Jumat, 14 Oktober 2016


Tanggal 28-29 April 2016, kota Solo dipercaya menjadi tuan rumah perhelatan World Dance Day atau Hari Tari Sedunia, sebuah hajat besar yang bertujuan mengangkat kembali kejayaan seni tradisi. Ternyata, di balik event besar tersebut, ada nama Eny Sulistyowati, SPd, SE, pimpinan Tri Andhika, selaku sponsor utama acara tahunan tersebut. Ibu 3 anak ini ternyata bukan orang baru di dunia seni. Sejak kecil, ia telah jatuh cinta pada seni tradisi, khususnya kesenian Jawa.

Hari Tari Sedunia yang digelar setiap tahun ini, pada tahun 2016 merupakan perayaan yang kesepuluh. Tetapi Eny menyayangkan, entah kenapa perhelatan ini rasanya kurang terekspos, bahkan agak terabaikan, Padahal, ini adalah hajat besar bagi insan seni tari. Sudah sejak lama, Eny memang ingin bisa menyelenggarakan event budaya yang luar biasa besar. Ia pun bekerja sama dengan Pemerintah Kota Solo dan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Acara tersebut juga berangkat dari kegelisahan dan keprihatinannya melihat kesenian tradisi yang semakin redup akhir-akhir ini. Maka Eny berharap jangan sampai semangat untuk tetap menghidupkan kesenian tradisi surut. Dengan digelarnya event Hari Tari Sedunia di Solo, ia berharap mendapat perhatian masyarakat supaya teman-teman seniman tari tetap bergairah untuk menelurkan karyanya. Dengan demikian seni kebanggaan kita tidak hilang ditelan jaman.


Eny meyakini, sebenarnya masih banyak anak muda yang tetap mencintai seni tradisi, meski budaya cepat saji terus menerus hadir tanpa henti. Harus dimaklumi, masyarakat Indonesia kini berada dalam tegangan dua kultur. Di satu sisi tetap memegang seni tradisi (lama), sementara pada sisi lain harus menerima nilai modern (baru), dari kultur asing yang mendunia. Masyarakat, terlebih kaum muda kini cenderung memilih seni budaya massa (pop) ketimbang budaya lokal, termasuk kesenian tradisi. Euforia kultur global ini ditandai dengan membanjirnya berbagai produk telekomunikasi elektronik. Termasuk pergeseran nilai serta berlangsungnya transformasi sosial budaya. Masyarakat dimanjakan betul oleh berbagai fasilitas media dengan tontonan dan informasi menarik. Menurut Heny, sudah banyak pihak yang menyampaikan kegelisahan dan keprihatinannya mengenai kesenian tradisi yang semakin redup. Akhir-akhir ini kesenian tradisi, khususnya seni tradisi Jawa, mengalami masa-masa sulit. Namun, seharusnya ini tak menyurutkan semangat untuk tetap menghidupkan kesenian tradisi. Salah satunya melalui pendekatan manajemen kelola pertunjukan profesional.

Eny berpendapat, sudah seharusnya seni pertunjukan tradisional dapat dikelola lebih profesional agar lebih menarik, estetis, memiliki cita rasa universal, dan tetap punya ketahanan nilai. Ada beberapa penyebab kenapa masyarakat, terutama anak-anak muda, cenderung lebih menyukai budaya pop. Menurut Eny, masyarakat saat ini cenderung dinamis dan gampang bosan. Mereka lebih menyukai hal-hal yang glamour, mudah dinikmati, dinamis, variatif, dan praktis. Termasuk dalam hal mencari hiburan dan rekreasi. Sementara kesenian kita seringkali kalah menarik. Misalnya sarana dan prasarana, atau artistik pementasan yang terkesan konvensional. Penggarapan teaterikalnya terasa monoton dan tidak berkembang. Tak heran jika ini berimplikasi pada menyusutnya jumlah penonton pementasan seni tradisi.


Pada acara Hari Tari Sedunia di Solo, selama dua hari kota Solo menjadi panggung terbuka untuk para seniman tari. Mereka menggelar karya fenomenal spketakuler, Solo Menari 24 Jam Non-stop. Artinya ada penari yang terus bergerak selama 24 jam. Di sana berbagai tarian digelar, baik berbasis klasik tradisi maupun seni tari kontemporer yang digarap secara kolosal, dengan melibatkan para seniman tari dari berbagai keraton di Indonesia. Selain menari kolosal, acara juga dimeriahkan oleh kehadiran para penari dari mancanegara seperti Tiongkok, Malaysia, Vietnam, dan Singapura. Pada event tersebut, Eny juga sudah menyiapkan satu karya kontemplatif yang dinamakan Tari Bedhaya. Sebuah penampilan seni tari berdurasi 25 menit yang merupakan manifestasi kekuatan batin seorang seniman ketika menemukan sebuah kedalaman makna yang disebut 'rasa yang tanpa rasa'. Eny mengatakan, pencapaian tertinggi seorang seniman tari adalah ketika dia sanggup menciptakan sebuah bedhaya. Dan karya yang Eny tampilkan itu adalah hasil dari sebuah pengembaraan imajinya selama ini melalui berbagai kontemplasi yang ia dapatkan dengan semangat memberi arti bagi jati diri bangsa.

Dengan mantap Eny menyebut bahwa cinta adalah latar belakang yang membuatnya begitu perhatian terhadap seni tradisi. Karena kalau bukan karena cinta, tentu tidak bisa. Jadi, rasa cinta terhadap seni itu sudah ada di dalam dirinya. Dalam diri Eny juga mengalir darah seni, masa kecilnya pun dipenuhi aktivitas seni, ditunjang lagi dengan kemudian ia masuk sekolah seni. Setelah itu Eny sempat menjadi entrepreuneur. Namun jiwa seninya yang sempat lama terpendam akhirnya bangkit lagi. Eny sadar ternyata jiwanya memerlukan seni. Dengan kata lain hidupnya tidak bisa lepas dari seni.


Eni sudah senang menari sejak masih anak-anak di Solo. Ibunya, Almh. Sulastri, sering membelikan kaset wayang orang, yang ia dengarkan berulang-ulang sampai hapal percakapannya, sambil membayangkan adegannya seperti apa. Suatu hari, ibunya mengajak nonton pertunjukan wayang orang. Sepulang dari menonton, Eny terbawa pikiran yang aneh, mau menjadi artis wayang. Awalnya Eny berpikir itu hanya impian seorang anak SD saja, tapi ternyata sekarang ia betul-betul mewujudkannya. Eny juga suka mendengarkan orang yang punya hajat menyetel wayang kulit semalam suntuk atau menonton pagelaran wayang kulit sampai Subuh tanpa mengantuk. Ia sendiri mengaku cukup heran, mengapa dirinya yang saat itu masih kecil sudah tahan tidak tidur demi menonton pagelaran wayang, meskipun tidak mengerti artinya. Setelah SMP, Eny mengikuti ekstrakurikuler keterampilan menari dan karawitan di sekolah serta mengikuti berbagai pentas yang diadakan di sekolah. Tapi, setelah SMA, Eny mulai mencari jati diri dengan lebih menyukai kesenian yang ngepop, dan ia terobsesi dengan grup tari Swara Mahardika. Lantas bersama teman-temannya ia membuat koreografi kecil-kecilan, hanya sekedar untuk eksis.

Menjelang kuliah, Eny bercita-cita menjadi entrepreuneur. Ia harus berdiri memimpin anak buah sendiri dan sebagainya. Sebuah angan-angan saat SMA, tetapi rupanya tercapai juga. Tapi sayangnya, ayahnya yang menjadi abdi negara, saat itu mengarahkan untuk memilih jurusan seni di IKIP Surabaya. Maksudnya, supaya kelak Eny bisa menjadi guru atau pegawai pemerintah. Eny pun mencoba patuh dan menjalani kuliah seni sampai lulus, walaupun akhirya ia tidak bekerja di bidang itu. Eny malah menekuni bidang entrepreneurship. Dimulai dari bekerja pada perusahaan orang lain, lalu mendirikan perusahaan sendiri di sebuah ruko kecil di Solo, hingga kini memiliki beberapa perusahaan tambang, kargo, dan travel. Kesibukannya mengembangkan perusahaan membuatnya vakum dari kegiatan seni selama 10 tahun. Ternyata, itu berbuah kejenuhan yang kronis dalam pikirannya sampai membuat ia sakit. Eny sempat mengalami pendarahan. Entah sudah berapa dokter yang ia temui, namun penyakitnya tidak sembuh-sembuh. Hingga salah seorang dokter menganjurkan agar ia mencari kesibukan yang menyenangkan hati. Saat itu Eny sempat terpikir untuk berlibur ke berbagai daerah wisata, namun hasilnya tetap saja nihil. Penyakitnya berangsur sembuh justru setelah ia kembali masuk ke komunitas seniman tradisi. Di sana Eny menemukan berbagai kegembiraan dan kebahagiaan yang pada akhirnya menyembuhkan penyakitnya. Dokter pun mengatakan, kesembuhan penyakitnya baru bisa datang setelah terjadi keseimbangan antara otak kiri dan kanan melalui kegiatan seni yang dijalani Eny.


Terhitung sejak 2012, Eny mulai berkiprah dalam berkesenian. Dimulai dari pementasan drama tradisional Cupu Manik Astagina dan Sumpah Abimanyu. Tahun berikutnya, ia menjadi produser dan pemain opera sejarah bertajuk Ken Dedes Wanita di Balik Tahta di Jakarta dan Surabaya. Lalu, tahun 2014 Eny memproduseri pementasan Wayang Wong Mahabandhana (Kekuatan Tali-Tali Berbisa) di Gedung Kesenian Jakarta dan di Surabaya. Kemudian ia juga ikut mendukung pementasan Wayang Orang Sriwedari, Soma Brata yang digelar di Sasono Langen Budoyo, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.

Eny bersyukur keluarga, khususnya ketiga anaknya, sangat mendukung kegiatannya di bidang seni, bahkan mereka kini juga sudah mulai menunjukkan bakat menekuni seni. Anak bungsunya, Ghaniya Ardhikabara Salsabilla, diam-diam senang memainkan wayang layaknya dalang. Sementara sang kakak, Fina Agustine Ardhika, hobi menari dan sering tampil di acara kesenian sekolahnya. Lalu si sulung, Muhammad Ardhika, amat menyukai musik dan kini sudah hidup mandiri. 





0 komentar:

Posting Komentar