Jumat, 09 September 2016



Cita-cita menolong sesama membuat perempuan kelahiran Jakarta, 10 April 1976 ini akhirnya memutuskan menjadi seorang psikolog. Passion dan haus ilmu membuat istri dari Agustinus Teguh Budiman ini sepenuh hati menjalani profesinya. Kini, selain praktik, ia juga aktif memberikan ‘kuliah’ psikologi lewat Twitter.

Awal ketertarikan Anna dengan dunia psikologi sudah muncul sejak duduk di kelas lima SD. Ceritanya bermula, ketika ada seorang psikolog yang tengah praktik mingguan di sekolahnya. Anna kebetulan sempat berkonsultasi dan merasa tertolong dengan apa yang psikolog itu sarankan. Saat itulah, Anna baru mengetahui ternyata ada profesi yang kelihatannya cukup modal bicara, tetapi ternyata sangat bermanfaat dan membantu. Dan sewaktu SMA, Anna terbantu lagi oleh pendampingan seorang psikolog yang datang ke sekolahnya untuk sesi pengenalan diri dan orientasi. Anna pun jadi semakin yakin, dan ingin mengenal ilmu psikologi ini lebih jauh lagi. Akhirnya, setelah lulus SMA, ia memutuskan kuliah dengan mengambil jurusan Psikologi UI. Setelah kuliah, ia semakin penasaran pada dunia psikologi dan tertarik menjadi seorang psikolog.

Perjalanan menjadi seorang psikolog juga cukup panjang. Setelah lulus kuliah tahun 1999 dari program S1 Reguler Fakultas Psikologi UI, Anna melanjutkan studi program profesi selama dua tahun di kampus yang sama. Untungnya, saat itu ia harus mempelajari semuanya, mulai dari psiologi anak, dewasa, pendidikan, organisasi, dan sosial. Berbeda sekali dengan sekarang yang sudah spesifik. Tapi, sejak awal Anna memang sudah tertarik dengan psikologi keluarga dan perkawinan. Dan sebetulnya, setelah lulus di tahun 1999 itu, Anna juga sudah mulai menjajal sebagai tenaga lepas untuk beberapa lembaga konsultan sampai menyelesaikan studi program profesinya.

Setelah lulus program profesi, Anna segera mengurus surat-surat untuk bisa segera praktik sebagai psikolog keluarga. Tetapi salah satu seniornya menyarankannya untuk memasuki psikologi industri terlebih dahulu demi memperkaya pengalaman. Jadi, ia disarankan supaya bekerja di perusahaan terlebih dahulu, baru kemudian berpraktik sendiri. Setelah mempertimbangkan dan membenarkan saran seniornya itu, Anna pun memilih bekerja di salah satu kantor konsultan SDM milik kakak kelasnya. Di sana ia bekerja di divisi training dan belajar tentang cara memberikan seminar yang menarik. Kebetulan, kantornya itu juga menjadi konsultan head hunter, mencari orang-orang yang tepat dan berkompeten untuk menempati posisi dan pekerjaan pada perusahaan baru. Hingga suatu hari, kantornya membutuhkan beberapa tenaga baru, dan salah satu posisi yang dibutuhkan adalah konsultan keluarga. Melihat peluang itu, Anna pun mengajukan diri, apalagi pihak kantornya memang tahu kalau ia tertarik pada psikologi keluarga.

Dengan modal dukungan dari teman-temannya pula, Anna pun akhirnya memutuskan berhenti sebagai konsultan SDM, dan bergabung dengan menjadi konsultan keluarga mulai tahun 2002 hingga 2004. Di sinilah, ia mendapatkan banyak kesempatan untuk memperluas keterampilan dan pengalaman, salah satunya bertemu dengan teman-teman media. Ia diminta mempersiapkan bahan materi untuk seminar, membuat draft tulisan untuk atasan, dan lainnya. Selain itu, Anna juga diberi kesempatan mewakili atasannya berbicara dengan media. Semakin lama dan semakin sering, Anna pun makin enjoy dengan pekerjaannya, apalagi bila membahas soal parenting. Berhubung kegiatannya semakin banyak, lebih-lebih pada waktu weekend, Anna kemudian merasa sepertinya keluarganya jadi kurang diprioritaskan. Akhirnya ia pun memilik resign. Setelah resign tahun 2004, Anna mulai praktik sebagai psikolog, tepatnya di Medicare Clinic di kawasan Kuningan. Di sana ia menangani berbagai permasalahan keluarga, pasangan, personal dan anak.


Anna makin mendalami soal parenting setelah putri pertamanya lahir di tahun 2002. Ia jadi makin termotivasi. Karena, selain kebutuhan, ini juga menjadi pembelajaran dan bisa ia praktikkan sendiri. Anna juga mengambil program master sains psikologi perkembangan karena ingin menambah ilmu dan tahu lebih banyak. Selain berpraktik, Anna juga sudah mulai diminta ikut berbagai seminar, menjadi narasumber dan berkesempatan tampil di acara-acara besar. Ternyata, Anna merasa bahwa praktik saja tidak membuatnya puas. Ia lalu melihat sebuah peluang. Kebetulan saat itu ia juga menjadi konsultan psikolog beberapa sekolah preschool. Tugasnya adalah mengobservasi anak di kelas kemudian mengevaluasi mereka bersama dengan para guru. Anna mengamati banyak ibu yang berkumpul di sekolah menunggui anak mereka. Ia pun menawari kepala sekolah untuk membuat waktu khusus bagi para orang tua agar bisa berkumpul dan berkonsultasi tentang perkembangan anaknya di sekolah. Respons para orang tua dan kepala sekolah ternyata positif sehingga program ini terus berlanjut. Di satu sisi, program itu juga menguntungkan untuk sekolah dan orang tua. Di sisi lain, sesungguhnya ia juga diuntungkan karena mendapat jam terbang tambahan untuk belajar bicara di depan orangtua.

Tentu banyak pengalaman yang Anna temui berkaitan dengan pekerjaannya. Salah satunya, pernah ketika membuka konsultasi, ada klien yang melontarkan pernyataan tidak enak. Seperti, bagaimana mungkin Anna bisa mengkuliahi mereka soal anak padahal Anna sendiri belum punya anak. Saat itu Anna menjelaskan, bahwa ia sebetulnya sudah memiliki anak dan sudah mempraktikkan sendiri dan mendapatkan hasil yang baik. Jadi, yang bisa ia lakukan adalah mengajak orangtua untuk mencoba demi yang terbaik untuk sang anak. Tetapi semua pengalaman tidak mengenakkan tersebut jadi membuat dirinya lebih siap dan tahu bersikap. Di awal, memang masih ada klien yang ragu. Mungkin, Anna pikir, mereka menganggap dirinya masih muda dan belum berkompeten. Tapi ini justru jadi motivasinya untuk bisa lebih baik. Anna pun terus belajar cara membawakan diri, gestur agar terlihat profesional, sampai memperhatikan suara yang tepat agar bisa didengarkan dan diperhatikan. Ia juga rajin mengikuti workshop untuk meningkatkan kemampuan sebagai psikolog. Selain itu, kasus-kasus yang ia terima juga semakin berat. Misalnya, menangani anak-anak korban kejahatan seksual atau remaja berniat bunuh diri. Ia juga menangani pasangan yang bermasalah. Menurut Anna, kasus orangtua itu memang lebih berat daripada anak-anak, karena mereka biasanya banyak mengalami penolakan. Jadi, peran menjadi polisi untuk mereka lebih banyak. Meyakinkan orang dewasa tentang dirinya itu juga lebih sulit daripada membicarakan persoalan mengenai anak-anak mereka.

Seiring dengan perubahan waktu dan gaya hidup, tertama soal teknologi, Anna kini juga banyak menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan teknologi. Misalnya, kecanduan gadget, yang sering ia temui, tidak hanya pada anak kecil, tetapi juga orang dewasa. Bagi Anna ini cukup memprihatinkan. Ada kasus pasangan bercerai karena persoalan gadget, ada juga anak bermasalah dengan gadget, dan sebagainya. Permasalahan dunia psikologi setiap tahun memang makin kompleks dan beragam.

Saat ini Anna praktik di dua klinik, yakni di Klinik Terpadu UI dan Klinik Tiga Generasi. Ia berada di Klinik Terpadu UI, satu atau dua kali seminggu. Sementara di Klinik Tiga Generasi hanya seminggu sekali. Ia juga masih aktif menjadi pembicara seminar dan menjadi narasumber di berbagai media. Mulai tahun 2016, Anna memang tidak lagi membuka jadwal praktik karena sudah cukup sibuk dengan praktik online. Mulai dari membuat tulisan, mengisi kolom, kultwit, sekaligus membuat buku. Selain itu ia juga menjadi pengurus Ikatan Psikologi Klinis Perwakilan Jakarta.

Anna memang memanfaatkan media sosial untuk sharing ilmu psikologi, khususnya melalui Twitter, dengan akun @AnnaSurtiNina. Ia biasanya melakukan kuliah tweet (kultwit) dengan tema atau topik yang beragam tetapi masih berkaitan dengan masalah yang cukup umum dan sering ditemui atau dihadapi. Yang paling sering tentu topik parenting, baik saat anak masih dalam kandungan ataupun ketika mereka semakin besar. Pemberian kultwit ini diawali atas desakan teman-teman media dan teman lainnya yang memintanya membagikan ilmu. Anna pikir, media sosial bisa menjadi medium yang tepat juga untuk berbagi dan berkonsultasi, jadi tidak hanya lewat seminar ataupun tanya jawab lewat e-mail. Dan ternyata, hal ini jadi lebih interaktif dan menarik. Anna mengaku, pernah memecahkan rekor mengeluarkan lebih dari 50 topik untuk kultwit dan responsnya memang di luar perkiraan. Anna juga ingin meluangkan lebih banyak waktu lagi untuk membagi pengetahuan yang kebetulan ia kuasai agar bisa bermanfaat untuk yang lain.

Di luar pekerjaan, Anna dan suami sepakat untuk tetap memprioritaskan keluarga. Bentuknya bisa macam-macam. Misalnya, ia dan suami sepakat hanya punya satu mobil saja supaya bisa kumpul dan punya waktu mengobrol bersama di mobil sebelum melakukan aktivitas. Karena memprioritaskan keluarga pula, Anna memutuskan tidak praktik di hari Sabtu dan Minggu. Walaupun ada saja yang menanyakan dan meminta, tapi ia selalu menolaknya dengan halus. Kalau sampai ada pun, itu sifatnya urgent dan ia memang harus membantu. Anna juga membatasi pekerjaan. Sore ia harus sudah pulang. Jam kerja suaminya dari pukul 07.00 hingga 16.00. Jadi pagi hari ia dan suami berangkat bersama dan Anna selalu mengusahakan pukul 16.00 sudah selesai sehingga bisa pulang bersama. Sebenarnya, kata Anna, kalau mau dikejar terus, ia bisa bekerja sampai malam, tetapi itu bukan yang ia mau dan ia cari. Anna tidak peduli bila ada yang mengatakannya ‘cemen’atau ‘cinderella’, karena ini memang sudah komitmennya dengan keluarga. Bilamana ada pekerjaan yang belum selesai, ia akan melanjutkannya di rumah setelah bertemu dengan anak-anak.

Anna merasa peran suami sangat penting untuk kariernya. Suaminya memang selalu mendukung, misalnya saat ada seminar, dia yang akan menemani anak-anak. Bahkan, semakin ke sini, sepertinya ia dan suami diuntungkan oleh profesi masing-masing. Suaminya adalah seorang auditor yang sangat familiar dengan angka, sedangkan Anna mengaku sama sekali tidak bisa berhitung. Jadi, kalau masalah kontrak kerja atau fee, ia selalu bertanya pada suaminya.

Anna juga selalu memasukkan jadwal kalender akademik anak-anak ke jadwal agenda, sehingga ia bisa cermat dan menyesuaikan dengan agenda miliknya. Ia memang masih memiliki banyak waktu untuk kleuarga. Memulai dari kebiasaan kecil, misalnya ngobrol bersama saat makan malam. Anak-anaknya yang semakin besar juga kini disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Jadi biasanya saat weekend ia alokasikan waktu untuk jalan-jalan atau makan bersama di luar. Intinya, Anna berusaha memaksimalkan semua komunikasi di rumah, termasuk menerapkan peraturan no gadget saat makan. Bila makan di rumah, gadget harus ditaruh di kamar masing-masing. Kalau makan di luar, begitu salah satu pesanan muncul, semuanya harus menaruh gadget dan baru boleh memegangnya kembali setelah selesai makan. Ini menjadikan kebersamaan waktu yang maksimal untuk keluarga.

Anna membaca banyak penelitian dan meyakini bahwa orangtua yang baik dimulai dari menjadi pasangan yang baik. Menjalankan komunikasi dan hubungan yang baik dimulai dari menjadi pasangan. Segala masalah harus segera diselesaikan dengan pasangan. Banyak cara yang bisa dilakukan. Untuk Anna sendiri, karena anak-anaknya sudah semakin besar, membuatnya punya waktu banyak ke luar kota bersama suami dan ini sangat ia manfaatkan. Misalnya, ia pernah pergi ke Surabaya bersama suami, dengan menyetir bergantian, menikmati waktu kebersamaan. Menghabiskan waktu berdua dengan suami, setelahnya bisa me-refresh pikiran dan menjadi orangtua yang lebih bahagia, sehingga anak pun juga jadi ikut bahagia. Sejak 2013, Anna juga rutin meluangkan waktu pergi ke luar kota dan liburan bersama anak-anak saat libur sekolah dan akhir tahun. Dan setiap liburan usai, mereka akan mendiskusikan hal-hal apa saja yang menyenangkan, dan bisa diulangi di lain waktu. Dan sebetulnya, menurut Anna, tidak harus pergi berliburan juga, karena yang terpenting adalah tetap menjaga komunikasi sehari-hari. Pertama bisa dimulai dari diri sendiri, emosi yang stabil, memaknai semuanya dengan bahagia, sehingga menjadi pasangan dan keluarga yang bahagia.



0 komentar:

Posting Komentar