Jumat, 06 Juni 2014


Sukses meniti karir di bidang energi dan teknologi, kiprah Head of Corporate Marketing Triliant ini memang tak bisa dianggap remeh. Berbagai penghargaan bergengsi dan keikutsertaan dalam program kelas dunia yang dilakoninya membuat nama Sonita Lontoh semakin berkibar.

Sejak kecil Sonita memang sudah menyukai ilmu science, khususnya matematika. Ia pun akhrinya memilih berkuliah pada jurusan Teknik Industri di US Berkeley dan mendalaminya kembali dengan mengambil program master di Massachusetts Institute of Technology. Di saat yang sana, Sonita juga mengambil master di Kellog School of Management dengan bidang bisnis. Jadi bisa dibilang, sejak awal Sonita memang sudah tertarik dengan ranah teknologi, namun yang ada unsur bisnis dan policy-nya. Bidang itu semuanya ia temukan di pekerjaannya saat ini, seperti membuat aplikasi teknologi smart grid yang digagas sebagai jalan keluar konsumsi energi.

Sonita memang bekerja pada perusahaan teknologi yang menyediakan smart grid di Silicon Valley. Biasanya istilah itu ia ganti menjadi green technology agar tak memusingkan. Intinya adalah, dunia sebenarnya memiliki energi yang dikeluarkan satu arah. Dari pusat melewati sistim transmisi, distribusi, hingga ke masyarakat. Proses tradisional ini sudah berjalan selama 100 tahunan. Nah, sementara smart grid membuat siklus energi menjadi dua arah antara suplai dan permintaan.
 


Green technology berupa smart grid ini akan menyediakan energi berdasarkan permintaan dari masyarakat, terkait jumlah dan waktunya yang bisa kapan saja. Karena saat energi berjalan satu arah, tak ada takaran yang jelas. Energi dikeluarkan begitu saja setiap saat. Jadi, terkesan tidak efsien. Saat tidak dipakai, itu akan terbuang percuma. Ini membuat energi renewable semakin banyak. Ibarat gadget, dulunya bersifat centralize dan besar. Seperti komputer yang harus diletakkan pada meja besar. Lama-lama bentuknya semakin kecil dan semakin dekat dengan penggunanya. Fungsi smart grid adalah akan membuat sifat energi seperti itu, dengan menjadikannya sumber energi lebih dekat dengan rumah atau bangunan. Walaupun langkah ini baru sebatas permulaan saja.

Di proyek smart grid ini Sonita berperan sebagai kepala bagian marketing yang berhubungan dengan stakeholder. Misalnya, ke pemerintah, karena manfaat dan keuntungan program ini memang harus dipahami oleh pemerintah. Selain itu ia juga mengurusi seputar policy, misalnya dengan menemui pihak pembangkit listrik seperti PLN. Di Amerika, PLN dimiliki oleh masing-masing negara bagian dan banyak yang sudah mengaplikasikan teknologi smart grid ini.

Namun menurut Sonita, untuk Indonesia teknologi yang cocok untuk diaplikasikan adalah renewable energy seperti biotermal dan energi dari air alias hydro. Sementara untuk smart grid sepertinya belum bisa karena meskipun kondisi perekonomiannya sedang berkembang, harga energi di Indonesia juga masih murah karena masih disubsidi pemerintah. Alhasil, masyarakatnya pun belum mempedulikan harga. Padahal, cadangan energi yang ada sekarang dikatakan hanya cukup hingga 11 tahun ke depan saja. Sangat mengerikan tentunya.

Kunci untuk mengatasi masalah itu tentu saja diperlukan perubahan budaya dalam mengkonsumsi energi. Caranya bisa dicoba mulai dari diri sendiri seperti mengurangi penggunaan lampu putih di rumah, karena sifatnya memang tidak efisien dan mengandung merkuri. Pilihlah lampu yang tak ada merkurinya dan tahan lama. Lalu, pilih juga barang elektronik dengan logo emat energi. Maka kita pun tak hanya save energi saja, tapi juga telah save money.

Beralih kiprahnya di Silicon Valley, Sonita menceritakan orang Indonesia yang bekerja di sana ada sekitar 50 orang. Jadi di tempat itu yang bekerja memang bukan orang Amerika saja. Tapi semua warga dunia yang terbaik, khususnya di bidang teknologi, berada di situ. Maka segala hal yang berkaitan dengan pengembangan teknologi, satu sama lain sudah sangat mendukung.

Selain itu Sonita juga aktif sebagai Ketua Dewan Diaspora Indonesia. Perlu diketahui, orang Indonesia yang berdomisili di luar negeri (diaspora) ada sekitar 8 juta orang. Mereka inilah yang berpotensi membantu Indonesia dari segi pengetahuan, human capital, dan menjembatani Indonesia dengan negara barunya. Sonita lumayan gencar terlibat dalam Diaspora Indonesia ini. Di Indonesia Diaspora Foundation, ia menjadi chairman dari yayasan yang memiliki serangkaian program. Ia khususnya terlibat dalam program yang sesuai dengan bidangnya yaitu green technology. Pemerintah Indonesia memang sedang ingin tahu mengenai ini. Saat kongres diaspora, ia pun terlibat dalam diskusi untuk mencari tahu kira-kira teknologi apa yang bisa diadaptasi di Indonesia.
 


Dengan apresiasinya ini, Sonita pun telah mendapatkan penghargaan Entrepreneurship and Corporate Excellence dari pemerintah Indonesia. Jujur awalnya ia sama sekali tidak tahu mengenai penghargaan itu. Mungkin memang ada yang telah merekomendasikannya. Sama halnya dengan penghargaan Global Emerging Leader under 40 dari National Association of MBAs, di mana ia juga mendapatkan award for excellence in leading, advocating and developing global leaders, dan juga masih ada lagi beberapa penghargaan lainnya. Selain itu Sonita juga sempat terlibat dalam program TechWomen yang digagas oleh Hillary Clinton.

Keterlibatannya itu bermula ketika presiden AS Barack Obama ingin meningkatkan kolaborasi Amerika Serikat dengan emerging country. Saat Hillary Clinton masih menjabat sebagai menteri luar negeri, dia mencetuskan program TechWomen ini. Sonita, sebagai professional mentor pun ingin memotivasi perempuan-perempuan di dunia untuk ikut serta di bidang teknologi. Karena bagaimanapun, masih sangat jarang perempuan yang berkiprah di bidang teknologi. Di program TechWomen ini ada konsep berupa mentor dan sponsor. Jadi yang lebih senior dan berpengalaman akan mencari orang yang lebih muda dan high perform, untuk kemudian dipromosikan ke level selanjutnya di perusahaan. Dan perusahaan besar seperti Intel dan American Axpress sudah menjalankan hal ini.

Bisa berada di posisi seperti saat ini, Sonita selalu menanamkan prinsip harus menampilkan hasil kerja keras yang maksimal. Karena baginya, dalam kehidupan tidak ada yang instan. Selain itu, ia juga selalu berpikir positif dan menganggap semua masalah sebagai kesempatan, bukan kendala. Sebagai manusia, Sonita mengaku ia juga kerap merasa frustasi dalam hidup. Tapi hal seperti itu tidak akan pernah membuatnya berhenti bekerja. Hal terpenting, ia harus punya guiding principle. Kadang kita punya rencana, tapi kenyataannya berbeda. Misalnya, ia yang menyukai bidang teknologi, bisnis, dan yang berkaitan dengan policy. Kedua,  ia juga ingin memiliki pekerjaan yang sesuai passion, skill, dan bertujuan untuk kebutuhan global. Baginya hal ini sangat penting, mengingat banyak orang yang bekerja hanya ingin mengikuti passion semata. Padahal yang terbaik adalah harus ada pertimbangan skill juga. Ia menyadari, jika bisa menerapkan ketiga hal itu, akan bisa membuat seseorang lebih bahagia, bukan hanya secara finansial.

Sonita pun bersyukur keluarga besarnya sangat mendukung semua pencapaiannya ini, meskipun juga sedih karena tidak bisa sering bertemu dengan Sonita. Sonita pun selalu ingat pesan orangtuanya yang selalu mengajarkannya untuk terus bersyukur selama masih dianugerahi kesehatan. Tentu saja Sonita sangat merindukan keluarganya karena ia hanya bisa pulang setahun sekali ke Indonesia. Ia juga kangen kuliner khas Indonesia seperti nasi campur, ikan bakar, es campur, es teler, es cendol, dan masih banyak lagi. Namun, untuk kembali menetap di Indonesia, rasanya belum bisa ia lakukan dalam waktu dekat, karena ia masih ingin membuat perusahaan sendiri di bidang teknologi seperti perusahaan software.   


____________________________
advetorial :

MENERIMA LAYANAN JASA KURIR, ANTAR BARANG, PAKET MAKANAN, DOKUMEN, DAN LAIN-LAIN UNTUK WILAYAH JAKARTA DAN SEKITARNYA KLIK DI SINI

BOLU KUKUS KETAN ITEM, Oleh-Oleh Jakarta, Cemilan Nikmat dan Lezat, Teman Ngeteh Paling Istimewa, Bikin Ketagihan !! Pesan sekarang di 085695138867 atau  KLIK DI SINI

0 komentar:

Posting Komentar