Jumat, 13 Juni 2014




Kegiatan sosial memberi warna lain dalam hidup Dr. Sophia Hage. Perempuan yang memilih menjadi spesialis di bidang kedokteran olahraga ini ingin meningkatkan kualitas hidup kaum perempuan di Indonesia. Aksi tersebut pun ia tuangkan dalam Gerakan Selamatkan Ibu dan Lentera Indonesia.

Sejak lama, wanita keturunan Jawa, Korea, Belanda ini memiliki perhatian khusus pada masalah perempuan. Menurutnya, jika bukan perempuan itu sendiri, siapa lagi yang bisa memajukan kaumnya ? Bersama tiga rekannya, hati Sophia tergerak ketika mengetahui angka kematian ibu melahirkan terekam cukup memprihatinkan di Indonesia. Tahun 2007, ada 228 kematian berbanding 100.000 kelahiran hidup. Bahkan dari data yang ia ketahui setiap bertambah tahun angka tersebut terus bertambah. Maka, Sophia berpikir, jika kita mau menyelamatkan bangsa, selamatkanlah terlebih dulu kaum ibunya. Sophia percaya ibu yang mandiri dan mampu memberdayakan dirinya akan melahirkan generasi-generasi berkualitas.

Berangkat dari pemikiran tersebut, Sophia pun punya misi agar informasi yang baik dan benar tentang kesehatan reproduksi para ibu bisa tersebar secara merata di Indonesia. Jika berbicara tentang pentingnya ASI eksklusif untuk bayi, mayoritas ibu maupun ayah sudah menyadarinya. Tapi, soal pentingnya pemeriksaan selama kehamilan, belum sepenuhnya terinformasi dengan baik. Setiap pasangan harus menyadari hal tersebut untuk mengetahui risiko apa saja yang bisa dialami ketika ibu melahirkan nanti.

Informasi yang diberikan secara sederhana yakni pemeriksaan minimal dilakukan 4 kali. Pembagiannya, 1 kali di trimester pertama dan kedua. Lalu 2 kali di trimester ketiga. Ini adalah langkah awal untuk membantu menurunkan angka kematian ibu, sekaligus jadi senjata untuk mencegah komplikasi saat persalinan. Fakta menunjukkan, 3 penyebab kematian tertinggi ibu melahirkan tidak melulu dipengaruhi tingkat ekonomi. Yang pertama ada pendarahan, lalu infeksi, dan terakhir preeklampsia, yakni hipertensi dalam kehamilan yang bisa menyerang berbagai level masyarakat. Dan semua risiko itu sesungguhnya bisa diketahui jika rutin memeriksakan kehamilan.

Melalui gerakan Selamatkan Ibu yang digagas Juni 2010, Sophia memanfaatkan teknologi informasi untuk memberikan edukasi yang mudah diakses ke masyarakat luas. Gerakan itu pun berevolusi. Selain aktivitas diskusi melalui akun twitter @selamatkanibu, ia juga mengadakan seminar, talkshow, dan penyuluhan yang berkolaborasi dengan komunitas lain. Misalnya saat di Garut, Selamatkan Ibu bersama komunitas Sahabat Anak memberi edukasi tentang kesehatan reproduksi. Sophia bercerita, ia pernah bertemu dengan seorang ibu yang sejak menikah di usia 12 tahun, baru berhenti melahirkan pada saat usianya sudah 46 tahun. Kenyataan ini baginya menjadi tantangan untuk mengubah pola pikir warisan yang tertanam di masyarakat.
 




Dalam gerakan sosialnya pula, ia menyasar kaum menengah sebagai penyambung lidah soal informasi kesehatan, misalnya pada asisten rumah tangga mereka di rumah. Tentu keberhasilan Sophia bersama tim Selamatkan Ibu turun ke lapangan tak bisa diukur hanya dari kuantitas. Tujuan utama mereka adalah ingin memberikan informasi yang tepat dan bisa diakses oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, mereka memfasilitasinya dengan modul yang bisa diunduh gratis di website Selamatkan Ibu.

Menurut Sophia, materi edukasi tersebut bisa dipahami oleh siapa saja, terutama para ibu yang tergerak untuk mengedukasi sesama ibu. Mimpi lainnya dalam Gerakan Selamatkan Ibu adalah, bisa membawa pengetahuan ini ke seluruh pulau yang ada di Indonesia. Caranya dengan bekerjasama dengan LSM, Puskesmas, dan Dinas Kesehatan. Walaupun dampaknya tidak instan, tapi Sophia yakin masa depannya akan panjang.

Langkah Sophia tak terhenti di situ. Melalui Yayasan Lentera Sintas Indonesia, ia juga memperhatikan kebutuhan para survivor atau penyintas (korban kejahatan seksual). Awalnya, ia menemui tweet yang berisi olok-olok terkait hantu korban perkosaan. Batinnya sangat teriris. Menurutnya, perkosaan itu bukan lelucon tentang seks. Hal itu terjadi karena dominasi kekuasaan. Bahkan kebanyakan pelakunya justru orang terdekat. Di akun Twitter @LenteraID, Sophia dan kedua temannya memberikan pemahaman pada banyak orang dengan serangkaian tweet tentang #RapeIsNotAJoke. Selain berkampanye soal edukasi tersebut, sejak Mei 2011 ia juga menyediakan fasilitas pertemuan tertutup untuk para penyintas. Tujuannya agar mereka bisa mencurahkan isi hatinya secara aman, saling berbagi, dan tahu bahwa mereka tidak sendiri. Perannya di sini adalah sebagai moderator, bukan pemberi terapi.

Respons dari usahanya ini ternyata sungguh di luar dugaan. Sophia mengakui cukup kewalahan menjawab tanggapan yang masuk melalui twitter dan e-mail. Ternyata para penyintas memang amat memerlukan ‘tempat’ yang bisa memahami permasalahan mereka. Selama ini fasilitas tersebut jarang ada. Dan satu hal yang selalu ditekankan Sophia, pelayanan gratis ini tetap harus memastikan keamanan dan kerahasiaan para penyintas. Setiap mengadakan pertemuan ada aturan untuk menyaring peserta. Begitupun ketika sesi support group digelar. Pertemuan ini juga sifatnya tidak mengikat. Sophia sangat mengerti karakter penyintas itu belum tentu mau berbicara tentang apa yang terjadi pada mereka. Pemulihan terhadap mereka pun juga berbeda-beda. Sebab 50 persen yang datang dalam pertemuan justru mengalami kekerasan seksual di masa kecil, tapi baru mau mengungkapkannya setelah dewasa.

Indahnya, dari berjalannya kegiatan ini, Sophia melihat para penyintas menemukan kedamaian di support group yang ia bentuk, lalu berusaha saling membantu pemulihan sesamanya dengan membuat kegiatan serupa. Dalam waktu dekat, Sophia juga berharap bisa menyediakan hotline yang bisa dihubungi penyintas jika memerlukan bantuan informasi, tempat bercerita, dan pertolongan lainnya. Ia juga masih terus mengembangkan website yang berisikan informasi terkait kejahatan seksual. Dan berharap bisa membangun crisis centre semacam rumah aman untuk titik awal pemulihan para penyintas.

Di balik kegiatan sosial yang ia lakukan sejak kuliah ini, Sophia membuka cerita asal muasal filosofi hidupnya. Suatu saat manusia akan berhadapan dengan kematian. Di sini kita bisa mempertanggung jawabkan apa yang dilakukan selama hidup. Dan sebagai perempuan, untuk menjadi Kartini masa kini tidaklah susah. Cukup dengan memberdayakan diri sendiri dan lalu membantu memberdayakan orang lain.

Sophia mengaku sang Ibu yang berasal dari Korea namun sangat mencintai Indonesia, mengilhami dirinya untuk berbuat suatu hal positif bagi kaum perempuan di Indonesia. Caranya dengan meningkatkan kualitas hidup mereka. Dan dengan menjadi seorang dokter akan membuka kesempatan tersebut. Menurut Sophia, semua yang dilakukannya ini adalah tentang bagaimana membuat dirinya berguna bagi orang lain. Ia mengaku akan bosan kalau hanya berdiam diri, rasanya hidup kurang bermakna.

Lagipula menurutnya, sekarang ini menjadi dokter sudah tak zaman hanya duduk berkonsultasi dengan pasien di balik meja. Ia memilih menjangkau pasien dengan memanfaatkan teknologi agar mereka bisa mudah mengakses informasi yang benar dan terpercaya. Baginya, seorang dokter itu memang harus mendekati masyarakat, entah itu dalam bentuk penyuluhan atau bisa juga dalam bentuk edukasi virtual.   




____________________________
advetorial :

MENERIMA LAYANAN JASA KURIR, ANTAR BARANG, PAKET MAKANAN, DOKUMEN, DAN LAIN-LAIN UNTUK WILAYAH JAKARTA DAN SEKITARNYA KLIK DI SINI

BOLU KUKUS KETAN ITEM, Oleh-Oleh Jakarta, Cemilan Nikmat dan Lezat, Teman Ngeteh Paling Istimewa, Bikin Ketagihan !! Pesan sekarang di 085695138867 atau  KLIK DI SINI

0 komentar:

Posting Komentar