melakukan penelitian untuk disertasinya di Universitas Indonesia untuk program studi Ilmu Lingkungan. Ia membandingkan berapa produktivitas dan nilai rupiah yang didapat untuk penanaman per hektar per tahun dari sagu bila dijadikan pati, sawit bila dijadikan CPO, dan padi bila dijadikan beras. Nining menemukan data bahwa produktivitas dan nilai sagulah yang tertinggi. Per hektar mencapai 22,4 ton per tahun. Dalam penelitiannya ini, Nining juga melihat bahwa teori Thomas R. Malthus yang mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sedangkan pertumbuhan pangan mengikuti deret hitung, benar terjadi di Indonesia sekarang. Pertumbuhan penduduk di Indonesia 1,49 persen per tahun. Pertumbuhan penduduk ini memunculkan kebutuhan akan pemukiman dan pangan, terutama beras.

Konsumsi masyarakat Indonesia akan beras sangat tinggi, bahkan tertinggi di Asia Tenggara, yaitu 139 kg per orang per tahun. Setelah ada diversifikasi pangan pun tetap masih tinggi, yaitu 120 kg per orang per tahun. Sementara Malaysia, Korea, dan Thailand misalnya, hanya 70 kg beras per orang per tahun. Padahal, makin banyak lahan sawah yang dibuat perumahan. Karena itulah, bila dulu masyarakat Indonesia bisa makan jagung dan umbi-umbian, maka sekarang kita perlu lagi mengurangi ketergantungan pada beras dengan diversifikasi pangan. Salah satunya, dengan mengkonsumsi sagu.


Sagu punya banyak kelebihan, antara lain sebagai karbohidrat bebas gluten sehingga aman dikonsumsi penyandang autis, memiliki indeks glikemik rendah sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk diubah menjadi gula darah. Sagu sendiri merupakan tanaman asli Indonesia yang hidup liar di berbagai jenis tanah, termasuk gambut dan pantai, tidak seperti beras yang sebetulnya berasal dari luar negeri dan harus di tanah basah. Beras atau tanaman lain sulit monokultur lantaran rentan terserang hama mengingat tipe vegetasi di Indonesia hutan hujan tropis, sedangkan sagu bisa monokultur.

Produktivitas sagu juga sangat tinggi. Satu pohon bisa menghasilkan lebih dari 150 kg pati kering. Menariknya, seperti pohon pisang, sagu juga tidak perlu replanting. Jadi, tidak perlu ditanam akan terus muncul anakannya. Kita tinggal mengatur jarak pohonnya agar tidak berdesakan. Setelah tumbuh delapan tahun, sagu bisa dipanen. Sementara, dalam waktu dua tahun anak pohon sudah tumbuh. Maka, tinggal diatur saja waktunya agar bisa panen terus. Pohonnya kebanjiran tiga bulan pun masih bisa hidup, tidak seperti padi. Daun, kulit, dan ulatnya pun bermanfaat.

Sebenarnya, luasan lahan yang ditanami sagu di Indonesia total mencapai 6 juta hektar berupa hutan liar dan yang terbesar di dunia. Lahan terbesar ada di Papua, tapi sayang masyarakat di sana mulai meninggalkan sagu karena jadi terbiasa mengkonsumsi beras. Padahal, ongkos berasnya sangat tinggi untuk bisa sampai di sana. Di Indonesia, sagu memang belum maksimal dimanfaatkan. Banyak sagu dibiarkan begitu saja hingga akhirnya pohonnya mati. Padahal, Indonesia punya daerah kantong-kantong sagu di berbagai daerah dari Sabang sampai Merauke, termasuk di daerah-daerah rawan bencana. Jadi, tidak perlu takut kelaparan. Sementara, di Malaysia yang luasan tanah untuk menanam sagu jauh lebih sedikit dari Indonesia, sudah memanfaatkan sagu untuk beragam keperluan, mulai dari makanan sampai bahan pembuat lantai. Malaysia bahkan kini menjadi pengekspor sagu terbesar.


Manfaat sagu sendiri macam-macam. Antara lain bisa diolah menjadi plastik ramah lingkungan, etanol, dan sumber karbohidrat. Nutrisinya juga bagus untuk penyandang autis dan diabetes. Sebab, sagu bebas gluten dan indeks glikemiknya lebih rendah dari beras dan tepung, yaitu sekitar 30-40, sementara beras dan tepung sekitar 70-80. Sagu juga resistant starch, berfungsi sebagai fiber. Sehingga, lebih lama tahan di usus. Selain itu, sagu juga tempat yang baik bagi berkembang biaknya mikroba usus, sehingga bagus bagi penderita maag. Itu sebabnya, di daerah tertentu umumnya masyarakat berbuka puasa dengan bubur sagu. Lantaran kadar proteinnya lebih rendah dibanding beras dan terigu. Tanamannya bebas hama, lebih tahan lama untuk disimpan tanpa pengawet. Sementara beras dan terigu sering berkutu dan tengik kalau usianya sudah beberapa bulan. Sagu sendiri aman disimpan bertahun-tahun. Ini bermanfaar ketika dijadikan cadangan atau suplai makanan di daerah yang rawan atau terkena bencana.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan IPB selama setahun menunjukkan, pohon sagu dipupuk maupun tidak, hasilnya sama karena pohonnya punya bakteri yang menempel di batang, daun, akar yang mengikat unsur nitrogen di udara. Setiap tahun ada simposium internasional tentang sagu di mana para ahlinya banyak berasal dari Jepang. Ternyata, pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia dulu, ada seorang tentara Jepang yang terperangkap di hutan di Maluku. Ia melihat penduduk setempat keluar masuk hutan untuk mengambil sagu. Dari situ ia melihat, Indonesia tidak akan kelaparan, karena punya cadangan karbohidrat yang sangat besar. Dia lalu berjanji setelah pulang ke negaranya akan membuat riset tentang sagu. Setelah ia meninggal, hartanya dihibahkan untuk dana riset sagu. Ketika bertemu para ahli sagu dari Jepang dalam simposium itu, Nining sempat bertanya apakah sagu bisa hidup di Jepang ? Mereka mengacungkan dua jempol. Nining sempat mengira bagus hasilnya, tapi itu ternyata artinya di sana sagu hanya tumbuh sebesar jempol.

Nining lantas berpikir, kalau mereka saja terus melakukan riset tentang sagu dan mengolahnya jadi macam-macam, mengapa kita yang kaya akan sagu tidak memberdayakannya ? Padahal, kita sudah diberi manfaatnya, sehat untuk tubuh dan dimudahkan dalam pertaniannya. Mengapa sagu tidak dilirik, dan membiarkan sampai sekarang kita terjajah oleh terigu ? Setiap tahun, Indonesia membutuhkan 9-10 juta ton terigu. Bahkan, Indonesia sempat berada di peringkat kedua di bawah Mesir sebagai pengimpor terigu terbesar. Ini menunjukkan kita benar-benar ketergantungan pada terigu, di mana 60 persen dari jumlah yang diimpor digunakan untuk membuat mi, 20 persen untuk roti, 10 persen untuk biskuit, dan sisanya untuk lainnya. Padahal, kita bisa menggantikan penggunaan tepung terigu dengan tepung sagu.


Namun yang menjadi tantangan adalah, rasa dan memori terhadap makanan akan sulit diubah bila pengenalan terhadap makanan tidak sehat, misalnya sudah dilakukan sejak kecil. Itu sebabnya, Nining ingin mengajak anak-anak sekolah sejak dini mengenal sagu, meski ia akui hal ini akan sulit dilakukan, karena beras sudah terbiasa di lidah masyarakat sejak ribuan tahun lalu. Tapi, sagu tetap harus diperkenalkan. Ini hanya persoalan sosialisasi dan rasa. Padahal, rasa sagu juga enak dan sedikit kenyal. Kalau tersedia dalam jumlah banyak dan rasanya enak, menurut Nining tidak perlu lagi ada peraturan atau undang-undang yang mengharuskan masyarakat kembali ke pangan lokal, karena dengan sudah sendirinya mereka menyukai sagu. Jadi, ketika instansi pemerintah mengimbau pegawainya rapat dengan snack lokal, menunya tidak hanya ubi dan kacang rebus. Itu sebabnya, hilirnya terus Nining perkuar agar masyarakat mau beralih ke sagu. Kalau hulu, menurutnya sudah kuat, karena petani yang menjadi mitranya mengambil sagu langsung dari hutan.

Nining mulai menyosialisasikan sagu dengan cara mengolahnya menjadi aneka makanan yang kemudian ia jual, mulai dari beras, tepung, makaroni, dan mi instan. Semuanya terbuat dari seratus persen sagu, tanpa pewarna, pengawet, maupun penyedap buatan. Tepung sagu bisa diolah menjadi kulit risoles, kue, cake, dan biskuit. Mi instan bisa dimakan bersama bumbu yang sudah disediakan seperti halnya mi instan lain, atau diolah lagi menjadi masakan lain. Beras sagu bisa dibuat jadi nasi uduk, nasi goreng, dan sushi. Selain itu, Nining juga membuat rainbow cake dan biskuit dari sagu. Pendeknya, ia terus uji coba resep-resep yang seharusnya menggunakan terigu, ia ganti dengan sagu. Nining kerap diundang jadi pembicara mulai dari seminar, acara kampus-kampus, sampai tingkat RT. Ia juga rajin mengikuti pameran.

Misalnya, beberapa waktu lalu, Nining sempat diajak pameran ke Brunei untuk memperkenalkan sagu Indonesia. Ternyata, Brunei sangat tertarik pada produk olahan sagu. Dari enam hari pameran yang direncanakan, produknya habis dalam dua hari. Mereka sebetulnya juga punya sagu, tapi belum dimanfaatkan. Ada juga restoran sagu di sana, tapi proses produksi sagunya masih dikerjakan secara manual. Mereka lantas mengajak Nining untuk kerja sama. Nining juga pernah diundang pakar kuliner William Wongso untuk memperkenalkan makanan dari sagu dalam acara Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI) yang diadakan di Jakarta Convention Center. Di acara bersama para chef lulusan sekolah luar negeri itu, Nining membuat risoles dari seratus persen tepung sagu. Menurut orang-orang yang mencicipi, rasanya tak berbeda dengan risoles dari tepung terigu. Waktu pemerintah daerah Papua mengadakan seminar Investment Year 2016 di Hotel Ritz Carlton, Nining juga diajak untuk pameran tunggal. Banyak yang menyukai kue talam sagu buatannya saat itu.


Nining mulai berjualan produk olahan sagu sejak Juni-Juli 2015. Produknya ia beri nama Puteri Sagu. Kebanyakan pembelinya adalah reseller yang fokus pada makanan sehat. Untuk kemasan produk, ia bekerja sama dengan sebuah sekolah untuk anak autis di Cibubur. Murid yang dewasa bertugas menimbang, mengemas, dan menempel stiker di kemasan. Sebelumnya, mereka telah diajari SOP-nya. Setelah jadi beberapa ratus bungkus, produk baru diantar ke rumahnya. Saudara-saudaranya sempat bertanya, mengapa ia mau bermain di bisnis sagu, komoditas yang menurut mereka tidak ada harganya. Namun, Nining memang sudah terlanjur jatuh cinta pada sagu. Jadi, ia terus semangat mencoba beragam resep, mulai dari sushi, nasi goreng, sup timlo, mi tahu acar, dan lainnya. Sagu, mau dibuat menu tradisional maupun kontemporer, bisa saja. Selain sebagai pemilik Puteri Sagu, Nining kini juga menjabat sebagai Tenaga Ahli Utama Ekonomi Kelembagaan dan Konsultan Nasional Pengembangan Program (KNPP) di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Rencana berikut yang ingin dilakukannya adalah menulis proposal riset ke Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) untuk mendapatkan bantuan mesin produksi. Kelak, ia juga ingin membuat restoran sagu dengan menu-menu sehat. Kemudian, Nining juga berencana menemui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) agar ketika terjadi bencana, makanan berbahan baku sagu disediakan bagi korban dan pengungsi. Selama ini, setiap terjadi bencana, beras dan mi instan selalu jadi pasokan. Padahal, kalau di setiap daerah, terutama yang rawan bencana membudidayakan sagu, mereka tak perlu lagi bantuan dari luar yang notabene membutuhkan waktu dan biaya. Karena belum tentu setiap lokasi bencana mudah dijangkau. Misalnya saja seperti waktu terjadi bencana di Sulawesi Tengah. Untuk mencapai lokasi, relawan harus melewati gelombang laut setinggi 3-6 meter. Akibatnya, bantuan baru sampai setelah beberapa hari.

Kalau masyarakat di kantong-kantong penghasil sagu diberi pelatihan cara budidaya dan diversifikasi produksi, sagu akan lebih banyak dikenal orang dan kesejahteraan penduduk setempat akan naik. Di Aceh, misalnya, sebenarnya banyak pohon sagu. Kalau tidak dipanen, maka pohon sagu itu akan mati karena patinya lama-lama berkurang. Nining berharap, semoga saja, suatu saat nanti sagu bisa menjadi raja di negeri sendiri, dengan ciri khas dan kelebihan masing-masing dari berbagai daerah. 





1 komentar:

  1. Sambal Roa Judes, salah satu kekayaan kuliner nusantara, Sambal yang dibuat dari campuran Ikan Roa ini selalu sukses menggoda lidah para penggemar pedas. Bahkan bagi mereka yang tidak pernah memilih ikan sebagai menu makanan mereka pun, selalu berakhir dengan mengakui kehebatan rasa Sambel Roa JuDes ini.. Anda penasaran ingin menikmatinya ? Hubungi layanan Delivery Sambal Roa Judes di 085695138867

    BalasHapus