Ia adalah perempuan inspiratif di Tanah Rencong, Istri dari dr, Marzuki, SH, MM, M.Kes, ini mengabdi sebagai bidan untuk membuktikan kecintaannya pada dunia kesehatan. Klinik kecil yang ia dirikan sukses berubah menjadi sebuah rumah sakit besar dan mempekerjakan puluhan karyawan. Sayangnya, bencana tsunami sempat menghancurkan semuanya. Beruntung, ia mampu kembali bangkit dan mengulang kesuksesannya lewat jalan lain.
Asma Sulaeman adalah anak bungsu dari tiga bersaudara yang berasal dari keluarga sederhana. Menurut sang ibu, sejak kecil ia sudah sering disebut "dukun" karena suka merawat dan membantu orang yang sedang sakit. Asma mengakui, ia memang tipe orang yang tidak sampai hati melihat ada yang sakit dan rasanya ingin membantu. Ada pengalaman berkesan saat Asma berumur 9 tahun. Suatu hari, anak pamannya yang baru berumur 4 tahun tiba di rumahnya dan berencana tinggal dengan keluarganya. Asma pun menyambutnya dengan senang hati. Tapi saat melihat kondisi saudaranya itu, ia prihatin. Kulitnya berkudis, bahkan berbau anyir tak sedap. Asma pun tidak tahan untuk segera membersihkan dan mengobatinya. Entah mengapa, tiba-tiba saja ia berinisiatif mencari belimbing wuluh sebanyak genggaman tangan. Belimbing wuluh itu kemudian ia hancurkan dan campurkan dalam seember air. Adik sepupunya itu pun langsung ia mandikan dan bersihkan kulitnya. Walau si adik menangis, bahkan sampai menjerit, karena kulitnya terasa perih. Bahkan Asma sempat dimarahi ibunya. Namun ternyata tiga hari kemudian, luka-luka di kulit adiknya itu cepat mengering dan bahkan sembuh dari kudis.
Melihat potensi dan ketelatenannya mengurus orang sakit, lantas sang ibu memotivasi dan menyarankannya agar nanti melanjutkan sekolah sebagai juru rawat. Namun, ibunya tetap mewanti Asma, bahwa kalau ingin masuk sekolah perawat, nilai-nilai sekolahnya harus tinggi. Asma pun termotivasi belajar dan akhirnya berhasil mendapatkan nilai terbaik. Lulus dari bangku SMP, ia ikut tes masuk Sekolah Perawat Kesehatan Banda Aceh, tahun 1978, angkatan kedua. Sebenarnya saat itu ia juga ikut tes masuk sekolah keguruan, karena ayahnya ingin ia menjadi guru. Tapi karena keinginannya menjadi juru rawat sangat kuat, maka saat mengikuti tes sekolah keguruan, Asma sengaja mengosongkan semua kertas jawaban.
Lulus dari SPK Banda Aceh, Asma menikah di tahun 1982. Kebetulan suaminya juga perawat dan mereka berdua sama-sama mendapatkan penempatan di Blang Oi. Di sana, ada puskesmas pembantu serta rumah kecil. Jadi Asma dan suami memulai hidup berumah tangga di sana. Asma kemudian juga melanjutkan mengambil pendidikan D1 Kebidanan dan lulus tahun 1984. Perjalanan menjadi seorang bidan di daerah tentu memiliki banyak cerita. Ia bahkan harus door to door melayani dan mengedukasi ibu hamil. Tak terasa, 10 tahun ia habiskan untuk datang dari rumah ke rumah. Tentu tak semuanya menyenangkan. Pernah ada yang meminta pertolongannya pada dini hari, Saat itu, ibunya sempat tidak mengizinkan apalagi lokasinya cukup jauh dari rumah. Namun, Asma tetap memohon agar diizinkan menolong. Akhirnya, si ibu, walau merasa ada yang tidak beres, mengizinkan. Tak lupa, beliau mencatat plat nomor sepeda motor yang menjemput Asma. Ternyata langkah sang ibu tepat, hingga Asma jadi terbiasa waspada saat memberikan pertolongan.
Melihat dirinya sudah mendapat banyak kepercayaan dari masyarakat, suaminya mengusulkan membuka klinik sendiri tahun 1991. Jadi, pagi hingga sore ia bertugas di puskesmas, sore hingga malam ia praktik di klinik. Apalagi suaminya saat itu sudah menyelesaikan pendidikan dokternya. Asma dan suami dikarunia lima anak, masing-masing Siska Mazas, Davina Mazas, Ihsan Mazas, Sadiq Mazas dan Istiqomah Mazas. Mazas adalah singkatan nama suami dan dirinya, yaitu Marzuki dan Asma. Asma pun bersyukur, dibantu sang ibu mengawasi anak-anaknya sejak mereka kecil.
Asma membuka klinik bermodalkan dua kamar. Nama kliniknya, Klinik Permata Hati. Nama Permata ia dapatkan atas usulan teman, sementara suaminya menambahkan menjadi Klinik Permata Hati. Sesuai namanya, ia berharap klinik itu bisa menjadi permata hati bagi semua yang membutuhkan pertolongan. Asma mengakui, ia tidak memiliki modal saat mendirikan klinik. Bahkan semua perlengkapan seperti tempat tidur dan lainnya, ia peroleh dengan cara kredit pada salah satu toko yang pemiliknya ia kenal baik. Dengan fasilitas yang sederhana, ternyata pasien tetap datang dan percaya kepadanya.
Klinik Permata Hati pun berkembang dan menjadi besar. Asma kemudian menambah kamar, dari 2 menjadi 60 kamar dan menjadikannya Rumah Sakit Permata Hati. Prosesnya tentu panjang, dari tahun 1991 hingga 2002. Awalnya dari dua kamar kemudian diperluas dan ditambah menjadi lima kamar, kemudian begitu ada uang diperluas lagi menjadi sepuluh kamar. Dan seperti memperoleh rezeki, pemilik tanah di samping dan belakang rumahnya menawarkan pada Asma untuk dibeli. Akhirnya, Asma pun menambah bangunan kliniknya di kanan, kiri, depan, dan belakang. Selain itu Asma juga membuka lapangan pekerjaan dan mengajak teman bergabung dan praktik di Klinik Permata Hati. Tahun 2002 adalah puncak perjalanan klinik, bahkan saat itu sudah setingkat dengan rumah sakit. Oleh karena itu, dengan dibantu suami, Asma akhirnya mengubah kliniknya menjadi rumah sakit. Saat itu, karena suaminya sibuk dengan tugasnya sebagai Kepala Dinas yang membawahi dinas dan puskesmas, maka semua urusan klinik diserahkan kepada Asma. Jadi, meski masih bertugas di puskesmas, Asma juga harus mengurus kliniknya yang saat itu tengah berproses menjadi rumah sakit. Untungnya, ia juga dibantu anak sulungnya yang juga calon dokter.
Antara tahun 2002 hingga 2003, Asma hampir memiliki seratus orang karyawan, dan kliniknya pun akhirnya resmi menjadi Rumah Sakit Permata Hati di tahun 2003. Proses mengurus rumah sakit itu cukup panjang karena berkaitan dengan izin segala macam. Soal manajemen, Asma mempelajarinya sambil berjalan, karena ia memang tidak mencicipi bangku kuliah. Asma banyak belajar kepada suami dan dengan dukungan serta ilmu yang kerap ia bagikan. Akhirnya ia pun bisa mengelola rumah sakit. Tapi, akhirnya Asma disadarkan, bahwa semua yang ia miliki hanyalah titipan dan milik Allah semata. Bulan Desember 2004, tsunami meluluh lantakkan Aceh. Termasuk Rumah Sakit Permata Hati. Dan Asma pun harus merelakannya. Tak hanya rumah dan rumah sakit saja yang habis, Asma pun juga harus merelakan kepergian empat anaknya yang direnggut tsunami. Saat musibah besar itu terjadi, ia dan suami tengah membawa orangtua untuk melakukan medical check up di Penang, Malaysia, dan putra ketiganya berada di pondok pesantren Darunnajah, Jakarta. Sementara keempat putranya yang lain, menjadi korban dalam musibah tersebut.
Saat bencana terjadi, sebenarnya posis Asma sudah di Medan dan akan terbang pulang ke Aceh. Namun, saat itu pesawat harus kembali lagi ke Medan karena tidak bisa mendarat di Aceh. Beberapa orang mulai membicarakan soal gempa dan tsunami. Terlintas di benak Asma dan suaminya, bagaimana nasib anak-anaknya di rumah, apalagi lokasi rumahnya berada dekat dengan pantai. Ia dan suami mengaku khawatir saat itu. Dan ternyata benar, kakaknya yang menjemput ke Medan mengabarkan berita duka bahwa keempat anaknya tidak selamat. Tentu saja Asma sangat terpukul, dan rasanya seperti kehilangan arah mengetahui keempat anaknya hilang begitu saja. Asma sempat mengalami depresi berat. Butuh waktu lama untuk pulih karena Asma merasa sudah kehilangan harapan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, dan terus menangisi kepergian anak-anaknya hingga beberapa bulan.
Sampai kemudian ia didatangi tantenya yang mengingatkan, menguatkan, dan memintanya untuk bangkit. Alih-alih mendengar dukungannya, Asma tetap dalam perasaan berduka dan tak mengindahkan. Tetapi beberapa kalimat tantenya menjadi renungan dalam batinnya, bahwa ia memang harus bangkit demi anak-anaknya. Tak lama, seorang teman datang menjenguk dan melihat keadaannya. Sang teman berulang-ulang mengatakan bahwa masih banyak yang membutuhkan dirinya. Asma pun tercekat dan baru menyadari bahwa ternyata ia masih diingat serta dibutuhkan. Akhirnya ia pun kembali termotivasi untuk bangkit dan mulai membicarakan dengan suaminya, bagaimana cara membuka kliniknya kembali. Dorongan dari dalam diri dan dukungan dari luar, membuat Asma segera bangkit dan ingin berbuat sesuatu. Demi anak-anaknya yang sudah pergi dan demi kehidupan yang lebih baik.
Tentu, merintis dari awal bukan hal yang mudah. Bahkan, saat itu Asma sempat ditawari berpraktik di Jakarta oleh rekannya yang sudah seperti kerabat. Tetapi rencana pindah ke Jakarta langsung ia kubur dalam-dalam saat tidak mendapatkan restu dari ibunya. Akhirnya, tahun 2005, Asma pelan-pelan memulai lagi membangun yang tersisa dari bencana tsunami. Ia pernah mencoba membersihkan handscoon atau sarung tangan medis dan mencucinya, lalu menaruh tepung agar steril karena sudah terendam lumpur. Ibunya pun terus mengatakan bahwa rezeki pasti akan datang. Ia hanya diminta bersabar. Dan benar saja, empat bulan kemudian, banyak bantuan datang yang mengirimkan berkardus-kardus handscoon dan masker untuknya. Asma pun semakin menyadai bahwa Allah Maha Kuasa, banyak sekali kemudahan dan bantuan yang datang dari berbagai sektor yang tak pernah ia sangka. Suaminya pun juga terus menguatkan dan menyemangatinya.
Usaha dan kerja keras itu pun akhirnya terbayarkan. Tahun 2006 hingga 2008, operasional rumah sakit kembali berjalan. Bahkan di tahun 2010 ia bisa mempekerjakan 60 orang. Sungguh Asma sangat bersyukur. Selain mengelola rumah sakit, Asma juga aktif dalam organisasi dan bekerja sama dengan Korea di bidang kesehatan anak sekolah dengan membuat UKS dan edukasi kesehatan. Saat itu, suaminya terlebih dahulu mengambil pensiun dini dan fokus membuat hotel di Tanjung Selamat, Aceh Besar. Sebenarnya membangun hotel itu pun, kata Asma, tidak terencana. Karena setelah tsunami, ia dan suami hanya ingin merelokasi rumah sakit di Tanjung Selamat. Namun, karena ibunya menyarankan untuk tetap di Blang Oi saja dan merapikan sisa bangunan, maka akhirnya tanah yang sudah dibeli di Tanjung Selamat itu dibangun hotel dengan nama yang sama, Permata Hati.
Tahun 2012, Asma sudah mulai merasa lelah dan tak kuat mengelola rumah sakit sendirian. Ia pun mengambil pensiun dini. Keputusan ini memang berat, tetapi ia juga tidak mau menjadi beban dan berujung masalah. Putra ketiganya, Ihsan Mazas pun, juga tidak tertarik untuk mengelola rumah sakit dan meneruskan usaha ini. Sang putra memang memilih passion-nya di bidang jasa perhotelan, karena ia lulusan dari NHI Bandung dan meneruskan studinya di Swiss. Dengan berat hati, akhirnya Asma harus menutup rumah sakit dan mengubahnya menjadi hotel. Ia sadar, sudah terlalu tua dan tak bisa lagi praktik, apalagi mengelola rumah sakit yang memiliki sub yang sangat banyak. Ia juga tidak punya generasi penerus. Maka tugasnya kini berganti dengan mendukung anaknya untuk mewujudkan mimpinya.
Dengan pengalaman suami menjalankan bisnis hotel, Asma pun belajar lagi dari suaminya, dan dibantu anaknya Ihsan, mengurusi bisnis ini. Tahun 2015, Hotel Grand Permata Hati resmi beroperasi. Semuanya juga Asma jalani dengan learning by doing. Bedanya, bila dulu ia melayani orang sakit, sekarang ia melayani yang sehat. Dan Asma bersyukur, bisnis hotelnya juga terus berkembang dan hingga kini ia masih tetap dikenal sebagai Bidan Asma. Asma juga mengaku lebih menikmati mengurus bisnis hotel karena memang tidak memiliki sub yang banyak seperti halnya mengelola rumah sakit. Namun, walaupun ia tak lagi praktik dan memiliki rumah sakit, Asma masih memiliki aktivitas di bidang kesehatan. Bekerja sama dengan sebuah lembaga dari Korea, ia mengedukasi sekolah pelosok dan mendirikan UKS hingga 2017. Jadi, ia merasa masih bisa berkontribusi di dunia kesehatan. Kalau pun boleh bermimpi, Asma pun mengaku ingin bisa sukses juga dalam bisnis hotel. Ia ingin bisa memiliki beberapa hotel di Banda Aceh. Rasanya bukan sesuatu yang mustahil. Karena Asma yakin, rezeki tidak akan ke mana, asalkan mau bekerja keras dan berniat baik.
pengalaman hidup yang menginspirasi.. secara tidak langsung menumbuhkan motivasi bagi pembacanya.. terima kasih telah berbagi pengalaman yang luar biasa..
BalasHapusBagi teman-teman yang ingin mengelola kliniknya dengan lebih mudah namun tetap efisien, dapatkan tips-nya dengan mengunjungi: https://ahlikeuangan.com