Jumat, 14 Juli 2017


Inilah Pri Utami, ahli geotermal atau panas bumi yang dipunyai Indonesia. Dosen Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta ini sejak mahasiswa sudah bermimpi untuk menguasai ilmu geotermal. Kini, perempuan kelahiran Surabaya ini menjadi salah seorang perempuan duta geotermal dunia sejak tahun 2012 dan peraih New Zealand - ASEAN Award dari pemerintah Selandia Baru tahun 2015.

Menekuni geotermal tidak pernah ada dalam bayangan Pri Utami saat masuk kuliah di Jurusan Teknik Geologi, UGM. Mata kuliah Geotermal kala itu belum belum berkembang seperti sekarang. Hingga suatu hari, ketika sedang diajak ibu dan kakaknya berwisata ke Dieng, Pri melihat ada uap yang keluar dari perut bumi. Lalu ada pula orang yang tengah melakukan pengeboran bumi hingga mengeluarkan uap. Dan ada perusahaan yang mengkonversi uap menjadi energi listrik. Pri sangat tertarik dengan semua aktivitas di lokasi itu. Ia pun mendatangi para ahlinya, dan mulai bertanya segala hal, apa yang sesungguhnya sedang mereka kerjakan. Mereka pun mengatakan, bahwa sedang melakukan kegiatan eksplorasi panas bumi untuk diubah menjadi energi listrik. Mereka bekerja untuk sebuah perusahaan geotermal. Sejak saat itu, rasa penasaran Pri tentang geotermal semakin besar. Pri merasa bisa melakukan apa yang mereka kerjakan, karena dirinya kuliah di Geologi.

Pri menjelaskan, panas bumi sering keliru dipahami dengan pemanasan global, yang mengakibatkan udara menjadi panas. Padahal, panas bumi adalah energi panas yang tersimpan di dalam bumi. Untuk mendapatkan uap panas dari dalam bumi pada kedalaman 1-3 km bisa dilakukan dengan cara pegeboran, kemudian akan keluar uap atau campuran air dan uap panas. Setelah sampai di permukaan, lalu dipisahkan dan diekstrasi. Uapnya dikirim ke pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Tenaga uap itu akan menggerakkan turbin, dan kemudian tenaga gerak diubah menjadi tenaga listrik. Panas bumi dapat juga dimanfaatkan secara langsung, contoh mudahnya adalah pemanfaatan panas bumi untuk pemandian air panas.


Kegiatan pengeboran uap yang ia temukan di Dieng itu membuat hati Pri terusik. Ia segera mencari tahu dimana dirinya bisa mengerjakan tesis dengan topik geotermal. Orang-orang yang ia jumpai di proyek Dieng itu mengatakan, Pri bisa datang langsung ke perusahaan tersebut di Jakarta. Jadi, saat libur kuliah, Pri pun datang ke Jakarta untuk mendatangi kantor yang dimaksud. Tanpa sungkan dan malu, ia datang untuk minta diberi kesempatan magang di sana. Tujuannya adalah agar kelak ia bisa menyusun proposal untuk praktek kerja lapangan dan menyusun topik tesisnya.

Tapi ternyata, di sana Pri malah "dimarahi" oleh salah seorang praktisi geotermal yang ia temui. Orang itu mengatakan, kehadiran Pri hanya akan merepotkan saja. Karena belum punya ilmu, tapi sudah ingin bekerja. Namun, karena saat itu sedang musim liburan, dan Pri juga tidak ada kegiatan lain, ia tetap memaksa minta diizinkan meski  di kantor itu hanya sekedar nongkrong saja. Melihat kesungguhannya, mereka lantas mengizinkannya nongkrong di perusahaan tersebut asal tidak minta gaji. Selanjutnya, setiap pagi Pri pun datang ke perusahaan tersebut, untuk sekedar nongkrong di perpustakan, membaca-baca buku sampai jam kantor selesai. Sepanjang hari ia membaca buku apa saja yang berkaitan dengan geotermal. Apa dan di mana saja potensi geotermal di Indonesia dan dunia, bagaimana meneliti, mengeksplorasi, dan memanfaatkannya, lalu mengapa uapnya bisa untuk pembangkit tenaga listrik. Kegiatan tersebut Pri lakukan sampai dua bulan. Bila ada seminar di kantor itu, Pri juga ikut mendengarkan. Atau kalau ada komputer yang menganggur, Pri minta izin pinjam agar bisa belajar bagaimana mengolah data hingga bisa berubah menjadi gambar-gambar bawah permukaan bumi yang menarik.

Setelah genap dua bulan, Pri pun kembali ke Yogyakarta, dan segera membuat proposal agar bisa melakukan kerja praktik lapangan yang dikelola oleh perusahaan tersebut. Akhirnya, izin kerja praktik itu Pri dapatkan. Ia diberi satu daerah untuk diteliti. Tapi Pri merasa, jika pekerjaannya hanya mengolah data di kantor saja sangat membosankan. Jadi, bila ada pekerjaan proyek di lapangan, Pri memaksa untuk ikut. Walau awalnya mereka keberatan, karena khawatir Pri hanya merepotkan, namun Pri berjanji tidak akan merepotkan. Ketika mereka sudah tidak bisa menolak lagi, Pri sangat senang.


Pengalaman kerja lapangan pertamanya di daerah Karaha, Talaga Bodas, Garut, Jawa Barat. Di sana Pri dititipkan di rumah Pak Lurah. Pada ekplorasi pertama, pekerjaan yang dilakukan Pri seperti kuli. Ia harus membantu membentangkan kabel ketika para ahli sedang mengukur tanah yang disurvei. Istilahnya, saat itu bumi sedang disetrum kecil-kecil untuk mencari sinyal, apakah ada kandungan panas bumi di dalamnya. Tapi bagi Pri, hal itu adalah pembelajaran, dan ia senang melakukannya. Apalagi, di sana selain bisa melihat pemandangan yang indah, pengalaman bisa naik turun gunung dengan membawa berbagai peralatan, juga menurutnya keren sekali. Sejak itulah Pri merasa bahwa jalan hidupnya ada di penelitian geotermal. Keuntungan lain yang Pri dapatkan selama kerja praktik di sana adalah, ia mulai berani membaca buku-buku tentang geotermal yang dibaca para pimpinan di perusahaan itu. Para pimpinan perusahaan itu semuanya lulusan luar negeri. Buku-buku bacaannya pun karangan para pakar geotermal. Pelajaran di buku-buku tersebut ia serap. Dan tak ada satupun pimpinan yang menegur atau melarang ulahnya itu.

Tahun 1992, Pri lulus dari UGM, namun belum menemukan jalur karier yang sesuai keinginannya. Maka, ia pun kembali lagi ke perusahaan tempatnya melakukan kerja praktik dulu. Ia memohon agar bisa membantu penelitian mereka. Jadilah, Pri harus bolak-balik Yogya-Jakarta. Lalu, ketika ada rekrutmen dosen di UGM, ia juga mendaftar. Tapi otaknya terus memikirkan geotermal. Megetahui hal itu, para dosennya lantas menyarankan agar Pri terus mempelajari geotermal dan bekerja sebagai dosen dan peneliti geotermal yang memang sedang dibutuhkan oleh UGM. 

Tentang ceritanya bisa memperoleh beasiswa ke Selandia Baru, Pri menjelaskan, bahwa sebenarnya negeri itu sejak dulu sudah banyak memberikan beasiswa kepada karyawan di kalangan industri. Dan, Pri termasuk orang yang beruntung. Kala itu, ia sering nongkrong dengan teman-temannya di perusahaan. Suatu hari ia mendengar kabar, para profesor geotermal dari Selandia Baru akan datang ke Indonesia untuk memberi kursus. Berhubung Pri sudah membaca semua bukunya dan ia juga mendapat rekomendasi dari UGM untuk mengikuti kursus yang dibawakan oleh para profesor tersebut, maka Pri pun menjumpai mereka. Pri mengatakan kalau sudah mengenal karya mereka. Mereka pun terlihat kaget dan senang.


Di akhir kursus, salah seorang profesor itu menyodorkan formulir agar Pri bisa mengikuti kursus gratis selama 3 bulan di Geothermal Institute yang menjadi bagian dari The University of Auckland, Selandia Baru. Semuanya biayanya sudah ditanggung. Bukan main senangnya Pri. Terlebih saat itu Pri juga belum ada pekerjaan tetap. Juga belum ada hasil rekrutmen dosen UGM. Tidak menyangka, setelah tiga bulan kursus selesai, Pri ditawari lagi tambahan kuliah selama 9 bulan. Kali itu adalah kesempatan kuliah untuk meraih gelar Post Graduate Diploma in Geothermal Energy Technology dengan meneliti lapangan panas bumi Ulumbu di Flores. Tentu saja Pri sangat mau. Jadi, di negara itulah Pri mulai mengenal dengan banyak ahli dan praktisi geotermal dari seluruh dunia.

Pulang dari Selandia Baru pada 1995, Pri sudah diterima menjadi dosen di UGM. Pekerjaan yang menunggunya juga sudah banyak. Ia diminta pemerintah untuk membantu sumbangan pemikiran, juga membantu Asosiasi Panas Bumi Indonesia di mana dirinya juga ditujuk menjadi salah satu pengurusnya. Tahun 1997, Pri menikah dengan Andreas Dianto Tirtosudarmo, MT, kakak kelasnya di Fakultas Teknik UGM. Setelah itu ia kembali ke Selandia Baru untuk mengambil Master of Science di bidang Geologi, dengan meneliti lapangan panas bumi Kamojang di Jawa Barat. Pri kembali ke Indonesia saat krisis moneter tahun 1998. Setelah sekian waktu bekerja menjadi dosen dan peneliti, Pri kembali mengambil gelar Doctor of Philosophy in Geology, juga di Univeristy of Auckland, dengan meneliti lapangan Lahendong di Sulawesi Utara dan diwisuda pada tahun 2012.

Selama menimba ilmu di Selandia Baru, selain mendapatkan ilmu, Pri juga bisa menjalin persahabatan dengan berbagai orang yang berbeda ras, agama, dan bangsa. Semuanya disatukan lewat pendidikan. Jadi antar bangsa tidak perlu bertarung, tetapi harus mampu bekerja sama. Pernah pula Pri diiming-imingi untuk berkarier di Selandia Baru. Namun, Pri memberi alasan kepada mereka, bahwa pemerintah Selandia Baru sudah ada perjanjian dengan Indonesia di mana di dalam salah satu klausulnya mengatakan, mahasiswa yang sudah lulus harus membantu negara asalnya. Kalau Pri bekerja di Indonesia dengan menggunakan ilmu yang ia peroleh dari negeri Selandia Baru, toh ia juga akan membawa nama negeri tersebut. Dan ternyata mereka bisa mengerti dengan alasan penolakan Pri terhadap tawaran itu. Namun mereka tetap meminta Pri untuk bisa membantu Selandia Baru yang sedang kekurangan dosen ilmu panas bumi. Atas persetujuan UGM, Pri pun diminta datang ke Selandia Baru setiap bulan.


Tapi prioritas Pri tetap mengajar di UGM. Saat ini selain menjadi dosen, Pri juga menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Panas Bumi UGM. Pri mengatakan para pihak negara Selandia Baru, ia bersedia mengajar di Geothermal Institute pada masa libur antar semester di UGM, dan asal mereka mau memadatkan jadwalnya selama di sana. Dan mereka pun menyanggupi. Jadi, sejak tahun 2012 hingga sekarang, tiap tahun Pri mengajar di sana. Namun, kegiatan itu bukan untuk mencari uang tambahan, tetapi untuk menggalakkan pengembangan sumber daya manusia di bidang panas bumi. Itu Pri lakukan sebagai wujud kecintaannya pada kedua almamater, UGM dan Unversity of Auckland.

Pri memang lebih memilih bekerja menjadi dosen, daripada di perusahaan. Menurutnya, bekerja di perusahaan itu juga baik, namun ia merasa dengan menjadi dosen, dirinya bisa menghasilkan "orang" dan karya-karya yang bisa dikembangkan oleh para penerus. Hubungannya dengan perusahaan tempatnya bekerja dulu pun juga dekat. Mereka saling membutuhkan. Bila ada sesuatu tentang lapangan yang belum Pri ketahui, ia bisa menelitinya bersama pihak perusahaan. Pri juga bisa menitipkan anak-anak didiknya untuk belajar atau magang di beberapa perusahaan panas bumi, seperti yang ia lakukan dulu. Semua yang ia pelajari saat magang dulu sangat bermanfaat untuk saat ini. Selain di UGM dan Geothermal Institute, Pri juga pernah menjadi dosen tamu di Masaryk University, Republik Ceko, dan di United Nations University Institute for Sustainability and Peace di Tokyo, Jepang.

Di tahun 2012, Asosiasi Panas Bumi Sedunia atau International Geothermal Association (IGA) melihat sedikit sekali perempuan yang bergerak di bidang geotermal. Lalu muncullah ide untuk mempersatukan, kemudian mereka diminta mempromosikan pengembangan energi geotermal. Tidak hanya dari sisi ilmu kebumian dan teknologi, tetapi juga dari sisi ekonomi, hukum, dan sebagainya. Lalu Pri ditawarkan, apakah bersedia dijadikan duta. Tentu ia bersedia. Dan akhirnya orang-orang dari IGA menunjuk beberapa perempuan dari berbagai negara dan mempertemukannya di World Geothermal Congress. Mereka rapat bersama untuk merumuskan misi. Antara lain sharing pengetahuan di antara perempuan yang bekerja di dunia geotermal, meng-encourage kaum muda utuk tidak ragu-ragu mengambil geotermal sebagai pilihan karir. Lebih dari itu, juga menanamkan pengertian tentang perlunya pengembangan jenis-jenis energi terbarukan lainnya kepada setiap kalangan yang terkait.


Sampai hari ini, Pri memang belum tahu persis berapa total ahli geotermal di Indonesia, terutama yang perempuan. Tetapi di universitas-universitas lain di Indonesia, karena kesadaran kolektif tentang pentingnya geotermal, sekarang sudah cukup banyak orang yang menekuni panas bumi. Demikian pula sudah banyak perempuan yang bekerja di industri geotermal. Beberapa di antaranya adalah mantan mahasiswinya. Itu satu kegembiraan bagi Pri. Mereka bukan sebagai pesaing, melainkan mitra. Jadi adalah keharusan bahwa dirinya sebagai pendidik, bersinergi dengan peneliti atau praktisi.

Pri juga telah mengusulkan agar Geologi Panas Bumi menjadi mata kuliah wajib S-1, setidaknya di Teknik Geologi UGM terlebih dahulu. Dulu, hanya mata kuliah pilihan. Alasannya, negara kita kaya akan sumber panas bumi, maka pemuda-pemudinya harus melek panas bumi. Bila pada kurikulum sebelumnya hanya 2 SKS, ke depannya bisa menjadi 3 SKS agar ada waktu untuk praktikum. Pri kerap merasa miris, ia mengajar mahasiswa dari berbagai negara di Geothermal Institute lengkap dengan praktikum, namun mahasiswa di negeri sendiri hanya diberi kesempatan belajar 2 SKS. Tentu, bila seperti ini terus, dalam persaingan global kita pasti kalah.

Bersama mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata) UGM, Pri juga membuat Festival Panas Bumi tahun 2014 dan 2015 di Lahendong, Sulawesi Utara, yang kaya energi panas bumi. Pri mengajak mahasiswa peserta KKN agar menggiatkan peran serta masyarakat dalam pengembangan potensi panas bumi. Sebetulnya, panas bumi bukan hanya bisa dimanfaatkan sebagai energi listrik, tapi kawasannya juga bisa menjadi daya tarik wisata dan pengembangan ekonomi kreatif berbasis panas bumi, serta menjadi tempat untuk belajar tentang panas bumi. Dengan menjadi kawasan wisata yang dilengkapi dengan sarana pembelajaran publik, daerah-daerah dengan potensi panas bumi akan semakin laris sebagai tujuan pariwisata alam dan pendidikan. Festival Panas Bumi tersebut diadakan bekerja sama dengan masyarakat, pemerintah daerah, dan industri, untuk sama-sama merayakan panas bumi di Sulawesi Utara.


Pri menjelaskan, sebetulnya di daerah-daerah yang memiliki gunung api yang sumber panasnya masih aktif tetapu sudah tidak meletus, memiliki potensi panas bumi yang besar. Misalnya di Sumatera dan Jawa. Di Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku, juga terdapat potensi panas bumi. Penting juga diketahui bahwa negeri kita kaya akan semua potensi sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan selain panas bumi itu sendiri. Dari mulai energi matahari, air, angin, panas, dan arus laut. Kita hanya butuh pengelolaan yang baik sehingga secara bertahap dapat mengurangi ketergantungan terhadap energi tak terbarukan seperti minyak, gas, dan batu bara.

Sumber panas bumi yang berkualitas baik yang adanya di bawah permukaan memang tidak gampang ditemukan, tetapi memerlukan penelitian yang mendalam, sehingga keuntungan tidak diperoleh seketika. Ada tanda-tandanya yang muncul di permukaan yaitu manifestasi panas bumi seperti mata air panas dan keluar uap berbau belerang. Tapi, Pri menambahkan, masih banyak orang yang tidak fair terhadap panas bumi. Bau telur busuk yang timbul dari lokasi itu secara alamiah justru sebenarnya pertanda bahwa di bawah sana ada sumber panas bumi bertemperatur tinggi. Tinggal kita merunut, di manakah di bawah permukaan tanah di sana ada sumber energi panas.

Saat ini tinggal masalah tata kelola dan tata wilayah oleh pemerintah yang perlu dibenahi, agar jangan sampai terjadi dampak yang kontra produktif akibat tumpang tindih antara pemanfaatan suatu daerah untuk pengembangan energi panas bumi dengan peruntukan lain yang tidak saling mendukung. Menurut Pri, manusia yang harus menyesuaikan kondisi alam. Di negara lain hal ini sudah sukses diterapkan, misalnya banyak daerah panas bumi yang sekaligus dikembangkan menjadi tujuan wisata.


Di luar kesibukannya yang begitu banyak mengurusi masalah geotermal, Pri juga masih sempat melakukan hobinya traveling ke pelosok negeri, juga keluar masuk pasar tradisional. Kalau sedang jalan-jalan ke daerah, terkadang ia juga suka mencari kain tenun atau sekedar berbicara dengan penduduk setempat.


0 komentar:

Posting Komentar