Selasa, 05 Mei 2015




Ibu empat anak ini sudah menatap laut pada saat banyak orang menepikannya. Ia membentuk lembaga pendidikan nonformal yang mengajar para siswa tentang kelautan dan beragam potensinya. Bukan hanya soal ikan, tapi juga soal terumbu karang, mangrove, rumput laut, dan potensi lainnya. Namun terkadang, ada kegelisahan yang ia rasakan bila berbicara tentang kelautan Indonesia. Ia menyadari, betapa laut kita yang sangat kaya raya, tapi belum maksimal dikembangkan. Ia memberi contoh, saat berkunjung ke Vietnam, di sana melihat terumbu karang sudah bisa dimanfaatkan untuk cangkok tulang punggung. Padahal, Vietnam bukanlah negara yang memiliki terumbu karang terbaik. Beda dengan di Indonesia, terumbu karang belum banyak dimanfaatkan, padahal kita punya kekayaan terumbu karang yang luar biasa.

Nada gelisah juga terucap ketika ia memaparkan fakta, delta sungai di Brunei Darusalam menjadi sumber daya minyak yang besar. Padahal, Indonesia juga punya banyak delta sungai yang luas di beberapa tempat di luar Jawa. Tapi, mengapa tidak pernah ada yang menganalisis dan mencoba melakukan penelitian tentang potensinya ? Lagi-lagi masalahnya dikembalikan pada soal SDM. Dan masih cukup banyak ironi di negeri bahari ini yang dikisahkan Purwanti. Dari kunjungannya ke berbagai daerah, ia melihat rumput laut belum dikembangkan secara maksimal. Banyak nelayan yang mengaiz rezeki dengan memanen rumput laut lalu menjualnya. Tapi anak-anak mereka lebih banyak bekerja sebagai karyawan toko. Purwanti membayangkan, andai anak-anak nelayan itu mendapat pendidikan yang cukup dan mampu mengolah rumput laut, pasti mereka bisa menjadi pelaku wirausaha. Sayangnya, pendidikan tentang potensi laut tidak begitu banyak di sini.

Selain resah dengan masih belum maksimalnya pengembangan potensi laut, Purwanti juga sedih melihat generasi muda kurang peduli dengan laut. Bahkan, masyarakat pun masih memperlakukan laut sebagai keranjang sampah. Ini bisa dilihat, masih banyaknya orang yang membuang sampah secara sembarangan di sungai. Sampah-sampah itu pada akhirnya menuju ke laut, dan laut pun menjadi keranjang sampah. Padahal laut adalah sumber protein masa depan. Berangkat dari kegelisahannya inilah, sejak 2007 silam Purwanti mendirikan Lembaga Pendidikan Bidang Kelautan (LPBK) Bina Bahari. Kala itu, ia bekerja sama dengan beberapa rekannya. Total ada enam orang yang memiliki semangat sama, Intinya, ingin memberi pendidikan kepada para pelajar tentang kelautan.

Menurut Purwanti, sudah seharusnya pendidikan kelautan diperkenalkan sejak dini kepada generasi muda. Agar jangan menganggap laut sebagai misteri atau keranjang sampah. Laut adalah anugerah Tuhan yang luar biasa. Sayang sekali apabila potensi yang demikian besar ini tidak dikelola dengan baik. Maka, pendidikan menjadi kunci pembuka tentang penghargaan terhadap laut di masa depan. Perempuan kelahiran Bogor ini memang tidak memiliki darah pelaut. Namun, kenangan tentang laut di masa kecil membuatnya mencintai dunia bahari. Purwanti yang mengaku anak kolong ini mengisahkan, semasa SD pada saat liburan, ia selalu diajak ayahnya ke tempat tugasnya di pesisir Cianjur. Ayahnya adalah prajurit Angkatan Udara yang saat itu bertugas di tempat latihan di pinggir laut. Ia pertama kali diajak ke sana saat kelas 3 SD.

Purwanti kecil begitu bahagia meski menempuh perjalanan jauh. Untuk menuju ke tempat latihan sang Ayah, ia harus berjalan kaki selama sekitar lima jam. Biasanya ia dan Ayahnya memulai perjalanan selepas Isya, dan sampai di sana sudah masuk dini hari. Namun Purwanti mengaku tidak merasa capek, sebaliknya ia malah senang. Ia dan Ayahnya berjalan di pinggir pantai, merasakan pasir yang lembut. Ia juga takjub melihat debur ombak. Dan ketika menatap ke langit, terlihat cahaya bintang-bintang yang begitu indah. Begitu banyak pengalaman mengesankan dirasakan Purwanti selama berada di pesisir pantai. Melihat ikan, menyaksikan perahu nelayan, memandang tumbuhan di sekitarnya, bahkan ia pernah juga melihat penyu yang bertelur. Dari sinilah, perjalanan menyusuri pantai menjadi kenangan yang tak telupakan seumur hidupnya. Sambil menikmati liburan, Ayahnya juga kerap menceritakan tentang pentingnya menjaga lingkungan dan laut.

Eksotisnya laut membuat Purwanti ketagihan. Sekitar enam tahun Ayahnya bertugas, ia selalu ke sana setiap kali libur. Tempatnya yang sepi membuatnya nyaman. Purwanti menyebut perjalanannya itu sebagai liburan murah tapi sangat bermanfaat. Makin lama, ia pun makin mencintai laut. Meski akhirnya menempuh pendidikan di Teknik Kimia, Institut Teknologi Indonesia, di kawasan Serpong, Purwanti tidak melupakan laut. Ia kerap belajar secara otodidak tentang kelautan dengan membaca buku, jurnal, dan bergaul dengan teman-teman yang mempelajari kelautan. Bahkan, ia kerap ikut diskusi tentang maritim. Wawasannya pun kian bertambah. Ia berkata, sejarah membuktikan bahwa penguasaan laut sangat menentukan kekuatan pertahanan dan keamanan suatu negara. Siapa menguasai laut maka dialah pemenangnya.



Tamat kuliah tahun 1993, Purwanti sempat mengajar Kimia di SMA. Selanjutnya, ia juga mengajar di beberapa perguruan tinggi. Uniknya, di sela-sela mengajar, ia kerap menyisipkan materi tentang kelautan. Ia menjelaskan bahwa betapa besarnya potensi laut Indonesia. Akibat memberi materi di luar mata pelajaran, ia pernah mendapat kritik dari rekan guru. Namun, upayanya memperkenalkan laut tak pernah padam. Sampai akhirnya di tahun 2007 silam, kepada rekan-rekannya ia mengutarakan keinginan membentuk lembaga pendidikan nonformal yang mengajarkan tentang kelautan. Gayung bersambut. Langkah besar pun ia tapaki pada saat perbincangan tentang laut masih sepi. Lahirlah Lembaga Pendidikan Kelautan Bina Bahari. Konsepnya adalah lembaga pendidikan nonformal, di mana ia ingin memberikan kegiatan ekstra kurikuler kepada para siswa tentang kelautan.

Purwanti memberikan beragam materi mulai dari persoalan laut, penyelamatan, sampai upaya untuk mengembangkan potensinya. Materi yang ia ajarkan antara lain tentang pencemaran di laut, potensi pangan dari laut, energi alternatif dari laut, pariwisata bidang kelautan, kewirausahaan bidang kelautan dan sebagainya. Purwanti yang mengambil S2 Manajemen Sumber Daya Manusia ini antara lain pernah mengajar penduduk Kepulauan Seribu di bidang pariwisata. Menurutnya, Kepulauan Seribu memang potensi laut yang luar biasa di wilayah Pemprov DKI. Itu sebabnya, meski saat itu Bina Bahari berkantor di Jakarta, Purwanti melakukan kegiatan lapangan di Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu. Ia juga memperkenalkan Bina Bahari di beberapa forum, sampai akhirnya banyak sekolah yang mengajak kerja sama. Kini ia bersama teman-temannya sudah mengajar siswa SMP dan SMA se-Jabodetabek.



Purwanti mengemas materi secara menarik dan menyenangkan. Setelah ia mengajar di kelas, murid-muridnya bisa langsung praktik di Kepulauan Seribu. Biasanya kegiatannya lebih banyak dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu. Selama dua hari itu, murid-murid melakukan praktik lapangan yang dikemas secara menyenangkan. Kegiatannya macam-macam, misalnya saja bersama-sama menanam mangrove, atau praktik membuat energi listrik dari air laut. Betapa bahagia Purwanti menyaksikan murid-muridnya dengan antusias mengikuti kegiatan. Mereka terlihat senang, misalnya ketika diajari cara membaca rasi bintang sebagai petunjuk arah. Mereka pun juga pada akhirnya takjub dengan potensi kelautan kita. Selain itu Purwanti juga kerap diminta bicara tentang kelautan dan lingkungan di berbagai forum. Termasuk kegiatan di luar kota yang diadakan berbagai instansi.



Di sela-sela mengajar, penulis buku Laut Kita Bukan Tempat Sampah ini juga berwirausaha. Di rumahnya di kawasan Pondok Maharta, Tangerang Selatan, ia membuka usaha mengolah makanan dari ikan. Ia merekrut karyawan yang sebagian besar tetangganya. Ia memproduksi nugget, siomai, dan bakso ikan. Selain itu, ia juga bekerja sama dengan sesama pengusaha UKM lainnya yang basic produknya dari ikan. Salah satunya, Purwanti bekerja sama dengan pelaku usaha UKM di Cianjur. Dalam kesempatan itu, ia juga memberikan edukasi. Salah satu materi yang ia ajarkan tentang wirausaha dari potensi laut. Tak hanya membuat produk, ia juga mengajarkan bagaimana membuat brand sampai pemasaran. Ilmu itu salah satunya ia sampaikan kepada seorang bapak yang memiliki usaha ikan petek. Karena namanya terdengar terlalu biasa, maka supaya lebih memiliki nilai jual, ia beri nama ikan dolar.

Masih banyak lagi gagasan yang ingin dilakukan Purwanti. Mulai dari mimpi memiliki laboratorium di Bina Bahari, sampai mengembangkan lembaga pendidikannya di berbagai daerah. Sayangnya, hingga saat ini ia belum bertemu lembaga yang bisa memberikan dana. Purwanti, yang telah menyelesaikan buku keduanya, Perempuan di Tepi Lautan ini, juga terbuka kalau ada yang ingin bekerja sama membuka Bina Bahari di daerah. Sebenarnya, sudah banyak yang dilakukan perempuan yang dijuluki Srikandi di Laut ini. Namun, ia masih ingin lebih banyak lagi anak-anak generasi hari ini yang mengenal laut sejak dini. Ia berharap kelak mereka tak hanya mencintai laut, tapi juga mengembangkan potensinya. Purwanti memang tak pernah berhenti memikirkan laut yang sudah menjadi nafas hidupnya.

0 komentar:

Posting Komentar