Minggu, 27 November 2016



Ibu satu anak bernama lengkap Nyoman Sakyarsih ini tak menyangka perjalanannya ke delapan belas gunung bersama putra tercintanya, Maxwell Amertha menjadi perhatian publik. Sejak Max berusia lima bulan, Nyomie memang sudah mengajaknya melakukan perjalanan outdoor yang menantang. Wanita yang berprofesi sebagai dokter hewan ini mulai banyak dikenal publik saat membawa Max mendaki gunung Argopuro, Januari 2016. Saat itu usia Max masih 3,1 tahun. Itu adalah gunung ke 12 yang sudah mereka daki. Nyomie pun berjanji akan terus melakukan perjalanan dengan buah hatinya.

Keinginannya mengajak Max berpertualang, diawali dari kegiatannya yang cukup padat. Nyomie adalah seorang pekerja aktif, bahkan tidak mengenal kata weekend dan hari libur. Ia melakoninya hingga menikah di tahun 2012, dan melahirkan Max, 7 Desember 2012. Namun, cobaan hidup sempat menghampirinya. Singkat cerita, Nyomie harus berpisah dengan suaminya, ayah Max. Padahal saat itu umur Max baru berusia dua minggu. Hal itu cukup menguras pikiran Nyomie, belum lagi ia juga harus bekerja membiayai hidup Max. Tapi, setelah menyibukkan diri dengan bekerja, Nyomie justru malah stres dan sempat drop kesehatannya. Hingga akhirnya, ia terpikir untuk melakukan sesuatu bersama Max guna sejenak melupakan masalah. Tiba-tiba ada kliennya yang menawarkan open trip ke Bromo. Nyomie yang memang sedang butuh liburan langsung mengiyakan dan memutuskan mengajak Max ke Bromo, Mei 2013, waktu Max berumur lima bulan.


Karena Max masih bayi, maka persiapan pun Nyomie lengkapi dengan daftar panjang untuk mengantisipasi segala sesuatu. Nyomie sengaja memilih Bromo, karena ia melihat Max bisa tahan dengan udara dingin. Semua obat-obatan untuk antisipasi lengkap ia bawa, mulai dari antidiare, antidemam, antiflu, antiradang, hingga sembelit. Nyomie juga memakaikan Max baju hingga tiga lapis, berikut sarung tangan, topi, tutup kuping, syal, sampai emergency sleeping bag. Pertimbangan lain karena perjalanan ke Bromo ini waktunya cukup singkat. Rencananya, Subuh ia mulai naik sampai sunrise, kemudian agak siang sudah turun lagi.

Namun, Nyomie mengaku, tidak pernah memaksakan diri harus sampai puncak. Ia akan melihat lebih dulu kondisi Max. Ia berpikir, kalau nanti Max sampai rewel, ia rela bila harus berada di mobil saja, dan tidak naik sampai puncak. Tapi yang membuatnya merasa luar biasa, ternyata Max memang tahan banting. Max tetap tidur nyenyak dalam gendongan Nyomie. Bahkan, yang lucu, setiap Nyomie berhenti dan beristirahat, kaki kecil Max langsung menendangnya. Max seperti merasa keenakan. Setiap jalan rasanya seperti bergoyang. Dan tak disangka, akhirnya Nyomie bisa sampai puncak tanpa Max sekalipun rewel. Max terbangun ketika matahari mulai terbit dan langsung tersenyum. Sepertinya Max memang menikmati perjalanan trekking pertamanya ke Bromo bersama sang ibu. Nyomie pun senang bisa menikmati waktu berdua bersama Max.


Kenapa memilih perjalanan ke gunung, karena menurut Nyomie ada filosofinya. Saat itu ia sempat melakukan kontemplasi. Nyomie berpikir, apabila bisa melewati puncak gunung bersama Max, ia pun pasti akan bisa melanjutkan hidup berdua dengan Max dan menyelesaikan semua masalahnya. Ini menjadi kekuatan baru bagi Nyomie untuk menjalani hidup sebagai orangtua tunggal bagi Max. Alasan lainnya, kalau memilih liburan di tempat lain yang masih terjangkau sinyal, Nyomie pasti akan tetap gelisah memikirkan pekerjaannya. Sementara bila tidak ada sinyal, otomatis ia hanya fokus pada Max saja. Menurut Nyomie, kebanyakan kasus yang terjadi, karena orangtua sibuk mencari nafkah, jadi tidak dekat dengan anaknya. Nyomie tidak mau seperti itu.

Nyomie bercerita, dulu ketika berumur 8 tahun, ia memiliki pengalaman menyenangkan saat diajak ibunya sembahyang di kaki gunung Semeru. Lalu saat duduk di bangku SMAN 54 Jakarta, ia sempat bergabung dengan PASMA, organisasi pencinta alam. Kemudian saat kuliah, Nyomie juga kembali bergabung di organisasi pencinta alam. Tapi sayangnya, hanya setahun ia bergabung di organisasi pencinta alam UGM, karena akhirnya ia lebih tertarik ke organisasi pencinta hewan kecil. Jujur, Nyomie juga tidak pernah menyangka dan membayangkan mendaki menjadi hobinya yang sangat ia nikmati sekarang ini. Karena, saat bergabung dengan organisasi pencinta alam, ia juga lebih tertarik pada divisi caving dan rafting. Kalau tidak karena Max, Nyomie juga yakin tidak akan pernah bisa mendaki gunung sesering sekarang.


Setelah Bromo, Nyomie mulai ketagihan. Ia pun mulai menyicil mencari gendongan yang tepat untuk Max dan mencari teman untuk melakukan pendakian selanjutnya. Ditambahkan Nyomie, ada pengalaman juga yang membuatnya memutuskan harus selalu mendaki bersama Max. Ceritanya, suatu hari Nyomie ingin mengukur kemampuan, karena sudah lama tidak naik gunung. Karenanya ia mencoba tes fisik dulu dengan membawa carrier yang beratnya sama dengan berat badan Max saat mendaki Gunung Argopuro. Max ia titipkan ke pengasuh yang menunggunya di Yogyakarta. Nyomie sudah janjian dengan teman-teman mahasiswa pencinta alam yang bertemu di sosial media untuk berangkat bersama. Gunung Argopuro tidak terlalu tinggi, tetapi trek-nya cukup panjang, jadi lumayan untuk mengukur kemampuan fisik.

Saat pendakian, Nyomie sempat hilang dan terpisah dari rombongan. Ia ternyata melewati jalan singkat menuju ke puncak, sedangkan rombongan melewati jalur yang lain. Beberapa jam Nyomie menunggu, tetapi rombongan tak juga tiba. Padahal ia tidak membawa tenda dan perlengkapan yan cukup, hanya bekal makanan. Saat itu, hatinya berkecamuk, memikirkan nasibnya dan Max kalau sampai ia tidak selamat. Sebelum berangkat, Nyomie memang sudah uring-uringan, ditambah kejadian hilang dari rombongan, pikirannya makin drop. Untungnya, rombongan mencari dan selang beberapa lama berhasil menemukannya di puncak. Saat jalan pulang, Nyomie rasanya ingin menangis. Pikirannya hanya ingin bertemu Max. Detik itu juga Nyomie memutuskan kalau naik gunung lagi atau kemana-mana harus bersama Max.


Sampai saat ini, Nyomie sudah berhasil menaklukkan tak kurang dari 18 gunung. Itu semua tidak pernah ia targetkan. Bila ingin berangkat, ia tinggal jalan saja sambil melihat kondisi gunungnya. Selang waktunya ada yang berjarak dua bulan atau tiga bulan. Setelah Bromo, Nyomie jalan kembali ke Gunung Batur saat Max berumur 16 bulan. Saat itu Max sudah memakai tas gendongan khusus. Max pun terlihat makin senang. Selang tiga bulan kemudian, ia melanjutkan ke Dieng, Gunung Prau. Ketika Max berumur 1 tahun 8 bulan, Nyomie mengajaknya ke Gunung Agung dan Ijen. Kemudian Gunung Papandayan, Semeru, Sikunir, Rengganis, Merbabu, Slamet, Dempo Pagar Alam, Tambora, Gunung Lembu, Rinjani, dan Argopuro.

Namun, ada beberapa kondisi yang tidak bisa ia paksakan. Saat ke Gunung Agung misalnya, saat itu Nyomie dan Max tidak sampai ke puncak karena kondisi yang tidak memungkinkan. Waktu itu banyak batu sehingga akan mudah tergelincir. Nyomie pun memutuskan yang terbaik dengan tidak memaksakan diri. Untungnya, ia sudah mendapatkan view yang indah dan dapat foto yang bagus. Tapi akhirnya, di waktu lain ia kembali ke Gunung Agung dan bisa juga sampai puncak. Pernah juga saat hendak melakukan perjalanan ke Gunung Slamet, sebelum berangkat Max demam. Sehari sebelunya, carrier dan gendongannya sudah Nyomie rapihkan. Sepertinya, Max tahu dia akan kembali ke gunung. Nyomie pun sudah pasrah saja, kalau Max masih sakit, terpaksa rencana itu dibatalkan. Tapi ternyata Max cepat sembuh, bahkan ketika sampai puncak Slamet, dia senang sekali dan sehat. Begitu pula saat ke Merbabu, kondisi Max saat itu tengah pilek, tapi begitu sampai puncak Merbabu, dia justru sehat sekali. Nyomie menyebutnya ini proses self healing. Malah yang ada, ketika turun dari Merbabu justru ia yang sakit.


Perjalanan yang tidak bisa terlupakan adalah saat ke puncak Rinjani. Memang, peraturannya tidak boleh membawa anak di bawah umur 10 tahun. Saat itu bahkan Max belum genap berumur 2 tahun. Sudah diingatkan oleh Ranger-nya. Namun, saat duduk-duduk dengan penduduk, mereka menawari untuk menggunakan kayak. Akhirnya, Nyomie dan Max pun bisa melanjutkan perjalanan menuju puncak. Sempat di tengah perjalanan menuju puncak, Nyomie bertemu lagi dengan si Ranger, dan akhirnya ia di-blacklist. Tapi karena sudah kepalang tanggung, Nyomie tetap memutuskan ke puncak. Namun, setelah itu akhirnya ia tidak boleh lagi ke Rinjani. Menurut Nyomie, sebenarnya tidak hanya pengalaman mendakinya saja yang menyenangkan, tetapi juga banyak momen di perjalanannya. Ketika ia dan Max melakukan perjalanan ke Dempo Pagar Alam, misalnya, ia harus menempuh perjalanan darat selama tujuh jam melintasi medan berkelok dan mobil penuh asap rokok. Namun Max masih bisa menikmatinya. Lain waktu, ketika ke Tambora, ia dan Max harus menempuh perjalanan darat hampir dua belas jam dengan bus yang penuh dengan pakan ayam. Tapi Max tidak sedikit pun rewel. Nyomie pantas memuji Max sebagai anak yang hebat.

Perjalanannya bersama Max memang selalu membawa cerita dan momen tersendiri. Memang, pro dan kontra tidak bisa ia hindarkan. Sayangnya, banyak yang tidak mengikuti perjalanan ia dan Max dari awal. Padahal ada tahapan yang Nyomie lakukan. Yang penting adalah persiapan. Pertama, Nyomie harus melihat ketahanan Max dulu terhadap udara dingin, oleh karena itu ia mengajaknya dulu ke Bromo. Kemudian Nyomie mencoba naik gunung dalam waktu singkat dengan mengajak Max ke Gunung Batur. Ia mencoba naik lagi dengan menginap semalam, dan ternyata Max pun masih bisa. Sampai Nyomie melihat Max bisa diajak melalui trek panjang ataupun trek yang cukup sulit.


Itu tentu butuh waktu yang cukup lama. Nyomie juga selalu siap mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan, oleh karenanya perbekalan dan persiapan untuk Max saat naik gunung sangat penuh dan tidak bisa dinego. Nyomie punya manajemn yang sangat ketat saat mendaki gunung. Mulai dari survei hingga estimasi di lapangan. Ia memastikan Max tidak lapar, jadi bekal itu sangat penting. Nyomie juga melatih Max agar bisa beradaptasi dengan orang lain dan lingkungan baru. Untungnya, Max termasuk anak yang cuek, jadi tidak masalah. Yang juga penting, Nyomie tidak membebaskan Max begitu saja. Ia harus mengawasinya betul-betul. Misalnya, Max harus menggunakan jaket, maka ia akan memakaikannya, dan ketika Max berontak bermaksud melepaskan, tetap tidak diizinkan, karena memang harus mengikuti aturan yang berlaku. Itu agar panas badannya tetap terjaga dan tidak keluar. Memang cukup banyak dan repot sekali persiapannya dan itu selalu Nyomie patuhi sehingga tidak ada masalah saat harus mengajak Max naik gunung. Nyomie berusaha mengikuti intuisi, bukan ambisi.

Keuntungan dari selalu membawa anak saat traveling, Nyomie bisa mendapatkan ikatan batin yan kuat dengan Max. Apalagi Max adalah anak berkebutuhan khusus, namun ternyata tetap bisa mengikuti aturan dan terkontrol saat melakukan perjalanan dengan ibunya. Walau belum bisa banyak bicara, tapi setidaknya saat ini Max sudah cukup komunikatif. Bisa berkomunikasi dengan tatap mata dan sudah bisa mengekspresikan dengan pelukan. Saat harus melewati trek panjang, Max cukup tabah dan sabar. Seperti yang sudah Nyomie ceritakan sebelumnya, ketika harus melewati perjalanan darat yang melelahkan seperti saat ke Dempo dan Tambora, Max bisa membuat perjalanan berat tersebut dengan tenang dan baik sekali. Nyomie juga masih melihat Max bisa menikmati waktunya seperti anak-anak lainnya. Di puncak dia juga bermain mobil-mobilan. Max juga suka bermain air di danau dan jumpalitan kalau bertemu padang savanna. Melihat anak yang terlihat bahagia dan senang, tentu Nyomie jadi jauh lebih bahagia saat ini.


Nyomie dan Max juga tidak pernah menargetkan rencana mereka ke depan. Mungkni yang diinginkan dalam waktu dekat, Nyomie ingin mencoba mengajak Max naik Gunung Kerinci. Kebetulan Max suka sekali bermain air di danau. Dan di Gunung Kerinci terdapat padang sabana yang pasti akan bisa Max nikmati, sambil melakukan kesenangannya loncat-loncat. Kalau masih bisa jalan bersama Max, Nyomie akan jalan sesanggupnya saja. Kalau nanti Max sudah sekolah, tentu juga harus mencocokkan dengan jadwal sekolahnya. Nyomie tetap ingin mengutamakan sekolah Max. Tetapi, menurut Nyomie, ternyata Max memang travelmate sejati dan anak yang luar biasa. Kalau bukan karena Max, Nyomie tidak bisa membayangkan bisa menjejakkan kaki lagi ke gunung-gunung yang telah mereka datangi itu.


0 komentar:

Posting Komentar