Minggu, 11 Februari 2018


Keinginan untuk membantu sesama telah terpatri dalam jiwa Louisa Ariantje Langi sejak kecil. Panggilan jiwa, membuat perempuan kelahiran Minahasa tahun 1961 ini, tak pernah berhenti menolong korban bencana alam, melintasi wilayah, agama, dan suku. Setelah menikah, aktivitas sosial dokter yang mulai mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI) sejak 1988 ini makin 'menjadi'. Bersama Heru Mustika, suaminya yang juga seorang dokter, Louisa berangkat ke desa-desa pelosok yang terkena bencana alam di berbagai daerah melalui sebuah yayasan sosial yang memberangkatkan mereka.

Ia juga ke Atambua ketika Timor Leste baru saja memisahkan diri dari Indonesia, di mana ada 125 ribu pengungsi berkumpul. Setiap hari selama di sana, di tengah suara desingan peluru, Louisa dan suami tanpa lelah sejak pagi hingga tengah malam melayani para pengungsi. Selain itu, selama dua tahun Louisa juga bolak-balik Jakarta-Aceh untuk membantu korban tsunami di sana. Ia juga menjadi wakil pimpinan proyek untuk mendirikan rumah sakit sederhana di sana lantaran rumah sakit yang ada hancur diterjang tsunami. Selain itu, bersama dokter-dokter lain ia juga melatih tenaga medis di sana. Setelah menjadi dokter ahli gizi pada 2000, Louisa tak hanya menolong orang sakit di lokasi pengungsian, melainkan juga mencari anak bergizi buruk di pelosok yang tak terjangkau.

Dua kali Louisa ditolak dan dimarahi bupati setempat ketika ia menyampaikan kondisi yang ia temukan di lapangan, karena bupati menganggap tak ada anak bergizi buruk di sana. Namun, Louisa terus membujuk hingga akhirnya ia diizinkan membantu mereka. Setelah diberi gizi baik selama 100 hari, banyak anak yang kemudian sehat, ceria, dan bisa berjalan kembali. Bencana tsunami di Pangandaran dan Mentawai, gempa di Yogya, dan banjir di Garut, adalah sebagian momen bagi Louisa untuk menyumbangkan tenaga dan pikirannha melayani para korban. Terkadang, ia dan suami mengajak anak mereka, Anthony Jason ke lokaso bencana. Jason sangat bersemangat setiap kali kedua orangtuanya hendak berangkat ke lokasi bencana.

Setiap datang ke lokasi bencana, Louisa memilih untuk mendatangi desa-desa yang terpencil dan sulit dijangkau, karena biasanya di sana banyak yang membutuhkan pertolongan. Sulitnya medan dan cuaca, serta ketakutan dan kengerian atas kondisi di depan mata yang ia rasakan sepanjang perjalanan hilang dari benaknya. Semua terkalahkan oleh rasa terenyuh melihat kondisi anak-anak dan orang yang perlu ia bantu. Kuatnya keinginan menolong membuat Louisa tak lagi sempat merasa takut, termasuk ketika ia bersama suaminya masuk ke wilayah GAM di Aceh karena diminta menolong banyak tentara GAM yang terluka. Bahkan, ia pernah terpaksa menjadi pengungsi ketika menolong para pengungsi di Kathmandu, Nepal, saat terjadi gempa di sana.

Louisa bersyukur, atasannya di FK-UKI bisa memahami panggilan jiwanyanya yang membuatnya bisa berbulan-bulan tinggal di pelosok. Hanya saja, jabatannya sebagai Wakil Dekan III  di sana yang kini diembannya membuat Louisa tak lagi bisa berlama-lama di pelosok. Sejak Agustus silam, Louisa mengajak para mahasiswanya menjalankan program Family Folder yang digagasnya kala itu. Family Folder merupakan program pengawasan kesehatan terhadap sebuah keluarga oleh satu mahasiswa FK-UKI yang kini dijalankan di Kelurahan Cawang, Jakarta Timur. Dengan Family Folder, setiap mahasiswa FK-UKI mulai semester dua sampai menjadi dokter akan mendampingi sebuah keluarga yang sudah ditentukan dalam hal kesehatan dan kebersihan.


0 komentar:

Posting Komentar