Sebagai seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan psikologi dan berprofesi sebagai psikolog anak, Devi kerap menemukan banyaknya masalah komunikasi antara orangtua dan anak, ketika sedang praktik. Devi kemudian melakukan riset dan menemukan bahwa solusi yang bisa dilakukan agar komunikasi yang terjalin antara orangtua dan anak berjalan baik adalah lewat buku cerita. Devi kemudian mempraktikkan dengan membacakan buku cerita kepada anak-anak. Hasilnya, terjadi bonding yang kuat antara Devi dan anak-anak yang ia bacakan buku cerita tadi. Karena itulah, Devi berpikir kalau ia saja bisa menjalin hubungan yang baik dengan anak-anak lewat buku cerita, tentu akan lebih maksimal kalau ini dilakukan orangtua secara rutin, karena merekalah yang sehari-harinya bersama anak tersebut.
Devi terus mengedukasi orangtua dan memberikan masukan untuk membacakan buku cerita. Dari hasil diskusi dengan orangtua, Devi mendapatkan masukan yang akhirnya mendorongnya untuk menulis buku cerita. Para orangtua itu mengatakan, mereka mau saja membacakan buku cerita. Masalahnya, buku cerita interaktif seperti yang Devi sarankan dengan bahasa Indonesia susah dicari. Kalaupun ada, itu masuk ke buku impor yang harganya tidak terjangkau. Devi pun berpikir, karena ia sendiri juga hobi menulis dan sudah dibekali ilmu psikologi anak serta paham kebutuhan anak, jadi mengapa bukan dirinya saja yang membuatkan buku ceritanya. Dua bulan pengerjaan, akhirnya keluarlah buku cerita anak karyanya berjudul Asal Mula Namaku dengan bendera Rabbit Hole pada Agustus 2014 lalu.
Inspirasi saat membuat buku tersebut, Devi dapatkan saat melihat, anak-anak yang seharusnya bermain sudah dipaksa belajar calistung. Karena memang belum waktunya, biasanya anak-anak ini hanya seperti menghapal tanpa bisa memahami calistung. Devi pun prihatin melihat kondisi ini, kemudian terinspirasi mengajarkan mereka mengenali huruf dengan cara yang menyenangkan. Dalam buku cerita Asal Mula Namaku, Devi mengenalkan lima huruf vokal dan menggambarkannya dengan benda yang ada di sekitar. Tak hanya agar mereka mudah mengenali, tetapi juga membuat gambar yang menarik dan membuat anak-anak tak lepas dari buku.
Devi memilih nama Rabbit Hole, karena ia memang suka cerita Alice In The Wonderland. Alice adalah perempuan biasa yang kemudian masuk ke dalam Rabbit Hole dan akhirnya menemukan berbagai pengalaman hidup yang luar biasa. Filosofisnya adalah, Devi menginginkan anak-anak yang membaca buku Rabbit Hole juga bisa menemukan pengalaman yang luar biasa.
Devi mengaku, suka menulis karena awalnya suka membaca. Dari kecil ia sering diberikan buku oleh kedua orangtua. Kemudian ia mulai menulis ketika SMA. Ia memulainya dengan blog. Bahkan, Devi dulu pernah bercita-cita menjadi penulis. Dan ketika hendak mengambil jurusan kuliah, ia berpikir kalau memilih psikologi maka akan bisa mendalami berbagai karakter dan berbagai macam kepribadian sehingga tulisannya menjadi kaya. Dulu memang, tulisannya hanya berupa cerpen dan novel untuk remaja, belum pernah menulis buku cerita anak. Namun, ketika sudah kuliah dan praktik, ia malah sibuk dan tidak pernah menulis lagi. Bahkan ia sempat mengubur dalam-dalam cita-citanya menjadi penulis. Barulah, ketika buku ceritanya mendapat respons yang baik, ia mulai jadi keterusan menulis.
Setelah Asal Mula Namaku diluncurkan, Devi masih praktik di klinik dan membagi waktu untuk menulis buku. Pada awalnya, ia hanya menganggap menulis buku hanya sekedar hobi, jadi ia masih bisa memberikan konsultasi dan praktik. Tapi ternyata, Devi melihat ada perkembangan yang bagus dari buku cerita yang ia buat. Responsnya di luar perkiraan, sehingga ia akhirnya fokus dengan Rabbit Hole dan meninggalkan praktik. Devi pun jadi produktif membuat buku-buku selanjutnya.
Saat membuat buku Asal Mula Namaku, Devi menggandeng rekannya, Guntur, sebagai ilustrator. Sampai sekarang pun ia masih dibantu oleh Guntur untuk menuangkan konsep tulisan dalam bentuk gambar dan visualnya. Masing-masing buku cerita memang memiliki proses yang berbeda. Ada yang terinspirasi dari kebutuhan, ada yang memang ia konsep memuat nilai psikologi sesuai pengetahuan yang ia miliki. Seperti buku kedelapan yang berjudul Hmmm, yang mengenalkan berbagai bentuk emosi kepada anak-anak dengan interaktif dan juga sekaligus melatih sensoriknya. Di buku pengenalan emosi ini, Devi memiliki konsep touch and feel. Jadi, di bukunya ketika menggambarkan emosi marah misalnya, ada wajah marah dan bentuk batu berwarna merah. Emosi senang digambarkan dengan taman bunga yang berwarna-warni. Atau seperti buku Liburan, yang ingin mengenalkan daerah yang mungkin jarang diketahui anak kecil seperti Jailolo dan Toraja. Lagi-lagi, semua buku cerita itu dibuat interaktif sehingga terjadi komunikasi atau bahkan hingga diskusi dengan anak.
Soal berapa lama waktu yang ia perlukan untuk membuat buku cerita memang tidak bisa diprediksi. Devi punya target dalam setahun bisa memproduksi minimal empat buku cerita. Untuk membuat satu buku biasanya proses kreatifnya berbeda. Menurut Devi, proses menulisnya sebetulnya cepat, hanya butuh waktu 30 menit, karena kata-katanya memang sedikit dan lebih banyak visualnya. Yang lama adalah mengumpulkan ide kreatifnya. Biasanya ide itu dikumpulkan satu persatu, baru kemudian dieksekusi. Lamanya bisa dua bulan atau bahkan lebih.
Kendala yang biasa ditemui biasanya lebih banyak saat produksi. Karena Devi mencetak dan memproduksi sendiri, maka biasanya agar hasilnya tetap maksimal, ia dan Guntur terus melakukan quality control. Kendala lainnya biasanya lebih ke material buku yang akan diproduksi. Misalnya, saat membuat buku emosi yang berjudul Hmmm, karena ada beberapa material yang sulit, salah satunya kaca tipis yang akan diselipkan, Devi sampai harus mencarinya ke luar kota. Karena Rabbit Hole masih termasuk pemula, maka masih harus terus mengenalkan produknya. Selain itu, semua buku cerita terbitan Rabbit Hole memang produksi sendiri. Jadi, masih terus berusaha membuat produk bisa semakin baik.
Sebenarnya, menurut Devi, waktu pertama kali ia memproduksi buku cerita anak itu, modalnya hanya nekat saja. Ia sengaja memproduksi sendiri, karena sewaktu mendatangi penerbit, ternyata hasil pembagiannya lebih besar untuk penerbit. Devi jadi merasa kurang dihargai. Oleh karena itulah ia nekat mencetak sendiri, bahkan yakin pula bisa mendistribusikannya sendiri. Ia dan Guntur pun memperkirakan buku cerita akan dicetak sebanyak 100 buah. Tapi ternyata, ketika datang ke percetakan, ongkos produksinya mahal sekali. Satu buku bisa dihargai sekitar Rp 150.000. Padahal, Devi berniat buku ini dijual memang untuk edukasi dengan harga yang terjangkau. Dan, untuk mencapai harga yang terjangkau dan diinginkan, maka buku itu harus dicetak sebanyak 1000 buah. Sempat ragu-ragu, tapi akhirnya Devi tetap nekat. Ia pun harus mengeluarkan modal sekitar Rp 15 jutaan. Rasa takut tidak laku sempat muncul, namun Devi anggap ini sebagai tantangan. Devi pun jadi gencar berpromosi ke teman-teman, hingga akhirnya di bulan keenam bukunya habis terjual semua. Bahkan orang yang tidak ia kenal pun mau membeli dan mencari buku cerita karyanya. Devi pun jadi makin bersemangat.
Devi menganggap semua buku cerita yang ia buat istimewa. Tetapi memang buku kedelapan, Hmmm, yang mengenai emosi adalah buku yang dari dulu ia inginkan, karena ada unsur psikologinya. Menurutnya, orang dewasa saja masih banyak yang bingung dengan berbagai bentuk emosi. Karena itulah, kenapa sejak dini anak perlu mengetahui bentuk emosi. Kalau sudah mengenali emosi, dia akan lebih mudah mengaturnya, dan akan lebih bisa mengekspresikan dengan tepat. Menurut cerita beberapa orang, buku ini dianggap lebih berhasil. Anak-anak bisa lebih ekspresif. Tentu, seperti yang Devi inginkan buku ini juga bisa bermanfaat.
Buku terbitan Rabbit Hole memang berbeda dengan buku cerita lain karena sifatnya interaktif. Memang, sejak awal tujuannya untuk mengedukasi agar buku cerita yang dibacakan untuk anak bisa menjadi sarana komunikasi dua arah, antara orangtua yang membacakan dengan anak yang mendengarkan. Misalnya dengan melibatkan diskusi atau menebak pertanyaan. Ini juga bisa menjadi sarana edukasi bagi orangtua. Soal harga, buku cerita produksi Rabbit Hole juga terjangkau mulai dari Rp 25.000 hingga Rp 150.000. Padahal dengan konten yang sama, buku-buku impor yang seperti ini harganya bisa ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Devi bercerita, sebetulnya sebelum membuat buku cerita dalam bentuk cetak, ia pernah membuatnya dalam bentuk digital. Judulnya Bella dan si Kelima Balon, pada Februari 2014. Saat itu geliat start up memang tengah naik, dan ia ingin memanfaatkannya dan berpikir bahwa gadget bisa menjadi jembatan untuk mengenalkan minat baca kepada anak dengan membuat buku cerita digital. Devi pun menggandeng developer untuk meluncurkannya di App Store untuk sistem operasi iOS. Sayangnya, memang kurang direspons. Pengguna gadget di Indonesia lebih banyak menggunakan Android, jadi hanya sebagian yang bisa mengunduh dan tahu aplikasinya. Dan ini sebenarnya, menurut Devi, memang proyek egoisnya. Karena kepuasan hanya ia rasakan sendiri. Niatnya untuk mengedukasi, bukan sebagai peluang bisnis.
Walau responsnya jauh berbeda dengan bisnis di cetaknya, Devi tetap terus berusaha mengedukasi lewat digital, namun bukan prioritas. Sembari berjalan dengan produksi cetak, ia juga memikirkan mengembangkan apps untuk sistem operasi Android. Menurut Devi, media digital lewat apps juga penting, karena biasanya gadget lebih banyak dan lebih sering digunakan anak-anak di kota besar. Selain hanya untuk bermain games, ada baiknya digunakan juga untuk membaca buku cerita. Tentu dengan bacaan yang bagus. Jadi, mereka dapat memaksimalkan gadget dengan bermain sekaligus menumbuhkan minat baca. Apps memang hanya menjadi jembatan saja untuk mereka, bukan yang utama. Gadget pun bisa menjadi sarana komunikasi dengan orangtua. Oleh karena itu, kontennya tetap interaktif, jadi bisa melakukannya bersama. Uniknya, nama tokoh Bella dan si Kelima Balon ini dapat diganti sesuai nama anak yang tengah bermain. Ada juga beberapa pilihan cerita untuk mengganti atau mengejar balon yang disukai.
Rencana ke depan yang ingin dicapai Devi, dari segi produksi, ia ingin bisa meningkatkan produksi. Apalagi ia juga ingin bisa merambah pasar ekspor. Sudah terpikir juga ingin mengikuti International Book Fair. Devi juga ingin bekerja sama dengan instansi pemerintah terkait dan membuka peluang bekerja sama. Kalau dari segi cerita, Devi ingin mengangkat budaya-budaya di Indonesia. Untuk apps-nya memang bukan prioritas, tetapi berjalan berdampingan saja, sembari melihat respons pengguna Android yang nantinya mengunduh karya Rabbit Hole.
Devi menganggap semua buku cerita yang ia buat istimewa. Tetapi memang buku kedelapan, Hmmm, yang mengenai emosi adalah buku yang dari dulu ia inginkan, karena ada unsur psikologinya. Menurutnya, orang dewasa saja masih banyak yang bingung dengan berbagai bentuk emosi. Karena itulah, kenapa sejak dini anak perlu mengetahui bentuk emosi. Kalau sudah mengenali emosi, dia akan lebih mudah mengaturnya, dan akan lebih bisa mengekspresikan dengan tepat. Menurut cerita beberapa orang, buku ini dianggap lebih berhasil. Anak-anak bisa lebih ekspresif. Tentu, seperti yang Devi inginkan buku ini juga bisa bermanfaat.
Devi bercerita, sebetulnya sebelum membuat buku cerita dalam bentuk cetak, ia pernah membuatnya dalam bentuk digital. Judulnya Bella dan si Kelima Balon, pada Februari 2014. Saat itu geliat start up memang tengah naik, dan ia ingin memanfaatkannya dan berpikir bahwa gadget bisa menjadi jembatan untuk mengenalkan minat baca kepada anak dengan membuat buku cerita digital. Devi pun menggandeng developer untuk meluncurkannya di App Store untuk sistem operasi iOS. Sayangnya, memang kurang direspons. Pengguna gadget di Indonesia lebih banyak menggunakan Android, jadi hanya sebagian yang bisa mengunduh dan tahu aplikasinya. Dan ini sebenarnya, menurut Devi, memang proyek egoisnya. Karena kepuasan hanya ia rasakan sendiri. Niatnya untuk mengedukasi, bukan sebagai peluang bisnis.
Walau responsnya jauh berbeda dengan bisnis di cetaknya, Devi tetap terus berusaha mengedukasi lewat digital, namun bukan prioritas. Sembari berjalan dengan produksi cetak, ia juga memikirkan mengembangkan apps untuk sistem operasi Android. Menurut Devi, media digital lewat apps juga penting, karena biasanya gadget lebih banyak dan lebih sering digunakan anak-anak di kota besar. Selain hanya untuk bermain games, ada baiknya digunakan juga untuk membaca buku cerita. Tentu dengan bacaan yang bagus. Jadi, mereka dapat memaksimalkan gadget dengan bermain sekaligus menumbuhkan minat baca. Apps memang hanya menjadi jembatan saja untuk mereka, bukan yang utama. Gadget pun bisa menjadi sarana komunikasi dengan orangtua. Oleh karena itu, kontennya tetap interaktif, jadi bisa melakukannya bersama. Uniknya, nama tokoh Bella dan si Kelima Balon ini dapat diganti sesuai nama anak yang tengah bermain. Ada juga beberapa pilihan cerita untuk mengganti atau mengejar balon yang disukai.
Saya Atas nama IBU SITI AISYA ingin berbagi cerita kepada anda semua bahwa saya yg dulunya cuma seorang TKW di SINGAPURA jadi pembantu rumah tangga yg gajinya tidak mencukupi keluarga di kampun,jadi TKW itu sangat menderita dan di suatu hari saya duduk2 buka internet dan tidak di sengaja saya melihat komentar orang tentan AKI SOLEH dan katanya bisa membantu orang untuk memberikan nomor yg betul betul tembus dan kebetulan juga saya sering pasan nomor di SINGAPURA,akhirnya saya coba untuk menhubungi AKI SOLEH dan ALHAMDULILLAH beliau mau membantu saya untuk memberikan nomor,dan nomor yg di berikan AKI SOLEH 100% tembus (4D) <<< 3 3 4 1 >>> saya menang togel (150,juta) meman betul2 terbukti tembus dan saya sangat bersyukur berkat bantuan AKI SOLEH kini saya bisa pulang ke INDONESIA untuk buka usaha sendiri,,munkin saya tidak bisa membalas budi baik AKI SOLEH sekali lagi makasih yaa AKI dan bagi teman2 yg menjadi TKW atau TKI seperti saya,bila butuh bantuan hubungi saja AKI SOLEH DI 082-313-336-747- insya ALLAH beliau akan membantu anda.Ini benar benar kisah nyata dari saya seorang TKW trimah kasih banyak atas bantuang nomor togel nya AKI wassalam.
BalasHapusKLIK DISINI-AHLI-DUKUN-TOGEL-SAKTI-TERPERCAYA