Senin, 14 November 2016


Ibu satu anak asal Malang, Jawa Timur, ini benar-benar tangguh. Kemiskinan memaksanya mencari uang untuk biaya sekolah dengan jalan mengamen dan menyemir sepatu di jalanan. Menginjak usia remaja, ia memilih menjadi seorang TKW. Ternyata, cobaan belum usai menyapanya. Sang suami menikah lagi. Dalam waktu hampir bersamaan, dia ditinggal pergi sang ibu akibat kanker payudara. Cobaan-cobaan itu nyaris membuatnya bunuh diri. Namun, ia akhirnya malah termotivasi untuk berbuat baik bagi sesama. Sepulang menjadi TKW, bersama suami barunya, dia mendirikan yayasan sosial untuk membantu masyarakat miskin yang sakit, serta anak-anak dari keluarga kurang mampu. Yayasan itu ia beri nama Yayasan Peduli Kasih KNDJH, singkatan dari Kisah Nyata dan Jeritan Hati. Nama yayasannya memang terdengar unik, tapi di balik nama itu memang ada kisah yang melatarbelakanginya.

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, Nur lahir dari keluarga yang tidak mampu. Ketika masih bayi, kedua orangtuanya, Imam Rahmadi dan Sri Nurhayati bercerai. Nur lalu ikut ibunya yang tinggal bersama adik-adiknya, yang juga sama-sama miskin. Ibunya bekerja sebagai penjahit, hasilnya untuk menopang kebutuhan hidup. Ketika SD, sore sampai malam hari Nur mengamen dan menjadi tukang semir sepatu di alun-alun Malang untuk memenuhi kebutuhan sekolah. Pekerjaan itu ia lakukan sampai lulus SD. Begitu masuk SMP, ia mulai merasa malu mengamen karena sudah besar. Karena tak ada biaya, Nur hanya tiga bulan mengenyam bangku SMP, lalu harus berhenti. Karena tidak memiliki pekerjaan, tahun 1996 saat usianya masih 14 tahun, Nur memutuskan mengadu nasib menjadi TKW di Singapura. Saat itu administrasi ketenagakerjaan memang masih gampang dimanipulasi. Jadi usianya sengaja dituakan agar bisa memenuhi syarat menjadi TKW.

Tapi lagi-lagi nasib baik belum berpihak padanya. Di Singapura ia bertemu majikan yang kurang baik. Pernah, karena ia tidak mengerti cara menggunakan rice cooker, wajahnya ditampar sampai lebam. Karena majikannya ketakutan, Nur lalu diberi uang Rp 3 juta dan diminta pulang. Tapi ia tidak mau. Ia memilih pindah ke majikan baru yang untungnya orangnya lebih baik. Jerih payahnya sebagai TKW selain disimpan, juga untuk membantu ibunya di Malang. Tahun 1999, Nur pulang ke Malang dan menikah. Tapi awal tahun 2001 ia kembali lagi menjadi TKW ke Hongkong. Keputusannya kembali menjadi TKW juga ada alasan tersendiri. Karena, suaminya juga berasal dari kalangan yang tidak mampu, sehingga secara ekonomi keluarganya berantakan. Apalagi adik-adik suaminya juga masih sekolah. Karena kasihan, Nur pun berkorban dengan berangkat mencari nafkah lagi menjadi TKW ke Hongkong. Penghasilannya menjadi TKW setiap bulan ia kirim untuk suami dan keluarganya, serta untuk ibunya. Nur sendiri baru bisa pulang dua tahun sekali karena hanya mendapat cuti  selama 2 minggu.

Ternyata, selama Nur berada di luar negeri, sang suami tidak bisa menjaga kesetiaan. Diam-diam dia menjalin hubungan gelap dengan perempuan lain. Puncak musibah terjadi tahun 2010, Nur mendapat kabar suaminya menikah lagi. Padahal, hasil kerjanya selama menjadi TKW itu ia harapkan dipakai untuk membuatkan rumah, termasuk kendaraan, dan biaya sekolah adik-adiknya. Yang lebih menyakitkan lagi, pernikahan itu tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tapi memakai pesta yang cukup meriah. Belum usai pedih di hati, sepuluh hari sejak pernikahan suaminya, tengah malam Nur mendapat kabar ibunya meninggal dunia akibat kanker payudara. Hatinya pun hancur berkeping-keping. Ingin pulang tapi ia sudah tidak punya uang sepeser pun mengingat gajinya setiap bulan sudah ia kirim ke Indonesia. Yang membuat Nur menyesal sampai saat ini, saat itu Nur terlalu stres memikirkan suaminya sampai abai dengan keadaan ibunya.

Saking pedihnya, Nur sempat mau bunuh diri. Tapi untungnya ia cepat tersadar dan membatalkan niatnya itu. Usai menikah lagi, suaminya langsung menceraikannya dan setelah itu pergi dengan membawa anak mereka, Alfin. Nur pun nyaris tidak punya siapa-siapa lagi. Di tengah kesendirian di negeri orang, timbul perasaan ingin berbagi pada sesama. Perasaan itu muncul sebagai penebus rasa kecewa atas kepergian ibunya. Nur berpikir, uang penghasilannya sebagai TKW sebaiknya ia sumbangkan saja kepada orang tidak mampu yang sedang sakit di Malang atau sekitarnya. Ketika ide tersebut muncul, kebetulan atas bantuan teman, Nur bisa bertemu dan berkomunikasi dengan Saiful Bahri, teman sekampungnya semasa kecil di Malang.

Ternyata Saiful pun memiliki misi yang sama, mempunyai keinginan membantu orang miskin tetapi terbentur tidak punya biaya sebagai modal. Karena mereka banyak memiliki kesamaan pandangan, akhirnya Nur dan Saiful jadi dekat dan rajin berkomunikasi. Saat rajin berkomunikasi itu, Nur meminta Saiful mencarikan orang sakit yang tidak mampu. Nur yang nanti akan menanggung biayanya. Saiful pun dengan senang hati melakukan permintaan tersebut. Melalui temannya di berbagai daerah, Saiful mencari calon pasien miskin yang butuh bantuan. Begitu ada informasi, ia langsung mengunjungi rumah calon pasien untuk melakukan survei, apakah betul pasien tersebut dari warga miskin. Kalau memang benar, Saiful segera melaporkan kepada Nur, dan Nur langsung mentransfer uangnya, begitu seterusnya.

Nur juga punya ide, agar jumlah sumbangan cukup besar, penuturan Saiful tentang kisah orang-orang yang perlu bantuan tersebut Nur tulis tangan menjadi sebuah cerita. Kisah-kisah yang sudah ia tulis itu lalu difotokopi dan dijual kepada teman-temannya sesama TKW. Kebetulan, di hari-hari tertentu mereka saling bertemu. Kisah para pasien tersebut Nur beri judul Kisah Nyata dan Jeritan Hati (KNDJH). Begitu membaca, teman sesama TKW biasanya dengan senang hati membantu dengan cara saweran, apalagi kalau kisahnya mengharu biru. Jadi, cikal bakal nama yayasan yang ia dirikan itu sebenarnya berasal dari buku cerita yang ia jual kepada teman-temannya tadi.

Hubungan Nur dengan Saiful dari yang semula pertemanan biasa, lama kelamaan jadi dekat secara batin. Apalagi, antara mereka juga mempunyai persoalan rumah tangga yang hampir sama. Pernikahan Saiful juga kandas di tengah jalan akibat ditinggal pergi istrinya begitu saja. Tahun 2014, Nur kembali pulang ke Malang. Karena ia dan Saiful sudah sama-sama sendirian, mereka pun sepakat menikah.

Setelah menikah, Nur dan Saiful semakin melebarkan sayap. Uang tabungan semasa di Hongkong Nur gunakan untuk membangun rumah peninggalan ibunya. Rumah di Jl. Muharto, Kota Madya Malang itu lalu ia pergunakan sebagai rumah singgah bagi pasien dari luar kota. Saat waktunya kontrol atau berobat, Nur dan Saiful juga yang mengantar ke rumah sakit, demikian seterusnya. Rumah singgah tersebut juga dipergunakan sebagai tempat berkumpul anak-anak sekolah dari keluarga kurang mampu. Anak-anak yang jumlahnya 40 lebih tersebut setiap minggu Nur kumpulkan untuk melakukan berbagai aktivitas.

Saat ini Nur sudah memiliki dua mobil. Satu mobil minibus biasa dan satunya ambulans. Jadi, kalau pasien masih bisa duduk, Nur akan jemput dengan mobil biasa. Tetapi kalau pasien hanya bisa terlentang atau tiduran, ia akan jemput dan antar menggunakan ambulans. Selain untuk membawa pasien, ambulans itu juga ia gratiskan untuk umum, namun hanya untuk wilayah Malang dan kota sekitarnya saja. Untuk biaya operasional yayasan termasuk pengobatan pasien, selain dari tabungan semasa menjadi TKW, Nur juga mengambil dari berbagai sumber. Kebetulan, suaminya memiliki usaha konveksi dan sablon kecil-kecilan.

Nur sudah menerapkan teknis khusus untuk membantu pasien tidak mampu. Jadi, begitu ada pasien tidak mampu yang butuh pertolongan, ia bersama relawan akan menjemput ke rumahnya untuk dibawa ke rumah sakit. Setiba di rumah sakit langsung ia buatkan kartu BPJS. Nanti kalau BPJS sudah bisa dimanfaatkan, barulah pembayarannya ia alihkan ke BPJS. Tetapi untuk pondokan, pengantaran, makan selama di rumah singgah, sampai pendampingan selama proses pengobatan, akan tetap dibantu sepenuhnya. Tapi secara jujur Nur akui, keberadaan BPJS ini justru malah makin menyulitkan para pekerja sosial seperti yang dilakukan Nur saat ini.

Nur merasa, keberadaan BPJS kadang bukan meringankan, tapi malah makin memberatkan. Salah satu contoh, ketika menangani pasien, langkah pertama Nur adalah mendaftarkan ke BPJS. Padahal, BPJS baru bisa digunakan dua minggu sejak pendaftaran. Akibatnya, biaya pengobatan, perawatan atau opname dua minggu pertama terpaksa Nur yang menanggung. Selain itu, meski yang sakit hanya satu orang, tetapi karena di BPJS ada peraturan tidak boleh diri sendiri yang didaftarkan, tetapi harus seluruh keluarga. Maka mau tidak mau Nur memang harus mendaftarkan seluruh keluarga pasien ke BPJS.

Sekarang ini ada sekitar 100 relawan yang tersebar di berbagai daerah yang siap membantu Nur. Nur mengatakan para relawannya sangat hebat. Mereka tidak hanya membantu mengevakuasi pasien dari rumahnya menuju rumah sakit saja, tapi juga mendampingi selama di rumah sakit secara bergantian, bahkan kadang rela mengeluarkan uang pribadi untuk pasien. Nur ingin sisa hidupnya bisa bermanfaat bagi sesama. Itu saja pedoman Nur.


0 komentar:

Posting Komentar