Senin, 18 Juli 2016



Impian menjadi sarjana dan guru tertanam kuat di benak perempuan hebat kelahiran  Ciamis, 2 Mei 1987 ini. Masa kecilnya yang serba kekurangan ia jadikan mesiu untuk merawat cita-citanya mengenyam pendidikan, bahkan hingga ke jenjang tertinggi. Istri dari Aditia Ginantaka ini memilih menjadi TKI demi menabung uang untuk biaya kuliah. Lulus cum laude dari Saint Mary’s University, Hongkong, Heni Sri Sundani, yang akrab dipanggil Jala Dara, pun kembali ke kampung halamannya dan mendirikan Gerakan #AnakPetaniCerdas.

Heni bercerita, sejak kecil ia memang selalu bilang kepada neneknya yang biasa ia panggil Emak ingin menjadi guru. Namun ia ingin menjadi guru yang tidak perlu dibayar agar orangtua muridnya tidak perlu bersedih karena harus menjual beras dan hasil kebun untuk membayar sekolah dan buku-buku yang mahal. Hal seperti itu mengingatkan Heni pada masa kecilnya. Saat SD, Heni kecil harus menempuh 1 jam berjalan kaki untuk mencapai sekolah. Melewati empang, sawah, dan perkebunan karet yang gelap. Heni hanyalah anak buruh tani miskin. Sang ibu memilih bekerja di Bekasi usai berpisah dengan sang suami. Heni kecil kemudian dititipkan ke Dodoh, sang nenek, tinggal di desa Cikadu, Rancatapen, Ciamis.


Tak ada jalan aspal mulus, dan tak ada listrik di desa terpencil itu. Setiap malam, Heni belajar dan mengerjakan PR di bawah temaram cahaya lampu minyak. Di sampingnya, Emak setia menjaga lampu minyak itu dengan kedua tangannya supaya tidak mati tertiup angin yang menyeruak masuk dari celah-celah dinding bambu rumah. Pagi-pagi, Heni harus membersihkan mukanya yang hitam karena jelaga lampu teplok, sebelum berangkat ke sekolah. Maka dari itu, Heni akan merasa paling sedih ketika sampai di sekolah, ternyata gurunya tidak datang, entah karena sakit atau karena urusan lain. Atau bila gurunya hadir, tapi lupa kalau memberi PR. Sejak itu, Heni berjanji pada dirinya sendiri, ia harus menjadi guru. Tapi guru yang baik, yang tak pernah menyia-nyiakan semangat belajar murid-muridnya.

Lulus SD dengan nilai ujian nasional tertinggi di sekolahnya, Heni melanjutkan ke SMP. Pilihan yang tidak biasa bagi anak miskin di kampungnya saat itu. Tetangganya pun mencibir. Berbekal uang pesangon ibunya, Heni akhirnya diterima di SMP yang jaraknya 2 km berjalan kaki dari rumah. Karena tak punya uang saku, setiap hari ia membawa bekal seadanya, nasi garam berbungkus daun pisang. Di SMP, Heni berhasil mendapat beasiswa. Di SMP itu pula, hobi membaca Heni tertanam. Ia mendapat penghargaan sebagai siswa yang membaca buku paling banyak. Ia biasa menghabiskan waktu istirahat sekolah di gudang tua bekas perpustakaan sekolah yang menyimpan banyak buku. Meski kondisi bukunya sering sudah tak utuh, di gudang tua itu ia berkeliling dunia melalui buku. Heni pun mengaku hingga SMK, seragam sekolahnya tak pernah lebih dari satu. Jadi kalau saat kehujanan, ia buru-buru menggantung seragam yang basah di atas tungku, agar besoknya bisa dipakai lagi.


Selepas SMP, Heni mendapat beasiswa melanjutkan ke Sekolah Menengah Kejuruan dan berhasil menyelesaikannya dengan baik. Namun, pendidikan 9 tahun yang sudah ia lalui masih jauh dari cita-citanya. Ia harus melanjutkan sekolah setidaknya 4 tahun lagi supaya bisa menjadi sarjana dan guru. Akhirnya, Heni memutuskan berangkat menjadi TKI ke luar negeri demi memperoleh biaya untuk melanjutkan kuliah. Ia mendapat pekerjaan di Hong Kong. Di sana, sambil bekerja, ia kuliah IT dengan metode jarak jauh tanpa sepengetahuan majikan. Ia juga mampu membeli laptop dari hasil tabungan selama bekerja. Heni yang suka menulis juga sering mengirimkan tulisan ke berbagai koran dan majalah berbahasa Indonesia di Hong Kong. Ia juga rajin mengikuti lomba penulisan, aktif berorganisasi, baik organisasi kepenulisan maupun advokasi buruh migran.

Berbeda dengan majikan pertama, majikan kedua Heni sangat baik. Mereka memberi semangat, membantu, dan menginspirasi Heni untuk menyelesaikan kuliah. Mereka pun menganggap Heni sebagai keluarga. Heni kemudian mengambil kuliah Bisnis di Jurusan Manajemen Wirausaha Saint Mary’s University, Hong Kong. Selain menyelesaikan tugas-tugas kuliah, Heni juga makin produktif menulis. Selama 6 tahun di Hong Kong, ia menulis lebih dari 17 buku dan puluhan tulisan lain yang dipublikasikan di berbagai media, baik di Hong Kong maupun Indonesia. Heni juga mengisi waktu liburnya dengan mengajari teman-teman TKI lainnya. Ia rutin membawa koper buku ke tempat kumpul teman-teman sesama TKI. Heni mengajak teman-teman TKI itu untuk membaca buku agar mindset mereka berubah. Ia selalu mengatakan, jangan mau menjadi TKI seumur hidup, tapi harus punya cita-cita yang lebih besar. Karena tanpa cita-cita dan impian, seseorang akan menua dengan sia-sia.


Akhirnya, Heni berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan predikat cum laude. Tibalah saatnya ia memenuhi permintaan neneknya dan panggilan jiwanya menjadi guru. Sebelumnya, Heni sempat bekerja di sebuah bank di Hong Kong dengan gaji yang besar. Namun, panggilan jiwa untuk kembali ke kampung halaman ternyata jauh lebih kuat. Sebelum pulang ke kampung halaman, Heni sempat mengikuti Festival Sastra Internasional di Ubud, Bali. Tulisannya berjudul Surat Berdarah Untuk Presiden mendapat banyak apresiasi dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Setiba di kampung halaman, Heni tercekat. Ia menangis sedih. Ternyata kampungnya tidak berubah. Jalanan tanah gundul yang ia lewati sejak SD pun masih sama. Teman-teman bermainnya telah menua, punya banyak anak, dan kehidupannya tak lebih baik dari orangtuanya. Heni lantas berinisiatif membuka perpustakaan di rumah orangtuanya di kampung. Singkat cerita, setelah dipersunting Aditia Ginantaka, Heni pindah ke Bogor. Belakangan, ia baru tahu bahwa di sekitar perumahan yang ia tinggali, ternyata banyak warga yang hidup jauh dari layak. Banyak di antara mereka yang tinggal di rumah-rumah reyot yang dihuni 2 hingga 3 keluarga. Padahal, satu keluarga paling sedikit punya 3 anak.


Anak-anak kampung itu bermain, berlarian bertelanjang kaki dengan baju lusuh bahkan sobek. Kalau hujan mereka masih memakai payung daun talas. Mereka mengingatkan Heni pada masa kecilnya. Dan Heni merasa harus melakukan sesuatu. Bersama sang suami, kemudian ia menggagas Gerakan #AnakPetaniCerdas, sebuah langkah untuk mendidik dan memberikan pendampingan belajar kepada anak-anak petani miskin. Ia menerapkan pendidikan fun learning by doing, sehingga anak-anak petani miskin itu bisa mendapat pengalaman belajar yang menyenangkan dan memahami kenapa belajar itu penting. Heni selalu menanamkan bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk memutus mata rantai kemiskinan.

Gerakan #AnakPetaniCerdas yang awalnya membantu 70 anak dari 2 kampung, kini telah berkembang di 7 kampung dengan lebih dari 800 anak. Tak hanya anak petani, tetapi juga anak asisten rumah tangga, anak TKI, tukang ojek, bahkan anak-anak pemulung. Background kemampuan menulis yang Heni miliki juga sangat membantu. Heni mulai sharing gerakan itu di media sosial yang kemudian menggerakkan banyak orang. Banyak yang datang menjadi relawan, donatur pun kini juga tersebar di 5 benua. Jadi, sebetulnya menurut Heni, orang baik itu banyak tapi terkadang mereka tidak tahu bagaimana menyalurkan kebaikan mereka. Dari para donatur itulah, Heni mendapat bantuan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang ia lakukan. Kini, tak hanya pendidikan yang menjadi area aktivitas Heni. Ia juga melakukan puluhan aktivitas sosial lain dan sudah menjangkau ke berbagai kota antara lain Bogor, Ciamis, Bandung, Banjar, Tasikmalaya, Majenang, Indramayu, Cirebon, Bekasi, dan Pekalongan.


Heni tak pernah melupakan jasa Emak, orang yang sangat ia cintai dan kini telah tiada. Dari beliaulah Heni belajar banyak. Emak orang yang terus mendorongnya untuk menjadi manusia yang tulus mencintai dan membantu. Emak juga selalu mendorongnya untuk sekolah dan mengaji, apa pun yang terjadi. Secara tidak sadar, Emak telah menanamkan pendidikan karakter yang sangat baik. Dari Emak, Heni menemukan bahwa cinta adalah ratusan, bahkan jutaan hal kecil sederhana yang terus menerus kita lakukan dan berikan untuk orang-orang yang kita sayangi. Heni juga belajar bahwa ia tak boleh menyerah dan harus terus sekolah. Seandainya ia menyerah ketika SD, mungkin ia sekarang sudah menjadi buruh tani dengan banyak anak. Heni memilih jalan terus bersekolah karena ia tahu jalan itu ujungnya indah.

1 komentar: