Jumat, 28 Februari 2014




Aktif berbuat untuk sesama sejak masih gadis, jiwa sosial Rahma Faradila tak pudar meski telah berkeluarga. Ia bahkan mampu meluluhkan hati sang suami yang semula sempat keberatan dengan kesibukannya. Ia tak bisa membayangkan nasib anak-anak penghuni panti asuhan Al Rifdah jika tidak ada yang peduli.

Al Rifdah berdiri tahun 2007 atas prakarsa Rahma dan sejumlah kawannya. Panti asuhan yang kini menjadi rumah bagi 16 anak yatim dan dhuafa di Semarang, Jawa Tengah ini menjadi rujukan bagi penyandang difabilitas yang terlantar. Awalnya, ia memanfaatkan rumah peninggalan orang tuanya di Sembungharjo, sebagai panti.

Rahma dan aktivis sosial lainnya bergandengan tangan merangkul anak-anak penyandang difabilitas yang tak memiliki keluarga. Beberapa anak dhuafa yang memiliki keterbatasan fisik serta intelektual juga dititipkan di Al Rifdah. Dan ketika liburan sekolah, mereka akan pulang ke rumah orang tuanya.
Ketika Al Rifdah berdiri, masyarakat setempat sempat menolak keberadaan anak-anak penyandang difabilitas ganda. Mereka takut ketularan. Mereka juga malu bertetangga dengan penyandang difabilitas. Namun kenyataan itu tak membuat hati Rahma kecut. Ia pun mengadukan masalah tersebut pada lurah setempat. Tapi bukannya memberi perlindungan, sang lurah malah mengatakan tidak mau lingkungannya dihuni banyak anak penyandang difabilitas.





Geram dengan respons sang lurah, Rahma lantas melaporkannya ke Dinas Sosial. Perjuangan kali ini membuahkan hasil positif. Dinas Soial langsung memperingatkan lurah agar mau menerima kehadiran anak-anak panti. Jika tidak, maka akan diadukan ke wali kota.

Gertakan Dinas Sosial tak menghapus luka hati Rahma. Ia tetap tak menemukan kenyamanan dalam membesarkan anak-anak penyandang difabilitas di Sembungharjo. Ia lalu mencari lahan di Bangetayu. Semula, lahan yang tersedia pembayarannya mesti tunai. Namun begitu pemilik tanah mengetahui Rahma membelinya untuk panti asuhan, mekanisme pelunasan pun menjadi lebih fleksibel. Di lokasi tersebut, Rahma juga bisa memasang plang panti asuhan, yang tidak bisa dilakukannya di lokasi sebelumnya.

Rahma telah menjadi aktivis sosial sejak usianya masih belia. Sebelum mendirikan Panti Asuhan Cacat Ganda Al Rifdah, ia pernah bergabung dengan sebuah yayasan sosial yang menangani anak-anak jalanan penyandang difabilitas. Tugasnya, mendata anak-anak penyandang difabilitas yang terlantar di jalanan Kota Semarang.

Sering turun ke jalan, Rahma merasa tidak puas dengan kinerja yayasan tesebut. Sebab, hanya anak-anak jalanan saja yang mendapatkan bantuan. Ia menyaksikan, penyandang difabilitas tidak hanya berada di jalanan. Sebagian dari mereka ada yang berada di tengah keluarga, tetapi nasibnya  terabaikan. Pemikiran itu membuat Rahma dan kawan-kawannya tergugah untuk mendirikan tempat penampungan khusus bagi mereka. Rahma pun akhirnya memutuskan keluar dari yayasan tersebut.

Awalnya, Rahma mengira merawat anak-anak penyandang difabilitas ganda tidaklah membutuhkan biaya besar. Biaya operasional panti tiap bulannya sekitar enam juta rupiah tak selalu tercukupi dari sumbangan masyarakat. Tanpa dukungan donatur tetap, Rahma dan rekan tak jarang mesti merogoh kocek pribadi untuk membeli popok, susu, dan obat-obatan yang bersifat khusus.





Daya tahan tubuh anak-anak berkebutuhan khusus tersebut lebih lemah. Mereka mudah terkena batuk dan pilek. Rahma bersyukur, setiap anak terdaftar dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jakesmas). Setiap bulan, petugas Puskesmas datang memeriksa kesehatan anak-anak Al Rifdah dan memberikan obat sesuai penyakitnya.

Meski berada di tengah keterbatasan, Rahma berusaha mendidik anak asuhnya untuk disiplin. Pukul 04.00 WIB, anak-anak penghuni Al Rifdah terbiasa bangun. Tiga puluh menit kemudian mereka dimandikan satu persatu. Rahma membutuhkan waktu setidaknya dua jam untuk memandikan seluruh anak.

Selanjutnya, mereka sarapan. Petugas panti siap menyuapi karena sebagian besar anak tidak mampu makan sendiri. Setelah itu, mereka berangkat sekolah ke Sekolah Luar Biasa Negeri Semarang. Anak-anak yang bersekolah di SLB mendapatkan terapi mandiri dari para pengajar. Mereka diajari hal-hal sederhana, seperti makan, cium tangan tamu, dan cara duduk yang baik. Mereka juga diajari menyapa, meski tidak bisa bicara. Bagi yang belum dan tidak bersekolah, dibiarkan bermain bersama sebagai bagian dari latihan bersosialisasi.

Menjadi rujukan bagi anak penyandang difabilitas yang terlantar, Al Rifdah tak pernah menolak pendatang baru. Rahma membuka lebar pintu pantinya bagi anak yang membutuhkan. Ia akan tetap menerimanya sesulit apa pun kondisi panti.




12 komentar:

  1. Siang, nomor telponnya brp ya?
    Trimakasih

    BalasHapus
  2. Maaf, bisa minta alamat lengkap dan nomor yg bisa dihubungi?

    BalasHapus
  3. Maaf, bisa minta alamat lengkap dan nomor yg bisa dihubungi?

    BalasHapus
  4. Jangan Deh .... mendingan amal. Ak dulu gak punya apa apa... begitu amal semua taraf hidup di tingkatkan. Dari gak punya rumah jadi punya rumah mobil tabungan... amal aj jauhin perdukunan.

    Terserah. Cuma berbagi pengalaman aj.
    Amal nya sekalian bantu sesama juga. Tabungan di akherat juga. Maaf y

    BalasHapus
  5. Jangan Deh .... mendingan amal. Ak dulu gak punya apa apa... begitu amal semua taraf hidup di tingkatkan. Dari gak punya rumah jadi punya rumah mobil tabungan... amal aj jauhin perdukunan.

    Terserah. Cuma berbagi pengalaman aj.
    Amal nya sekalian bantu sesama juga. Tabungan di akherat juga. Maaf y

    BalasHapus
  6. Jumlah anak di panti asuhan ini berapa ya kalau boleh tau? Terimakasih

    BalasHapus
  7. Jumlah anaknya brpa yah kira2 ? Ada nmr yg bisa dihubungi tidak ?

    BalasHapus
  8. khoirunnaasi anfauhum linnaas

    BalasHapus