Diyakini tidak sekadar mencari keuntungan pribadi, tetapi juga memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat tertentu dan ramah lingkungan. Tak heran jika bisnis sosial kini tumbuh subur di kota-kota besar dunia. Menyadari akan dampak positif pola bisnis itu, Marina Silvia Kusumawardhani fokus mengenalkan konsep bisnis sosial ke berbagai penjuru Indonesia.
Marina bercerita, sejak lulus S1 di Teknik Industri ITB, Bandung, ia sempat merasakan kegalauan. Bukan karena masalah percintaan, tetapi lebih ingin mencari tujuan hidup, ingin menjadi apa dan sebagainya. Ketika kuliah S1 pun, ia lebih concern mencari pencerahan batin. Bungsu dari lima bersaudara ini lantas pergi jalan-jalan sendirian saja ke India dan Thailand untuk mencari jati diri. Perjalanan ini kemudian ditulis Marina dalam bukunya berjudul Jingga : Perjalanan ke India dan Thailand Mencari Surga di Bumi. Saat itu kebetulan Marina juga nge-fans dengan grup band seperti The Beatles dan Kula Shaker, yang pernah mengatakan bahwa kalau ingin mencari sesuatu, datanglah ke India. Karena di sana pasti akan menemukan sesuatu yang kita cari. Ketika itu Marina memang jadi penasaran, dan akhirnya bisa ke sana di tahun 2003, saat umurnya baru 19 tahun. Bahkan saat di India, ia juga sampai ke Himalaya.
Di sana Marina bertemu para pencari jati diri dari berbagai belahan dunia, lalu melakukan sharing, ngobrol dengan mereka dan juga seseorang yang disebut guru. Marina senang bisa bertemu dengan banyak orang dengan beragam latar belakang. Sebetulnya, orangtuanya sempat tak mengizinkan Marina pergi ke sana, tetapi kemudian luluh juga begitu tahu ia telah menabung dari uang jajannya selama 2 tahun untuk perjalanan ini.
Setelah lulus S1, Marina mulai berusaha untuk mandiri, tidak bisa terus menerus menerima uang dari orangtua atau keluarganya. Untuk mencari jawaban apa yang harus dilakukannya, Marina lalu kembali traveling ke Eropa dengan hanya bermodalkan uang 1000 dolar. Perjalanannya yang kedua ini juga dituangkannya dalam buku berjudul Back "Europe" Pack : Keliling Eropa 6 bulan Hanya 1.000 Dolar. Dari hasil traveling sendirian ke Eropa itu, Marina menemukan jawaban bahwa ia ingin bekerja di bidang ekonomi. Ia melihat, hampir semua konflik, ketidaksetaraan, dan hampir semua masalah dalam masyarakat bisa ditarik ke ekonomi. Misalnya, ketika Donald Trump memenangi Pilpres Amerika Serikat, ketika ditarik garisnya, ternyata kembali ke masalah ekonomi. Jadi, memang banyak orang yang belum bahagia dengan kehidupannya. Ada kecemburuan sosial antara orang yang berada di pantai timur dan barat, Yang pengejawantahannya malah jadi rasis, menyerang sentimen agama. Padahal motif asalnya adalah ketidaksetaraan ekonomi. Menurut Marina, masalah ekonomi itu seperti menjalar di bawah tanah, tidak kelihatan. Padahal pengaruhnya ke psikologi manusia itu besar, tapi kadang diabaikan.
Tahun 2009, Marina kuliah S2 di Technische Universitat Wien, Wina, Austria, dan lulus tahun 2012. Ketika kuliah di Wina, Marina sempat menjadi aktivis complimentary currency, mata uang pelengkap, seperti bitcoin. Sampai kemudian tahun 2011, ia mendapat pesan singkat dari seorang teman yang mengatakan bahwa pemenang Nobel, Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank, asal Bangladesh, sedang berada di Wina untuk menghadiri sebuah acara. Penasaran, Marina langsung datangi acara itu dan ternyata ia bisa bertemu dan ngobrol dengannya. Seperti sudah ditakdirkan, ngobrol 5 menit saja dengan Pak Yunus, Marina sudah merasa menemukan apa yang ia cari. Saat itu Pak Yunus berbicara mengenai bisnis sosial. Dia ingin membuat perubahan yang sama dengan apa yang Marina ingin lakukan. Pendekatan yang dilakukan oleh Pak Yunus adalah dengan cara mengubah sektor swasta lebih mengarah ke sana.
Marina mengatakan, Pak Yunus memang ingin mengubah tatanan dari dasar sekali. Sementara bisnis sosial yang ia lihat selama ini lebih kelihatan pada ujungnya saja. Pak Yunus menggunakan hal yang sudah ada di dunia ini, yaitu sektor swasta. Yang selama ini dikenal paling banyak menyebabkan kerusakan lingkungan dan sebagainya. Jadi yang coba diubah itu adalah dari bisnisnya sendiri. Marina menyampaikan kepada Pak Yunus bahwa ia ingin bekerja dengannya dan melihat sendiri. Pak Yunus kemudian mempersilahkan Marina datang ke Bangladesh dan memberikan kartu namanya. Setelah lulus S2 di tahun 2012, Marina pun pergi ke Bangladesh. Sekitar 6 bulan di sana, ia tinggal di rumah penduduk di desa dan ngobrol banyak dengan Pak Yunus.
Tema risetnya di sana adalah renewable energy atau energi terbarukan, yang kebetulan juga merupakan background-nya di Teknik Industri. Jadi, Marina membuat riset bagaimana dampak energi terbarukan tersebut terhadap kemiskinan dan agar energi itu bisa dijadikan komoditas untuk dijual dan sebagainya. Salah satu proyek Grameen Bank itu adalah menyebar solar panel yang bisa dicicil dengan kredit mikro. Bisnis sosial itu adalah bagaimana caranya sebuah bisnis secara bersamaan dapat memberi dampak sosial yang besar untuk masyarakat. Banyak ide yang Marina dapatkan selama di Bangladesh dan semuanya sudah ia bicarakan dengan Pak Yunus, terutama menyangkut anak-anak muda yang sebetulnya banyak kepeduliannya terhadap isu sosial dan sangat mahir teknologi. Marina berpikir bagaimana caranya menggabungkan dua hal ini dan menjadikan anak-anak muda tersebut sebagai socialpreneur. Dari situ lahirkan semacam lembaga konsultasi dan pelatihan.
Marina kemudian kembali ke Austria dan bergabung dalam lembaga PBB yaitu United Nations Industrial Development Organization (UNIDO). Tahun 2014 ia kembali ke Indonesia, dan tahun 2015 menjadi konsultan Asian Development Bank (ADB) dalam proyek bisnis sosial untuk Indonesia. Proyek itu sampai kini masih berjalan dan bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Banyak kegiatan yang Marina lakukan. Salah satunya ketika ia harus ke Sumbawa untuk memberi pelatihan bersama UNESCO. Mereka melatih pembuatan aplikasi untuk memotong mata rantai para petani dan nelayan, demi menstabilkan harga di pasar.
Marina menambahkan, pengertian istilah bisnis sosial itu sebetulnya agak rancu. Karena hampir semua orang mengaku bisnisnya adalah bisnis sosial. Spektrumnya banyak sekali, mulai dari membuat bisnis tanpa profit atau bisnis yang memiliki dampak sosial. Bahkan beberapa LSM juga berpikir mereka menjalankan sebuah bisnis sosial. Maka, kesimpulan yang Marina ambil adalah, bisnis sosial adalah sebuah bisnis yang tidak tergantung pada sumbangan. Lalu memiliki dampak sosial yang besar, dan harus dari awal berniat untuk menjadi sosialpreneur. Walau sebetulnya, kalau tidak memiliki ketiga hal tadi, juga tidak apa-apa, karena bisnis sosial memang memiliki spektrum yang sangat luas. Marina seniri lebih suka menyebut bisnis sosial sebagai bisnis inklusif. Karena dengan begitu sudah jelas bahwa ini adalah sebuah bisnis, bukan LSM. Harus berkelanjutan, tidak bangkrut, tidak meminta uang, dan uang investasi harus diputar untuk mengembangkan bisnisnya. Pernyataan itu memang sama saja dengan menjadi entrepreneur. Namun ada faktor kedua, yakni dampak sosial. Bagaimana bisnis ini bisa berguna, bermanfaat secara sosial.
Selain tengah sibuk mengembangkan bisnis sosial, sejak 2014 saat kembali ke Indonesa, Marina juga memiliki kesibukan lain dengan menjadi konsultan untuk Presiden Jokowi dan Ridwan Kamil. Dengan Ridwan Kamil, selain sebagai konsultan pembangunan ia juga menjadi duta tugas luar negeri Walikota Bandung itu. Semuanya berjalan begitu saja, sama seperti saat ia bertemu dengan Pak Muhammad Yunus, UNIDO, ADB, dan lainnya. Tidak ada proses yang lama dan berat. Mungkin, ketika bertemu Marina sudah banyak bicara mengenai keinginannya untuk membantu. Juga baginya, menjadi konsultan itu tidak terlalu sulit. Di luar itu, tugasnya sama seperti bekerja di perusahaan sebagai CEO. Kalaupun ada pekerjaan yang sulit seperti membuat laporan, ia bisa meminta bantuan tim. Ia menganggap pekerjaaannya sebagai konsultan sebagai work smart bukan work hard. Ia bisa mengerjakan tugas dari mana saja.
Sebetulnya ia bisa libur kapan saja, tapi yang terjadi justru ia ingin bekerja terus-menerus, karena penasaran ingin semua pekerjaannya beres. Bisa juga Marina bekerja sambil berlibur, seperti saat ia ke Sumbawa. Setelah semua pekerjaan selesai, ia menyempatkan diri untuk berlibur ke Labuan Bajo selama tiga hari. Kalau ada waktu luang, Marina biasa menonton teve, mendengarkan musik, atau membaca buku. Sementara ini ia hanya menjalani dulu pekerjaan yang sudah ada. Dan berharap semoga bisnis inklusif semakin maju di Indonesia. Sekarang ia sedang mencoba mengatasi masalah pendanaan akan hal ini, karena bisnis sosial ini juga butuh investasi. Sebenarnya banyak investor yang mau masuk ke Indoensia, tapi sayangnya di Indonesia proyek yang dikerjakan masih kurang.
0 komentar:
Posting Komentar