Pengalaman membantu TKI yang bermasalah di negeri orang membuat Maizidah Salas mendirikan Kampung Buruh Migran. Ia ingin mengajari para mantan TKI supaya bisa mandiri dan tidak kembali bekerja di luar negeri karena sudah memiliki usaha sendiri. Sukses dengan usahanya, Maizidah pun kini kerap diminta untuk menjadi motivator bagi buruh migran di berbagai daerah.
Maizidah
bercerita, ada dua penyebab mengapa ia pernah menjadi TKI, yakni masalah
ekonomi dan juga untuk mengobati luka hatinya. Saat kelas 1 SMA, ia mengaku
pernah diperkosa oleh seniornya saat sedang mengikuti kegiatan pramuka di
sekolah. Saking stresnya dengan pengalaman pahit itu, ia sampai tak mau sekolah
lagi dengan alasan sakit. Sampai-sampai wali kelasnya datang ke rumahnya untuk
membujuknya agar mau sekolah lagi. Terlebih, meski baru duduk di kelas satu,
Maizidah sudah berprestasi di kejuaraan voli dan MTQ tingkat provinsi. Namun,
ketika ia kembali berani sekolah, ternyata banyak teman-teman dan guru yang
mencibirnya soal keadaan dirinya yang sudah tidak gadis lagi. Maizidah pun
makin down hingga betul-betul tak mau
sekolah lagi.
Sampai
akhirnya keluarga mengetahui pengalaman buruk yang menimpa Maizidah di tahun
1992 itu, dan meminta si pemerkosa untuk menikahinya. Namun, menikah dengan
seniornya itu, ternyata malah menjadi neraka kedua bagi kehidupan Maizidah.
Selama menikah, ia selalu disiksa, seperti dijambak, dibenturkan ke tembok,
ditendang, dan diludahi. Saat ia hamil pun, siksaan itu tak berhenti, bahkan
sampai si anak lahir. Sang suami juga tak pernah menafkahi dirinya. Tapi
Maizidah masih mencoba bertahan untuk tidak minta cerai, walau sang suami sempat
pergi meninggalkannya selama 15 bulan tanpa kabar. Hingga suatu hari, ia
mendengar kabar bahwa suaminya sudah tinggal di Jakarta bersama perempuan lain.
Kenyataan itu membuat Maizidah tambah stress bahkan sampai sakit dan dirawat di
rumah sakit. Sepulang dari rumah sakit, ia pun berpikir sepertinya harus keluar
dari kampungnya di Wonosobo, Jawa Tengah, untuk melupakan semua peristiwa pahit
dalam hidupnya. Kalau tidak, ia akan terus memikirkan masalah itu. Ditambah
lagi, ia juga harus bisa menafkahi anaknya.
Maizidah
akhirnya memutuskan menjadi TKI ke Korea pada 1996. Modalnya ia dapatkan dengan
berhutang ke bidan desa. Ketika sudah berada enam bulan di Korea, kakaknya
memberi kabar bahwa ia sudah dicerai oleh suaminya, karena perempuan yang
tinggal bersamanya sudah hamil besar dan minta pertanggung jawaban. Detik itu
juga Maizidah merasa ia sudah menjadi perempuan yang merdeka, dan langsung
sujud syukur. Tapi tak lama kemudian, ia kembali mendapatkan masalah di Korea.
Saat tahun 1998, Korea terkena krisis ekonomi dunia, ia dan para TKI yang lain
pun terkena imbasnya. Perusahaan tempatnya bekerja kolaps dan ia harus pindah.
Tapi setelah beberapa kali pindah kerja dan akhirnya menganggur kembali,
akhirnya ia dan para TKI yang lainnya pun harus mau dipulangkan.
Setahun
setelah kembali ke rumah, Maizidah pun makin stress memikirkan siapa yang akan
membiayai anaknya, statusnya yang janda, dan lainnya. Ia lantas meminta izin ke
orangtua untuk merantau lagi. Apalagi, hutangnya pada bidan juga belum lunas.
Orangtuanya mengizinkan, bahkan sampai menjual kebun agar ia bisa berangkat
menjadi TKI ke Taiwan. Tapi saat di Jakarta, sebelum berangkat ke Taiwan, ia
ditipu orang dan uang Rp 10 juta hasil jual kebun itu pun hilang. Sejatinya
uang itu untuk mendaftar melamar kerja di pabrik di Taiwan. Karena tidak berani
pulang takut dimarahi orangtuanya, Maizidah lalu pindah ke PJTKI untuk PRT,
yang waktu itu, tahun 2001, biayanya masih cukup murah, hanya Rp 1.750.000.
Namun pilihannya itu malah mengantarkannya masuk ke neraka berikutnya. Selama
tiga bulan berada di penampungan di Jakarta, ia dan calon TKI lainnya dilarang
keluar dan menelepon. Tidur pun dilantai tanpa kasur dan bantal. Mereka juga
disuruh membersihkan kantor PJTKI dan memasak.
Beberapa bulan
setelah di penampungan, akhirnya ia berangkat juga ke Taiwan. Di sana ia
dijanjikan untuk merawat seorang nenek yang buta. Tapi ternyata kenyataannya
beda. Di rumah majikannya yang memiliki usaha rumah makan itu, ia malah disuruh
bekerja penuh dari pukul 04.00 pagi hingga pukul 00.30 tengah malam. Dimulai
dari membuat acar kol sebanyak 24 kg, yang membuat tangannya perih. Lalu
mencuci usus babi 7 kg, menyangrai daging babi 4 kg, dan mengerjakan pekerjaan
rumah lainnya. Ia juga tidak boleh libur, cuti, menerima gaji, atau bicara
dengan orang lain selain keluarga majikan. Suatu hari, karena salah membaca
soal penulisan resep, acar kol yang ia buat rasanya tidak karuan. Ia pun harus
terima dimaki-maki oleh keluarga majikan dan juga agennya.
Pada bulan ke
empat, ia dipindah ke majikan baru. Untungnya pasangan majikan yang tidak
memiliki anak ini sangat baik. Tugasnya disana hanya bersih-bersih dan menjaga
rumah. Maizidah merasa sangat disayang oleh majikannya yang baru ini. Tapi pada
bulan ke empat berada di sana, ia dijemput lagi oleh agennya, karena majikan
pertama tak bisa mengambil pembantu baru sebelum ia dipulangkan ke Indonesia.
Maizidah berusaha menolak pulang. Dan, atas saran teman-teman sesama TKI ia pun
melarikan diri dari kantor agen tanpa membawa apa pun. Sejak saat itu ia
menjadi TKI ilegal. Selama seminggu ia menumpang tinggal di mess seorang teman.
Ia juga berhutang ke temannya untuk membayar agen ilegal. Setelah mendapatkan pekerjaan
kembali, sayangnya ia tak bisa menikmati gajinya karena diambil oleh agennya
yang baru. Ia pun kembali melarikan diri dan mencari pekerjaan berikutnya.
Beragam pekerjaan pernah Maizidah lakukan, mulai dari bekerja di panti jompo,
menjaga lansia, bekerja di restoran, pabrik selimut, pengalengan jagung, dan
pabrik VCD. Beruntung, setelah itu ia bisa mendapatkan pekerjaan di pabrik yang
hasilnya lumayan. Maizidah lalu menyewa apartemen bersama teman sedesanya yang
dulu juga pernah sama-sama tertipu, dan sama-sama bekerja di pabrik. Pada saat
itulah, ia teringat kembali akan nasib teman-teman TKI lain di Taiwan yang
kurang beruntung. Akhirnya, apartemen
yang ia sewa bersama temannya itu pun ia gunakan untuk menampung teman-teman
TKI yang sedang kena masalah.
Karena
apartemennya hanya punya satu kamar, maka ia hanya bisa menampung 1-5 orang.
Maizidah juga memberi mereka makan, mencarikan pekerjaan, dan sedikit uang.
Meski hanya bisa membantu sedikit, tapi ia senang. Dari situ, Maizidah melihat,
banyak pula TKI resmi yang bermasalah. Ada TKI yang mengalami kecelakaan tapi
didiamkan saja. Maizidah lalu membawanya ke rumah sakit, memberinya makan dan
baju, yang semuanya berasal dari gajinya. Selama empat tahun ia bekerja secara
illegal di Taiwan, dan bisa dibilang ia tak mempunyai uang karena habis untuk
membantu teman-teman sesama TKI dan dirinya sendiri. Hingga pada suatu hari, ia
dijebak oleh polisi yang mengaku calon majikannya. Maizidah pun ditangkap dan
harus di sel selama 16 hari lalu dideportasi ke Indonesia. Maizidah pun harus
pulang ke Wonosobo dengan perasaan malu karena tidak mempunyai uang. Lalu ia
meminjam sertifikat rumah ayahnya untuk mengajukan pinjaman KUR sebesar Rp 5
juta, yang akan ia gunakan untuk membuka usaha counter pulsa.
Waktu itu,
sempat pula ia nyaris tergiur ajakan calo-calo yang mengajaknya lagi menjadi
TKI. Tapi ia ingat dengan niatnya yang harus melakukan sesuatu seperti yang ia
lakukan di Taiwan. Ketika ngobrol dengan teman-teman sekampung yang sama-sama
mantan buruh migran, ternyata banyak pula yang memiliki masalah. Akhirnya bersama
teman-temannya itu, ia pun membentuk Solidaritas Perempuan Migran Wonosobo
(SPMW), dan ia pula yang ditunjuk sebagai ketuanya. Tapi karena waktu itu
kegiatan mereka hanya kumpul-kumpul saja, dari 16 orang anggota, akhirnya hanya
tersisa 6 orang yang aktif. Lalu Maizidah mengusulkan untuk diadakan arisan
dengan mengajak semua anggota termasuk yang sudah tidak aktif. Awalnya, biaya
setoran hanya Rp 5000. Namun, makin lama peminatnya makin banyak sehingga
dibuatlah beberapa kelompok. Jumlah total pesertanya 229 orang, yang semuanya
adalah mantan TKI yang bermasalah. Organisasi itu kemudian diberi nama Kampung
Buruh Migran, yang diresmikan oleh Kepala BNP2TKI, Jumhur Hidayat. Dan saat
itu, itulah satu-satunya Kampung Buruh Migran di Indonesia yang aktivitasnya
dari mantan buruh migran untuk mantan buruh migran dan keluarganya.
Di organisasi
itu, Maizidah memberikan pendampingan pada setiap kelompok. Semua anggotanya
merupakan korban trafficking buruh
migran dan 90 persennya adalah perempuan. Awal mendirikan SPMW, ia belum tahu
bagaimana mendampingi banyaknya kasus. Maizidah lalu belajar ke Serikat Buruh
Migran Indonesia (SBMI) pusat di Jakarta. Sepulangnya dari Jakarta, SPMW
berhasil melebur ke SBMI dengan menjadi SBMI DPC Wonosobo. Dan lagi-lagi
Maizidah yang dipilih menjadi ketua. Tahun 2008 ia pun berhak untuk mengikuti
kongres SBMI di NTB. Pasca kongres, ia diminta bekerja di kantor pusat sebagai
ketua divisi pengembangan ekonomi tingkat nasional untuk komunitas buruh
migran. Belajar dari pengalaman sebagai perempuan tak berpendidikan serta tak
punya keberanian, Maizidah lalu meneruskan sekolah di Kejar Paket C di Jakarta.
Setelah lulus, ia kuliah di Universitas Bung Karno, Jakarta, Jurusan Hukum
Perdata atas bantuan dana dari teman-teman, termasuk yang sekarang menjadi
suaminya. Karena di SBMI memang tidak ada gaji, murni kerja sosial. Oktober
2014 Maizidah pun berhasil diwisuda.
Maizidah
menceritakan, saat awal mendirikan Kampung Buruh Migran, banyak suami yang
melarang istrinya untuk ikut kegiatan di sana. Tapi sekarang kondisinya sudah
terbalik, saat si istri tidak bisa hadir, suaminya justru yang mewakili. Kini
para mantan buruh migran yang tadinya hanya lebih banyak diam di rumah,
terpuruk, dan menjadi ibu rumah tangga biasa, sekarang jadi berkegiatan,
menghasilkan secara ekonomi, dan melupakan pengalaman pahitnya. Kampung tempat
Maizidah tinggal memang menjadi salah satu kantong buruh migran karena
banyaknya mantan TKI yang berasal dari sana. Dan Maizidah ingin memunculkan citra
yang positif dari keberadaan buruh migran.
Untuk kelompok
korban trafficking, biasanya sebulan
sekali diadakan diskusi atau sharing,
misalnya program dari pemerintah, pelatihan, simpan pinjam, laporan keuangan
dari usaha-usaha kelompok.
Sekarang ini Kampung Buruh Migran mempunyai 31 kelompok yang masing-masing terdiri dari 15-26 anggota, tersebar di 3 kecamatan di Wonosobo. Setiap kelompok itu kini sudah mempunyai usaha sendiri. Ada yang berbisnis kambing, pisang Cavendish, toko sembako, dan sebagainya. Kampung Buruh Migran pun juga telah dijadikan proyek percontohan komunitas buruh migran di berbagai daerah, termasuk yang dibentuk BNP2TKI, antara lain di Malang, Banyuwangi, Lampung, dan Sukabumi. Maizidah memang ingin bisa mengaplikasikannya di beberapa daerah yang belum memiliki SBMI. Ia berharap Kampung Buruh Migran bisa diaplikasikan di kantong-kantong buruh migran secara mandiri sebagai hal yang positif dan menjadi inisiatif mantan buruh migran atau keluarganya agar imej mereka tidak selalu buruk. Kampung Buruh Migran ini pun awalnya terbentuk atas inisiatif sendiri dan dibiayai sendiri. Setelah mandiri, pemerintah kemudian membantu memberikan pelatihan keterampilan dan program yang bisa dikerjakan bersama.
Sekarang ini Kampung Buruh Migran mempunyai 31 kelompok yang masing-masing terdiri dari 15-26 anggota, tersebar di 3 kecamatan di Wonosobo. Setiap kelompok itu kini sudah mempunyai usaha sendiri. Ada yang berbisnis kambing, pisang Cavendish, toko sembako, dan sebagainya. Kampung Buruh Migran pun juga telah dijadikan proyek percontohan komunitas buruh migran di berbagai daerah, termasuk yang dibentuk BNP2TKI, antara lain di Malang, Banyuwangi, Lampung, dan Sukabumi. Maizidah memang ingin bisa mengaplikasikannya di beberapa daerah yang belum memiliki SBMI. Ia berharap Kampung Buruh Migran bisa diaplikasikan di kantong-kantong buruh migran secara mandiri sebagai hal yang positif dan menjadi inisiatif mantan buruh migran atau keluarganya agar imej mereka tidak selalu buruk. Kampung Buruh Migran ini pun awalnya terbentuk atas inisiatif sendiri dan dibiayai sendiri. Setelah mandiri, pemerintah kemudian membantu memberikan pelatihan keterampilan dan program yang bisa dikerjakan bersama.
Kegiatan
Kampung Buruh Migran juga Maizidah sebar lewat sosial media, termasuk blog,
Twitter, dan Facebook, sehingga banyak orang yang akhirnya tahu. Saat ini
Kampung Buruh Migran kerap menjadi tujuan bagi orang-orang yang mengadakan riset
atau skripsi, baik mahasiswa lokal maupun luar negeri, di antaranya dari UGM,
Unes, UNS, UIN, dan mahasiswa yang datang dari universitas di Prancis,
Portugal, Amerika, dan sebagainya. Kira-kira ada sekitar 20 negara yang sudah
datang.
Selain menjadi
Ketua SBMI DPC Wonosobo, Maizidah juga aktif menjadi pembicara di pelatihan
berbagai daerah. Bahkan ia menjadi satu dari 20 master trainer, dari 420 trainer
yang dilatih ILO. Di sana ia berada di antara dosen dan profesi lainnya, hanya
dirinya sendiri yang satu-satunya mantan buruh migran. Sekarang ia banyak
mengajarkan pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS, migrasi yang aman, dan
pelatihan manajemen kewirausahaan. Beberapa waktu lalu, Maizidah juga menjadi
salah satu pemenang Kartini Next Generation Award 2015 yang diadakan
Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk kategori Pemberdayaan Perempuan.
Tahun 2012, ia juga mendapat penghargaan dari Universitas Indonesia, dan masih
ada beberapa penghargaan yang lain. Bersama beberapa LSM lain, ia juga pernah ikut
workshop membuat draft untuk revisi UU No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan TKI.
Maizidah
bersyukur mendapat dukungan penuh dari suaminya. Suaminya yang juga mantan buruh migran, sekarang
bekerja sebagai fotografer untuk perhotelan. Harapan Maizidah kepada para buruh
migran, sebaiknya sebelum berangkat harus mempunyai skill yang cukup dan siap mental. Dan harus tetap ingat, bahwa
suatu saat mereka akan kembali lagi ke Indonesia. Jadi jangan
menghambur-hamburkan uang selama berada di negeri orang. Selain itu mereka juga
harus tahu betul hak dan kewajibannya.
Saya ingin sekali minta alamat dan no tlpon anda ibu salas...
BalasHapussaya ingin mnceritakan kasus adik prempuan saya yg menjadi tkw di malaysia yang gak di gaji 7 blan oleh majikan nya